7 Aug 2015

Bumi Manusia


Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai." 
(Magda Peters, Bumi Manusia 233)

"Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji, dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya." (Minke, Bumi Manusia 135)

Bumi Manusia


Bumi Manusia adalah buku pertama dari Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer yang pertama kali diterbitkan oleh Hasta Mitra pada tahun 1980.

Buku ini ditulis Pramoedya Ananta Toer ketika masih mendekam di Pulau Buru. Sebelum ditulis pada tahun 1975, sejak tahun 1973 terlebih dahulu telah diceritakan ulang kepada teman-temannya.

Setelah diterbitkan, Bumi Manusia kemudian dilarang beredar setahun kemudian atas perintah Jaksa Agung. Sebelum dilarang, buku ini sukses dengan 10 kali cetak ulang dalam setahun pada 1980-1981.[1] Sampai tahun 2005, buku ini telah diterbitkan dalam 33 bahasa. Pada September 2005, buku ini diterbitkan kembali di Indonesia oleh Lentera Dipantara.

Buku ini melingkupi masa kejadian antara tahun 1898 hingga tahun 1918, masa ini adalah masa munculnya pemikiran politik etis dan masa awal periode Kebangkitan Nasional. Masa ini juga menjadi awal masuknya pemikiran rasional ke Hindia Belanda, masa awal pertumbuhan organisasi-organisasi modern yang juga merupakan awal kelahiran demokrasi pola Revolusi Perancis.

Sinopsis

Buku ini bercerita tentang perjalanan seorang tokoh bernama Minke. Minke adalah salah satu anak pribumi yang sekolah di HBS. Pada masa itu, yang dapat masuk ke sekolah HBS adalah orang-orang keturunan Eropa. Minke adalah seorang pribumi yang pandai, ia sangat pandai menulis. Tulisannya bisa membuat orang sampai terkagum-kagum dan dimuat di berbagai Koran Belanda pada saat itu. Sebagai seorang pribumi, ia kurang disukai oleh siswa-siswi Eropa lainnya. Minke digambarkan sebagai seorang revolusioner di buku ini. Ia berani melawan ketidakadilan yang terjadi pada bangsanya. Ia juga berani memberontak terhadap kebudayaan Jawa, yang membuatnya selalu di bawah.

Selain tokoh Minke, buku ini juga menggambarkan seorang "Nyai" yang bernama Nyai Ontosoroh. Nyai pada saat itu dianggap sebagai perempuan yang tidak memiliki norma kesusilaan karena statusnya sebagai istri simpanan. Statusnya sebagai seorang Nyai telah membuatnya sangat menderita, karena ia tidak memiliki hak asasi manusia yang sepantasnya. Tetapi, yang menariknya adalah Nyai Ontosoroh sadar akan kondisi tersebut sehingga dia berusaha keras dengan terus-menerus belajar, agar dapat diakui sebagai seorang manusia. Nyai Ontosoroh berpendapat, untuk melawan penghinaan, kebodohan, kemiskinan, dan sebagainya hanyalah dengan belajar. Minke juga menjalin asmara dan akhirnya menikah dengan Anneliesse, anak dari Nyai Ontosoroh dan tuan Millema.

Melalui buku ini, Pram menggambarkan bagaimana keadaan pemerintahan kolonialisme Belanda pada saat itu secara hidup. Pram, menunjukan betapa pentingnya belajar. Dengan belajar, dapat mengubah nasib. Seperti di dalam buku ini, Nyai yang tidak bersekolah, dapat menjadi seorang guru yang hebat bagi siswa HBS dan Minke. Bahkan pengetahuan si nyai itu, yang didapat dari pengalaman, dari buku-buku, dan dari kehidupan sehari-hari, ternyata lebih luas dari guru-guru sekolah HBS.

wiki

Resensi Novel Bumi Manusia
Aris Purnama



paperback, 535 pages
Published 2005 by Lentera Dipantara (first published 1975)
ISBN 9799731232 (ISBN13: 9789799731234)

Prolog

Bumi Manusia merupakan buku pertama dari tetralogi buru yang ditulis oleh sastrawan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, ketika mendekam di penjara di pulau Buru,1975. Semasa hidup beliau sebagian dihabiskan dalam penjara- sebuah wajah purba semseta yang paling purba bagi manusia-manusia bermartabat : 3 tahun dalam penjara Kolonial, 1 tahun di Orde Lama, dan 14 tahun di Orde Baru (13 Oktober 1965 – Juli 1969, Pulau Nusa-Kambangan Juli 1969 – 16 Agustus 1969, Pulau Buru Agustus 1969 – 12 November 1979, Magelang/ Banyumanik November – Desember 1979) tanpa proses pengadilan. Meskipun separuh hidupnya berada dalam penjara beliau tak luput dari kegiatan menulis, baginya menulis adalah tugas pribadi dan nasional. Dan ia konsekuen terhadap semua akibat yang ia peroleh. Berkali-kali karyanya dibuang dan dibakar. Termasuk karya Tetralogi Buru ( Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca) yang dilarang terbit pada tahun 1981 oleh Jaksa Agung karena dianggap mengandung ajaran marxisme atau komunis, nyatanya buku ini tidak mengajarkan tentang hal tersebut yang ada tentang nasionalisme. Namun sebelum diterbitkan buku ini, Pram menceritakan kepada rekan-rekan di Pulau Buru tentang tetralogi bumi manusia , itu menunjukan bahwa ia hafal betul dan menguasai apa yang ia tulis, sehingga tidak ada kekhawatiran mengenai originalitas ketika naskah buku ini dibakar dan dilarang terbit.

Review

Novel ini berlatar akhir abad 18, menampilkan suasana dengan sangat apik dan detail. Lokasi yang diceritakan pada buku Bumi Manusia yatiu Wonokromo pada akhir abad 19, yang merupakan kawasan perkebunan tebu, Surabaya, Blora. Ketika membacanya seolah-olah pembaca berada pada abad masa itu.

Bercerita tentang seorang keturunan Jawa, Minke, yang sering diperolok-olok oleh kaum totok belanda karena kulitnya, karena pribumi! Pram memberikan karakter minke sebagai manusia pribumi yang terpelajar, melawan penindasan terhadap dirinya, terhadap orang lain dan terhadap bangsanya. Minke bersekolah di H.B.S (Hogere Burger School)yaitu sekolah yang setara SMA yang tidak semua pribumi bisa bersekolah sampai sejauh itu, hanya keturunan minimal ningrat yang boleh bersekolah. Minke merupakan anak dari bupati kota B (disebutkan dalam novelnya seperti itu, mungkin maksud Pram adalah Blora karena menceritakan tentang RM. TAS) karena itulah dia dapat bersekolah di H.B.S. Tetapi hidup ditengah-tengah pergaulan eropa menjadikan pandangan minke menjadi pengagung eropa, dia melupakan tradisi dan adat jawanya, tradisi yang ada dari nenek moyangnya hilang begitu saja karena pengetahuan eropanya bahkan ia tidak mau memakai baju adat jawa karena sudah terbiasa dengan pakaian-pakaian eropanya. Hal tersebut sempat membuat geram ayahnya yang merupakan Bupati B akan tetapi sang ibunda lah yang terus mendukung anaknya minke agar melaksanakan apa yang ia cita-citakan, disini minke mengalami pencarian jati dirinya, seorang pribumi tapi pengagung eropa.

Adalah Robert Surhof teman sekaligus akan menjadi lawan, teman yang memiliki niat picik, serakah dan ingin mendapatkan apapun yang dia inginkan meskipun melakukan dengan cara-cara kotor. Suatu hari Robert Surhof mengajak minke berkunjung ke Wonokromo, sebuah perkebunan tebu dan perusahaan perdagangan, peternakan milik Nyai Ontosoroh (Nyai adalah sebutan bagi gundik-gundik kompeni). Perkebunan yang begitu luas dengan rumah yang bagai istana, selain perkebunan Nyai memelihara ternak karena pelataran nya sangatlah luas. Pertemuan kali pertama Minke dengan Annelies (putri dari Nyai Ontosoroh) menjadi poin penting dalam novel ini. Kisah Cinta pada pandangan pertama digambarkan oleh Pram begitu romantis. Annelies dideskripsikan oleh Pram sebagai Gadis indo-Belanda yang memiliki paras sangat cantik, bertubuh langsing, beramput pirang dan lurus, dikatakan bahwa kecantikannya melebihi Ratu Wilhemnia (Ratu belanda), mungkin akan membuat pembacanya jatuh cinta pada sosok Annelies. Walaupun taraf pendidikan Annelies tidak sampai H.B.S akan tetapi dia memiliki pesona luar biasa lainnya, yaitu di usianya yang masih dikatakan belia dia mampu mengurusi perkebunan dan peternakan dan membantu ibunya menjalankan perusahaan, karena ayahnya,Mellema, kelakuannya berubah 180 derajat yang dikatakan akibat pengaruh hobinya pelesiran dan mabuk-mabukan pada saat itu. Semenjak pertemuan pertama minke dan annelies sekiranya telah menimbulkan benih cinta dikeduanya, Minke yang terpandang terpelajar dan pintar dalam berbahasa belanda serta prancis membuat Nyai Ontosoroh kagum dan tak ragu menyetujui jika mereka berhubungan. Namun masalah lain timbul, Robert Surhof yang ternyata temannya memang mengincar annelies sejak lama, Robert berteman lama dengan kakak kandung annelies, Robert Mellema, tentunya surhof memandang annelies secara nafsu. Berbagai siasat ditempuh surhof untuk menjauhkan minke dari annelies. Suatu hari Annelies jatuh sakit karena memikirkan sang pangerannya, Minke, karena minke pernah berjanji kepada annelies pada kunjungan yang pertamanya bahwa dia akan menemuinya lagi beberap hari kedepan, namun sudah berminggu-minggu minke tidak berkunjung ke kediaman Nyai Ontosoroh. Akhirnya karena melihat anaknya sakit, Nyai menyuruh salah seorang pekerjanya untuk mengirimkan surat kepada minke serta menjemput minke untuk bersedia tinggal di kediamannya.

Begitu besar kisah cinta yang digambarkan antar Minke dan Annelies sehingga akhirnya mereka menikah walaupun banyak pertentangan dari orang tua Minke yang tidak menyetujui ia menikah dengan seorang keturunan Belanda. Namun yang menarik, Pram menyajikan novel selalu diluar dugaan, ketika kondisi pembaca tengah asik dan memiliki perasaan senang tiba-tiba pram membalikan kondisi tersebut menjadi terbalik. Kisah cinta antara Minke dan Annelies mengalami sesuatu yang sangat memilukan, yaitu karena Annelies anak dari seorang Gundik yang bernama Nyai Ontosoroh, akibatnya perkawinan antara Nyai Ontosoroh dengan Robert Mellema tidak diakui pengadilan tinggi belanda. Begitupun dengan pernikahan Minke dan Annelies tidak di akui pengadilan belanda karena tidak ada ijin orangtua sah dari annelies, hak asuh annelies diberikan kepada ibu tirinya di Belanda. Dan Akhirnya secara terpaksa Annelies harus angkat kaki dari dan pergi ke Belanda. Mendengar kabar tersebut Anneies kembali jatuh sakit dan selama berhari-hari dia tidak makan dan tidak bicara, kekecewaan yang mendalam dirasakan annelies, dia akan kehilangan cintanya, ibunya dan semua kenangan-kenangan dari masa kecilnya.

Sementara Minke dan Nyai Ontosoroh tidak tinggal diam melawan ketidakadilan pengadilan putih belanda, minke dengan kepiawannya menulis pengaduan diberbagai media cetak telah menyalakan api para pembacanya, pendukung Minke tidak hanya sekedar kerabat-kerabatnya, kini seluruh masyarakat di wonokromo dan Madura ikut protes terhadap ketidakadlilan belanda. Namun apalah yang bisa dilakukan oleh seorang Pribumi terhadap pengadilan tinggi, semuanya tidak ada hasil. Annelies harus pergi ke Belanda dan terpisah dari pangerannya Minke. Hal tersebut merubah semua pemikiran minke yang semula pengagum belanda kini dia merasakan ketidakadilan, penjajahan, diskriminasi belanda terhadap pribumi.

Novel ini sungguh menarik dan sangat berkualiti, novel terbaik yang pernah saya baca! Novel lanjutan bumi manusia akan menjelaskan bagaimana kisah Annelies dan Minke serta perjuangan dan perlawanan mereka terhadap kompeni. Dalam novel pertamanya Pram belum menggambarkan siapa sosok Minke sebenarnya dan apa peran penting dalam kebangkitan nasional.

kompasiana

Dunia Melayu Yang Tersirat Dalam Tetralogi Bumi Manusia Pramoedya
Koh Young Hun

Bumi Manusia-Satu Tonggak Baru

Pramoedya merupakan seorang novelis Indonesia yang terkemuka dan sering dibicarakan oleh pengkritik sastera dalam dan luar negara Indonesia. A. Teeuw pula pernah mengungkapkan bahawa Pramoedya adalah penulis yang muncul hanya sekali dalam satu generasi, atau malah dalam satu abad (1980: 242). Di antara hasil-hasil karya sastera Indonesia, barangkali karya-karya sastera yang dihasilkan oleh Pramoedya merupakan karya yang paling banyak diterjemahkan dalam bahasa-bahasa asing di luar Indonesia. Justeru hakikat inilah yang membuat Pramoedya sebagai novelis Indonesia yang terkenal dalam arena sastera internasional. Di samping itu, jejak kehidupannya yang bersengsara pada masa yang lalu pula mengambil perhatian golongan pembaca di luar negara. Akan tetapi sebagaimana yang diketahui di Indonesia nama Pramoedya semakin terlupa dalam kalangan pembaca, khususnya para pembaca muda, kerana karya-karyanya dilarang beredar.

Pramoedya menerbitkan novel Bumi Manusia pada bulan Ogos 1980, iaitu lapan bulan selepasnya dari tarikh pembebasan dari pengasingan Pulau Buru. Novel ini merupakan bahagian pertama dari tetraloginya yang tersusul, iaitu Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985) dan Rumah Kaca (1988). Tetralogi ini dapat dianggap sebagai karya novel sejarah Indonesia yang mengandungi wawasan baru. Ini kerana Pramoedya memaparkan amanat yang istimewa dalam karya novel tersebut.

Sejarah adalah merupakan satu fakta, atau sesuatu yang dapat dibuktikan dengan fakta. Sejarawan mahu tidak mahu terikat pada fakta-fakta yang pernah terjadi: dia tidak bebas dalam penggarapan bahan-bahan sejarah itu. Akan tetapi, seorang penulis novel sejarah dapat lebih bebas menciptakan ceritanya sendiri. Menurut Georg Lukacs, novel sejarah yang sebenar ialah novel yang membawa masa lampau kepada kita dan membuat kita mengalami hakikat masa silam yang sebenar (1962: 53).

Dalam menganalisis seri novel sejarah Bumi Manusia ini eloklah perhatian lebih utama diberikan kepada penyorotan pemikiran Pramoedya sendiri. Dengan perkataan lain, apa yang dimaksudkan oleh Pramoedya sendiri lebih penting daripada penjelasan fakta sejarah yang berkenaan. Ini kerana, seorang penulis novel sejarah tidaklah berhajat untuk mendedahkan sifat hakiki masa yang silam saja, melainkan dia lebih berkecenderungan untuk memaparkan pemikirannya sendiri dengan berpandukan kepada fahaman masa lalu. Dalam konteks ini, sebagai seorang sasterawan yang juga pengamat sejarah bangsanya yang serius, Pramoedya menciptakan tidak lain sebuah karya sastera. Menurut pandangan Jakob Sumardjo, sejarah merupakan harta karun budaya yang dapat digali, ditimba, ditafsirkan dalam kaitan membicarakan masalah masa kini. Di sana penuh dengan lambang, kejadian yang tidak jelas dan kerananya menentang imaginasi bentuk mengembangkannya. Sejarah sebenarnya adalah wilayah bagi sasterawan yang serba berkemungkinan (1985). Jadi, sebagai seorang sasterawan, beliau amat beruntung kerana boleh melepaskan dirinya dari ikatan-ikatan disiplin sejarah yang amat terikat pada fakta, bukti dan ketepatan peristiwa itu. Pramoedya, justeru itu, secara bebas mencipta dan membentuk watak-watak historis mengikut kemahuannya. Maka, hasilnya lahirlah watak Minke alias R. M. Tirto Adhisoerjo, bapa kewartawanan berbahasa Melayu di Jawa dan perintis pergerakan yang telah menubuhkan Syarikat Priyayi dalam tahun 1906, yang agak lebih romantis dan lebih bersih daripada hakikatnya (Ahmat Adam 1989: 32).

Berhubungan dengan ini, dapat dikatakan bahawa, walaupun ada banyak kemiripan antara watak utama Minke dengan R. M. Tirto Adhisoerjo, mereka tidak keseluruhannya identik. Pramoedya sendiri menegaskan bahawa novel-novelnya tetap harus dibaca sebagai karya fiksi, bukan sebagai buku sejarah (dalam wawancara 17 Jun 1991). Oleh sebab itu watak utama dalam tetralogi ini bukan Tirto, melainkan Minke sebagai seorang tokoh buatan yang bersumberkan dari tokoh sejarah itu. Mengenai pengambilan tokoh Tirto, beliau menjelaskan sebagai berikut:

R. M. Tirto bukan saya maksudkan ditampilkan sebagai hero, tapi sebagai individu yang telah melepaskan diri dari kebersamaan tradisional, yang berabad lamanya jadi penghambat progres. Ini nilai kultural yang telah dicapai oleh R. M. Tirto (surat kepada Marjanne Termorshuizen Arts, 6 Feb. 1987).

Perlu diingatkan bahawa sastera yang baik dapat menciptakan kembali rasa kehidupan, bobot, dan susunannya. Menciptakan kembali keseluruhan hidup yang dihayati, kehidupan emosi, kehidupan budi, individu mahupun sosial, dunia yang penuh mengandungi objek. Hal ini diciptakannya bersama-sama dan secara saling berjalinan, seperti yang terjadi dalam kehidupan yang kita hayati sendiri. Sastera yang baik menciptakan kembali kemendesakan hidup (Richard Hoggart 1966: 226-227). Pramoedya pula berpendapat bahawa seorang pengarang juga mengedepankan ideanya tentang masa tertentu dalam hasil karya, dan dia bukan hanya memotret peristiwa sejarah, tetapi juga menghidupkan sejarah dengan pendapat peribadi (dalam wawancara 17 Jun 1991).

Dalam karya ini Pramoedya menyentuh beberapa hal yang belum pernah dibicarakan oleh para sasterawan Indonesia yang lain. Beliau dengan terus terang memaparkan pandangan mengenai imej pemberontakan terhadap kuasa kolonial, warisan kebudayaan bangsa, pergerakan kebangkitan bangsa di tanahairnya, peranan wanita dalam peralihan zaman dan humanisme. Dalam sebahagian besar karya-karya sasteranya yang terdahulu, Pramoedya menceritakan masalah perseorangan manusia yang diilhami oleh peristiwa-peristiwa yang dialaminya sendiri. Sedangkan dalam tetralogi ini beliau mengolah masalah manusia sebagai warga dunia, masalah warisan kebudayaan, yang berkaitan dengan hari depan bangsa sendiri (Koh Young Hun, 1993: 131). Hakikat ini membuktikan bahawa pemikiran Pramoedya dalam karya ini adalah lebih matang daripada masa yang dulu, dan cakerawala pemikiran pula sudah diperluaskan. Dalam pada itu, pemikiran kebangkitan nasional (nasionalisme) yang dipaparkan dalam karya ini dapatlah dikaitkan dengan dunia Melayu.

Bahasa dan Agama sebagai Faktor Penyatuan Bangsa

Terdapat bermacam-macam definisi tentang nasionalisme dengan sudut pandangan masing-masing. Antara lain, nasionalisme dihuraikan sebagai suatu keadaan akal atau fikiran yang mengembangkan keyakinan bahawa kesetiaan terbesar harus diberikan kepada negara (Hans Kohn 1965: 6);gabungan rasa kesetianegaraan dengan kesedaran kerakyatan (Carlton J. H. Hayes 1931: 6) dan lain-lain. Akan tetapi, dari apa yang ada ini dapat dikatakan bahawa suatu definisi atau konsep nasionalisme yang khusus tidak dapat diterapkan untuk semua negara bagi digunakan untuk menghuraikan gerakan nasionalisme masing-masing. Ini kerana pengalaman hidup yang menumbuhkan gerak kesedaran sesuatu masyarakat ke arah penentuan nasib tidaklah sama pada semua negara.

Tanggapan Pramoedya mengenai penyatuan bangsa, yang dipaparkan dalam karya ini perlu ditekankan. Ini kerana beliau memberi tanggapannya dengan tafsiran tersendiri. Misalnya, beliau berpendapat bahawa selepas kerajaan Majapahit sampai awal abad ke-20, bangsanya belum pernah dipersatukan. Maka, bangsa baru yang mencakupi kepulauan yang jauh lebih besar daripada Majapahit ini dapat dipersatukan dengan beberapa faktor yang sedikit sebanyak memiliki persamaan dan sarana moden yang diperlukan. Faktor-faktor tersebut, antara lain, adalah bahasa Melayu yang sudah menjadi lingua franca di seluruh kepulauan Nusantara pada masa itu dan agama Islam sebagai kepercayaannya.

Tanggapan ini bertepatan dengan penjelasan Ben Anderson yang menegaskan bahawa “nationalism has to be understood by aligning it, not with self-conciously held political ideologies, but with the large cultural systems that preceded it, out of which - as well as against which - it came into being” (1986: 19). Sistem kebudayaan yang sesuai untuk memenuhi matlamat itu, menurut Ben Anderson, adalah komuniti agama dan alam dinasti (dynastic realm). Dengan demikian anggota-anggota masyarakat dapat menganggap bahawa, walaupun saling tidak kenal-mengenal, mereka adalah berada di bawah satu naungan, iaitu komuniti bayangan (imagined community) (ibid. : 15-16). Maka, beliau memberi definisi mengenai bangsa sebagai suatu komuniti politik yang dibayangkan sebagai terhad dan berdaulat. Beliau seterusnya menerangkan bahawa karya novel dan suratkhabar boleh memberi sarana teknikal untuk menubuh semula suatu komuniti bayangan, iaitu suatu bangsa. Ini kerana para pembaca novel dan suratkhabar, walaupun berada secarara berasingan, dapat mengambil imej yang sama, iaitu imej bayangan (ibid. : 30-34).

Kalau ditinjau dari segi ini, pandangan Pramoedya yang menganggap peranan suratkhabar berbahasa Melayu sebagai pemimpin fikiran masyarakat pembaca untuk membangkitkan kesedaran dalam karya ini dapat dikatakan sesuai dan masuk akal. Sokongan penuh terhadap pemilihan bahasa Melayu sebagai penentu “Bangsa Melayu Besar” (Pramoedya 1985: 450), walaupun bukan bahasa ibunda (mother tongue)nya, menunjukkan sikapnya yang lebih mengutamakan faktor-faktor yang praktikal untuk penyatuan bangsa. Hakikat ini menunjukkan hasrat pengarang yang ingin menyatukan sebuah bangsa yang sebenar, iaitu bangsa yang sudah sedia bersatu dalam bahasa dan agama. Pramoedya menunjukkan pendapatnya melalui watak Minke seperti berikut:

Tidak sebagaimana diimpikan Douwager, tetapi berdasarkan bahan-bahan yang telah disediakan oleh nenek-moyang, bukan yang diambil dari angan-angan satu dua orang. Dan dasar-dasar itu adalah golongan tengah Pribumi yang menentukan kehidupan di Hindia, agama Islam sebagai dasar persaudaraan, usaha merdeka dan perdagangan sebagai dasar hidup bersama. Bahwa persatuan yang dapat melahir-kan nasionalisme Hindia bukan semata-mata Jawa, bukan semata-mata Hindia, tetapi di mana saja ada bangsa yang berbahasa Melayu, Islam dan merdeka (Pramoedya 1985: 447-448).

Adalah tepat kalau dikatakan bahawa penentunya dunia atau tamadun Melayu adalah bahasa Melayu dan agama Islam. Kepentingan bahasa Melayu untuk dunia Melayu amat muktamad, seperti dijelaskan oleh Ben Anderson. Agama Islam pula sudah menjadi rantai pengikat bagi bangsa Melayu. Ada pendapat bahawa “tamadun Melayu adalah tamadun Islam dari Asia Barat dan tamadun Islam itu sendiri telah pun mencapai kedudukan yang gemilang jauh terdahulu daripada tamadun Eropah moden” (Harun Mat Piah 1989: 433). Aziz Deraman pula menjelaskan bahawa perlembagaan yang memperuntukkan Islam sebagai agama persekutuan, kedudukan bahasa Melayu sebagai bahasa rasmi negara dan institusi raja berperlembagaan tidak lain sebagai hakikat sejarah dan kesinambungan budaya yang tidak terkeluar begitu saja (1992: 18). Dan bahasa Melayu serta agama Islam di dunia Melayu tidak dapat dipisahkan. Ini kerana antara lain bahasa dan khazanah sastera Melayu sebagian besarnya ditulis dengan nafas Islam. Jadi, kedua faktor, iaitu bahasa Melayu dan agama Islam dapat dianggap sebagai unsur penyata kesatuan bangsa Melayu.

Bahasa Melayu

Pramoedya menekankan pentingnya penggunaan bahasa Melayu sebagai salah satu faktor penyatuan bangsanya dalam tetralogi ini. Beliau mengutarakan pandangan ini melaui watak-watak yang muncul dalam karya ini, khususnya watak utama Minke. Pada awal ceritanya Minke sebenarnya digambarkan lebih bijak menulis makalah untuk suratkhabar dalam bahasa Belanda daripada bahasa Jawa dan bahasa Melayu, kerana dia menerima pendidikan di HBS (Hogere Burger School) yang menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa perantaraannya. Akan tetapi, apabila golongan bukan peribumi menerbitkan suratkhabar dalam bahasa Melayu dan bahasa Jawa, watak-watak seperti Marais dan Kommer, sebagai orang-orang yang memupuk semangat nasionalisme kepada Minke, mula mendesaknya supaya menulis makalah dalam bahasa Melayu. Ini kerana pada waktu ini bahasa Melayu sudah menjadi lingua franca di kepulauan Indonesia. Watak-watak tersebut menganggap bahawa dengan berbuat demikian, Minke dapat mempersoalkan isu-isu yang menyangkut kepentingan pembaca peribumi sendiri secara lebih berkesan dan menyeluruh. Mereka menuntut seperti berikut:

“Sekali Tuan mulai menulis Melayu, Tuan akan cepat dapat menemukan kunci. Bahwa Tuan mahir berbahasa Belanda memang mengagumkan. Tetapi bahwa Tuan menulis Melayu, bahasa negeri Tuan sendiri, itulah tanda kecintaan Tuan pada negeri dan bangsa sendiri - - - - Siapa yang mengajak bangsa-bangsa pribumi bicara kalau bukan pengarang-pengarangnya sendiri seperti Tuan?” (Pramoedya 1980b: 104).

Seperti yang dijelaskan di atas, Minke dituntut untuk menyuluhi bangsanya sendiri yang tenggelam dalam kegelapan melalui tulisan dalam suratkhabar. Untuk itu dia harus mendalami bahasa Melayu yang sudah tersebar di seluruh kepulauan Indonesia. Pada permulaan abad ke-20, yang merupakan latar belakang waktu karya novel ini, bahasa Jawa hanya digunakan secara terbatas dalam lingkungan orang-orang Jawa, begitu juga bahasa Sunda, dan bahasa-bahasa suku yang lain, kecuali bahasa Melayu. Di samping itu, kaum intelek Indonesia yang sejak tahun 1908 dengan pelbagai cara telah berusaha untuk mendirikan organisasi-organisasi bagi mempengaruhi rakyat agar mereka bangun dan maju, lambat laun sedar bahawa mereka tidak akan dapat berhubungan rapat dengan seluruh rakyat melalui perantaraan hahasa Belanda. Ini kerana bahasa Belanda itu untuk selama-lamanya hanya akan dapat difahami oleh sejumlah yang kecil dari bangsa Indonesia. Berdasarkan kepada keyakinan bahawa hanya penyatuan bangsa Indonesia seluruhnya yang dapat suatu tenaga besar untuk menentang kekuasaan penjajahan, maka dengan sendirinya mereka berusaha mencari suatu bahasa yang dapat difahami oleh bahagian rakyat yang terbesar, iaitu bahasa Melayu (S. T. Alisjahbana 1956: 14-15).

Menurut John Hoffman, bahasa Melayu telah pun diperkenalkan di daerah Ambon mulai pertengahan abad ke-15 oleh para pedagang yang datang dari Melaka ; dan, pada awal abad ke-17 dapat dikatakan bahasa ini digunakan secara meluas di daerah tersebut. Di daerah Batavia pula, mulai tahun 1620, bahasa Melayu sudah merupakan salah satu bahasa agama pembaharuan (reformed religion). Dan pada awal abad ke-18 pihak VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) lebih memihak untuk menggunakan bahasa Melayu dalam urusan-urusan perdagangan dan pentadbiran (1979: 66-77). Sebenarnya, sudah dijelaskan oleh ahli-ahli bahasa bahawa jauh lebih sebelumnya, iaitu mulai abad ke-8, bahasa Melayu sudah lama berfungsi sebagai alat komunikasi dalam masyarakat yang sudah mencapai keberaksaraan dan segala ciri kebudayaan canggih yang lain. Dengan demikian bahasa Melayu dapat mengambil peranan yang penting di kepulauan Nusantara ini. George Mac T. Kahin pula menegaskan habawa satu faktor penyatuan Hindia adalah perkembangan satu lingua franca lama di kepulauan itu, iaitu bahasa Melayu, sebagai bahasa kebangsaan, yang bersama-sama dengan agama Islam telah berjaya melenyapkan fahaman sempit mengenai nasionalisme Indonesia (1980: 50).

Pramoedya dalam karya ini memberi penjelasan kenapa bahasa Melayu harus digunakan untuk membentuk persatuan bangsa. Tanggapannya ialah selain dari sudah menjadi lingua franca di kepulauan itu, bahasa Melayu mempunyai ciri-ciri khas, iaitu sangat praktikal kerana tidak mengandungi tingkatan-tingkatan pertuturan bahasa. Dalam pandangan ini tersirat keinginan beliau hendak melepaskan ciri-ciri warisan yang feudal, kerana tingkatan-tingaktan dalam suatu penggunaan bahasa sebenarnya hanya digunakan oleh golongan masyarakat feudal sahaja, yang memang berhasrat mewujudkan tingkatan itu.

Watak utama Minke sebetulnya mengalami perubahan fikiran selepas dia menangani kes Trunodongso di Tulangan. Kes Trunodongso ini memberikan rangsangan besar kepada Minke untuk mengenal bangsanya sendiri dengan lebih mendalam. Dalam pada itu, Minke mula merasakan suatu konflik telah timbul dari dalam hati nuraninya. Ini kerana, walaupun dia menganggap dirinya sebagai seorang pengagum Revolusi Perancis, yang meletakkan harga diri manusia pada tempatnya yang tepat, namun jiwa dan semboyan revolusi itu belum dapat mengubah sikapnya dalam kehidupan sehari-hari. Maksudnya gagasan revolusi itu hanya tinggal jadi pengetahuan atau hiasan sahaja dalam fikirannya. Buktinya ialah, Minke merasa tersinggung juga kalau seorang petani, seperti Trunodongso bertegur dengan bahasa Jawa ngoko kepadanya. Maka, dia bercakap seorang diri: “Kau belum mampu melepaskan keenakan-keenakan yang Kau dapatkan dari leluhurmu sebagai penguasa atas pribumi bangsamu sendiri. Kau curang! Mata semboyan kebangsaan, persamaan dan persaudaraan Revolusi Perancis itu Kau pungkiri, demi keenakan warisan itu”. Seperti yang dapat dilihat dalam adegan ini, satu saat perubahan penting (turning point) berlaku dalam dirinya, kerana pemikiran Minke mengalami perubahan dari saat itu. Berbanding dengan sebelumnya, Minke dengan aktif melibatkan diri dalam pembelaan kaum marhaen melalui tulisan berbahasa Melayu dalam suratkhabar. Oleh yang demikian, dapat dikatakan bahawa soal penggunaan bahasa Melayu membuka jalan yang luas untuk mencapai cita-citanya.

Dengan demikian Minke memilih bahasa Melayu sebagai salah satu faktor bagi mengelakkan dunia yang bemasalah. Dari itu watak utama Minke akhirnya digambarkan sebagai seorang pelopor yang amat menghargai bahasa Melayu sebagai bahasa yang digunakan dalam suratkhabar dan organisasi-organisasi baru. Maka, apabila bertemu dengan ketua cawangan Palembang Syarikat Dagang Islamiah dalam perjalanan yang diadakan untuk melihat perkembangan organisasi itu dari dekat, dia menjelaskan perlunya menggunakan bahasa Melayu seperti ini:

“Dik,” panggilnya, “mengapa kita mesti menggunakan Melayu?”

“Dalam rapat-rapat cabang yang tahu bahasa Jawa tentu tak diharuskan berbahasa Melayu. Tetapi kalau tingkatnya sudah kongres atau tingkat pusat, atau berhubungan dengan pusat, tak bisa tidak harus dipergunakan Melayu. ”

“Mengapa Jawa harus dikalahkan oleh Melayu?”

“Diambiul praktisnya, Mas. Sekarang, yang tidak praktis akan ter- singkir. Bahasa Jawa tidak praktis. Tingkat-tingkat di dalamnya adalah bahasa pretensi untuk menyatakan kedudukan diri. Semua anggota sama, tak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah - - - - Waktu bangsa-bangsa asing menguasai Nusantara, bukan Jawa lagi bahasa diplomasi. Melayu. Organisasi bukan organisasi Jawa, tapi Hindia - - - -“

“Tapi orang Jawa lebih banyak. ”

“Orang Jawa tak perlu bersusah-payah mempelajari Melayu, sebaliknya bangsa-bangsa lain membutuhkan tahunan untuk bisa menggunakan Jawa. Kita ambil praktisnya. Apa salahnya orang Jawa mengalah, melepaskan kebesaran dan kekayaannya yang tidak tepat lagi untuk jamannya yang juga tidak tepat? Demi persatuan Hindia?” (Pramoedya 1985: 373-374).

Denzel Carr pula berpendapat bahawa bahasa Melayu lebih demokratik daripada bahasa Jawa, dan lebih sederhana dalam bentuk tatabahasa, pengucapan dan paling utama dalam kekayaan kata-kata (1959). Memandangkan definisi bahasa sebagai ucapan fikiran dan perasaan manusia, maka segala usaha Pramoedya untuk menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa perantaraan, yang dipaparkan dalam karya ini patut diberi perhatian.

Dengan itu Minke sendiri berusaha untuk mempraktikkan sifat bukan feudal bahasa Melayu dalam pembicaraan sehari-hari. Ini diketahui dari hakikat bahawa dia menasihati Krio, seorang calon anggota Syarikat Dagang Islamiah supaya menggunakan istilah “sudara”, dan bukan “ndoro” lagi kepada Minke, apabila dia mengunjungi cawangan Solo organisasi itu. Alasannya ialah, menurut Minke, sebutan “sudara” berasal dari “se-dara”, “se-susu”, “se-penyusuan” yang mengandungi makna kesamarataan (Pramoedya 1985: 369). Selain dari itu, Minke menganggap bahawa hanya dengan bahasa Melayu organisasi umum di Hindia Belanda akan dapat menjadi besar dan subur. Maka, dia mendesak Samadi, ketua cawangan Solo yang lebih menghendaki bahasa Jawa, supaya memberikan keyakinan kepada bahasa Melayu dengan alasan bahawa bahasa Melayu semakin jauh dari pengajaran pihak penjajah, semakin jauh dari orang-orang feudal, semakin demokratik dan menjadi alat perhubungan yang nyaman, dan lebih-lebih lagi ianya memang bahasa bebas. Ini kerana, menurutnya hanya golongan bebas yang akan menentukan nasib bangsa-bangsa Hindia, dan salah satu syarat untuk persatuan bagi bangsa-bangsa majmuk itu adalah dekat-mendekati dasar demokrasi (ibid. : 169).

Perlu ditegaskan bahawa skala pemikiran Minke terhadap konsep bangsanya amat besar. Minke menganggap bahawa bangsa yang dimaksudkan olehnya adalah seluruh bangsa-bangsa yang berbahasa Melayu di dalam dan luar Hindia. Ini bererti selain dari Hindia, termasuklah Melayu seluruhnya kecuali yang berbahasa Cina, serta orang-orang yang berbahasa di Siam, Singapura dan Filifina. Aziz Deraman pula pernah menerangkan bahawa alam Melayu atau dunia Melayu telah ditafsirkan sebagai suatu kawasan budaya yang kaya dan luas melingkungi rantau geografi yang meliputi Malaysia, Indonesia, Filifina, Brnei, Singapura, Selatan Thai, Indo-China dan berkembang ke kepulauan Pasifik di bahagian timur dan mencecah Malagasi di barat sehingga ke Taiwan di bahagian utara. Mereka itu terdiri daripada beberapa kumpulan dialek atau pengucapan bahasa yang mempunyai asas-asas keserumpunan (1992: 13). Dalam karya ini nama bangsa yang Minke sebutkan adalah tidak lain “Bangsa Melayu Besar”. Satu hal yang tidak dapat dilupakan adalah bahawa di sini juga justeru bahasa Melayu yang menjadi dasar bagi pandangan ini. Gagasan ini jelas bertepatan dengan pendapat bahawa suatu bangsa dapat wujud kerana kebudayaan dan bahasa kebangsaan (Ben Anderson 1986: 66), dan “the new middle-class intelligentsia of nationalism had to invite the masses into history: and the invitation-card had to be written in a language they understood” (Tom Nairn 1977: 340).

Selain dari itu, pentingnya menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa penyatuan di kepulauan Hindia banyak lagi ditekankan dalam tetralogi ini. Apabila seorang watak peranakan Haji Moeloek menerangkan jasa golongannya untuk Hindia kepada Minke, ditampilkannya pula peranan golongan peranakan dalam mempelopori penerbitan suratkhabar berbahasa Melayu. Dalam situasi begini dia memberikan pandangan bahawa:

“Pribumi mengisi perbendaharaan kata-katanya melalui golongan Indo, dan nama-nama alat kerja yang tadinya tidak dikenal Pribumi. Yang lebih penting, Tuan, juga bahasa Melayu tertulis, tertulis dalam Latin, golongan Indo juga yang memulai. Juga penerbitan koran dan majalah dalam Melayu. - - - - Hanya karena kecintaannya saja pada bahasa Melayu, Tuan. Seperti aku sendiri ini, Melayu lebih sedap dari bahasa apa pun yang aku kenal, dan dapat aku ucapkan. Bahasa yang luarbiasa bebasnya, bisa dipergunakan dalam keadaan apapun, dalam suasana bagaimana pun, tanpa diri merasa kehilangan kehormatan (Pramoedya 1985: 277-278).

Pendapat ini menunjukkan bahawa golongan peranakan lebih dahulu menguasai bahasa Melayu daripada peribumi Hindia (lihat Ahmat Adam 1985: 32-50). Hakikat ini berkaitan dengan pandangan Pramoedya yang mementingkan khazanah sastera yang dihasilkan sebagian besarnya oleh golongan peranakan dan Cina pada perlintasan abad 19 ke 20. Sebenarnya hasil-hasil karya sastera seperti ini tidak diberi perhatian yang istimewa oleh para pengkritik sastera Indonesia. Akan tetapi, justeru Pramoedya yang menganggapnya penting sebagai sebahagian khazanah sastera Indonesia dengan memberi istilah “Sastra Melayu Lingua Franca”, “Sastra Assimilatif” atau “Sastra Pra-Indonesia”. Perlu diambil perhatian terhadapnya, kerana sastera pada masa itu sebagai cerminan keadaan zamannya mengandungi gagasan-gagasan yang mengawali kesedaran nasional. Pramoedya sendiri menjelaskan bahawa Melayu lingua franca merupakan fenomena tunggal di Asia Tenggara, kerana dipergunakan dan dikembangkan oleh orang-orang asing sewaktu memasuki Nusantara dari Melaka sebagai pangkalan. Mula-mula dipergunakan oleh para mubalig asing, juga dari pangkalan Melaka, untuk menyebarkan Islam. Maka tidak mengherankan bila naskhah-naskhah tua Tafsir Al-Quran yang didapatkan di sepanjang pesisir utara Pulau Jawa berbahasa Melayu. Bahkan raja Islam pertama di Demak diperkirakan tidak berbahasa Jawa, tetapi Melayu (1982: 9).

Seperti dijelaskan di atas soal penggunaan bahasa amat penting dalam karya ini. Pramoedya sendiri telah pun berusaha menggunakan kata-kata Melayu untuk menggambarkan pemikirannya, yang sudah tidak biasa digunakan lagi pada masa kini di Indonesia, misalnya antara lain “cik’gu”, “emak”, “kelmarin”, “encik” dan “cawan”. Ini bererti bahawa sebagai seorang sasterawan Pramoedya menyedari ketepatan bahasanya dengan zaman yang dijadikan latar belatang karya, dan penyelidikan yang dilakukan untuk penulisan karyanya amat mendalam. Dalam konteks ini Keith Foulcher memberi pendapat bahawa:

The question of language is, in fact, of crucial importance in Bumi Manusia. Suffice it to say that the wider concerns of the narrative are constantly reflected through references in the text to the relationship between language and consciousness. In one of the exchanges with his mother, as Minke struggles to articulate his rejection of Javanese values, the degree of alienation between his consciousness and his environmemt is expressed at its most poignant through the issue of language (1981: 4).

Dengan demikian Pramoedya menunjukkan sikapnya yang mementingkan penggunaan bahasa Melayu dalam tetralogi ini. Sikap ini sebenarnya berpunca dari pandangan yang menghargai sikap demokratik, praktikal dan anti-feudal, yang justeru merupakan sifat-sifat bahasa Melayu juga.

Agama Islam

Tanggapan Pramoedya terhadap agama Islam juga dapat dilihat dalam karya ini. Sebagaimana yang tersebut di atas agama Islam merupakan salah satu faktor penting untuk penyatuan bangsa Melayu. Dan tidaklah berlebihan jika dikatakan tamadun Melayu adalah sebenarnya tamadun Islam. Dalam karya ini juga Islam dianggap penting sebagai rantai pengikat Bangsa Melayu Besar yang diistilahkan oleh watak utama Minke. Ini kerana dianggap olehnya bahawa satu faktor yang menimbulkan semangat nasionalisme yang padu adalah persamaan agama yang tinggi darjatnya yang terdapat di kepulauan Indonesia. Agama Islam dianggap “bukan saja boleh menjadi rantai pengikat, malah sebenarnya ia menjadi semacam lambang persaudaraan yang dapat mengawal atau mempertahankan diri daripada anasir-anasir pengacau asing dan tekanan dari agama-agama lain (George Mac T. Kahin 1980: 49).

Dalam karya ini watak utama Minke tidak digambarkan sebagai seorang Jawa yang termasuk dalam kalangan santri asli yang mempunyai orientasi yang lebih kuat dan lebih asli terhadap agama Islam berbanding dengan penduduk-penduduk lainnya, melainkan dia dapat dikatakan termasuk golongan abangan (lihat Clifford Geertz 1989). Namun begitu, tidak dapat dinafikan bahawa Minke adalah seorang muslim yang tetap menggantungkan harapan kepada kepercayaan agamanya, iaitu Islam. Ini terlihat pada sikap Minke yang bersandarkan kepada Allah apabila dia mengalami kesulitan seperti berikut:

Ya, Allah, juga kenelangsaan bisa menghasilkan sesuatu tentang ummatMu sendiri. Kau jugalah yang perintahkan ummat untuk berbangsa- bangsa dan berbiak. - - - - Aku berpaling kepadaMu, karena orang-orang yang dekat denganMu pun tidak pernah menjawab. Kaulah yang men- jawab sekarang. Aku hanya menulis tentang yang kuketahui dan yang kuanggap aku ketahui. Bukankah segala ilmu dan pengetahuan juga berasal tidak lain dari Kau sendiri? (Pramoedya 1980a: 186).

Selain itu, Minke sedaya upaya berusaha memperluaskan organisasi peribumi yang bercirikan kepada agama Islam,iaitu melalui gerakan Syarikat Dagang Islamiah. Maka, watak Pangemanann sebagai seorang pegawai peribumi yang berpangkat tinggi, dan juga sebagai seorang pengagum Minke, yang mengintip juga gerak-geri Minke untuk mencegah perluasan gerakan kebangkitan nasional itu, menilainya bahawa “beribu-ribu pengikutnya, terdiri dari muslim putih dan terutama abangan dari golongan mardika. Dia sendiri dari golongan priyayi, kadar keislamannya mudah ditukar. Islam baginya unsur pemersatu yang tersedia di Hindia” (Pramoedya 1988: 7). Dan, apabila Minke berbincang dengan Douwager, seorang peranakan yang membantu Minke di pejabat redaksi majalah Medan, dia memberi pendapatnya mengenai Islam sebagai berikut:

Dan, Islam, kataku selanjutnya, yang secara tradisional melawan penjajah sejak semula Eropa datang ke Hindia, dan akan terus melawan selama penjajah berkuasa. Bentuknya yang paling lunak: menolak kerjasama, jadi pedagang. Tradisi itu patut dihidupkan, dipimpin, tidak boleh mengamuk tanpa tujuan. Tradisi sehebat dan seperkasa itu adalah modal yang bisa menciptakan segala kebajikan untuk segala bangsa Hindia (Pramoedya 1985: 339).

Perlu disebut juga segala usaha Minke yang dipaparkan dalam karya ini adalah berpunca dari pemikiran kemanusiaan Pramoedya sendiri, yang menjadi salah satu asas tamadum Islam. Pada dasarnya tamadun Islam yang dibentuk dalam berbagai corak dan rupa itu mempunyai asas-asas yang kukuh. Asas-asasnya adalah antara lain: keagungan dan keluhuran nilai kemanusiaan berbanding dengan nilai benda ; dan, berfungsinya nilai kemanusiaan yang menyebabkan berkembangnya sifat kemanusiaan manusia bukannya sifat kebintangan. Dengan perkataan lain, apabila kemanusiaan manusia itu menjadi nilai tertinggi dalam sebuah masyarakat dan apabila sifat kemanusiaan di dalam masyarakat itu menjadi tumpuan penilaian ketika itulah masyarakat itu menjadi sebuah masyarakat yang bertamadun (Azam Hamzah 1990: 25-26).

Kemanusiaan adalah merupakan satu dasar pemikiran Pramoedya, kerana sebahagian besar karya sasteranya mengandungi ciri-ciri tersebut sebagai landasan penciptaannya. Rasa kemanusiaan ini terdedah dalam karyanya sebagai pancaran dari penderitaan yang dialaminya sendiri. Memandangkan kehidupan Pramoedya yang selalu didampingi dengan penderitaan manusia secara langsung atau tidak langsung, wajarlah beliau membawa ciri-ciri kemanusiaan yang ditimbulkan daripada lenturan penderitaan itu dalam karyanya sendiri. Pemikiran kemanusiaan yang dipaparkan oleh Pramoedya dalam karya ini adalah berpunca dari satu anggapan bahawa manusia manghayati kehidupannya sebagai manusia sebenar dengan melapaskan diri dari segala belenggu, umpamanya warisan kebudayaan yang kolot dan ketidakadilan dari kuasa kolonial. Dalam konteks ini Minke sangat bersimpati dengan nasib watak Nyai dan Surati yang dijual oleh ayah mereka sendiri untuk kenaikan pangkat ayahnya masing-masing.

Pramoedya memperlihatkan aspek kemanusiaan dalam karya tetraloginya ini dengan memberatkan juga soal penggunaan kekerasan dalam satu tindakbalas. Ini dapat dilihat apabila Trunodongso cedera parah kerana tertikam pedang Kompeni dalam suatu rusuhan. Minke menasihatinya bahawa tidak semua permasalahan dapat diselesaikan dengan senjata dan amarah. Di samping itu, Minke merasa sangat gelisah apabila isterinya, Prinses Kasiruta, menembak mati orang-orang yang hendak membunuh Minke. Semua ini berlaku kerana, seperti yang tersebut di atas, dia menangapi bahawa penggunaan kekerasan untuk tujuan apa pun tidak dapat merupakan penyeselaian masalah. Rasa kegelisahan Minke terhadap tindakan isterinya ditunjukkan seperti berikut:

Dia tidak mau tahu betapa gelisah suaminya tidur di samping seorang pembunuh.

“Kau menembak orang yang tidak siap untuk melawan. ”

“Aku hanya punya seorang suami. Suamiku bekerja untuk banyak urusan. Pekerjaanku terutama mengurus suamiku. Mereka dalam keadaan hendak menyerang waktu kutembak - - - -. ”

Ia sama sekali tak terganggu setelah melakukan perbuatannya. Tenang- tenang seperti tak ada terjadi sesuatu. Barangkali ia pernah melaku- kan pembunuhan-pembunuhan sebelumnya. Bulu romaku menggermang. Benar- kah selama ini aku beristrikan seorang pembunuh? Dan aku tidak tahu? (Pramoedya 1985: 436-437).

Seperti yang dijelaskan di atas Pramoedya membuat soal kemanusaian tertonjol dan hidup melalui peranan dan tindakan watak-watak dalam karya ini. Dengan demikian pemikiran Pramoedya yang mementingakan bahasa Melayu dan agama Islam ini bertepatan dengan asas-asas alam Melayu yang memang bersifat demikian.

Mengkaji seorang pengarang sesungguhnya adalah bermaksud mengikuti tanggapan diri pengarangnya terhadap dunia luar, yang terpancar dalam karyanya. Mengikuti pertumbuhan dan perkembangan karya sastera Pramoedya bererti membicara dan menganalisis dunia dan alam pemikirannya sendiri. Seorang novelis tidak hanya menyajikan kehidupan, tetapi juag intuisi dan tafsiran tentang kehidupan. Oleh yang demikian lahir batin yang didedahkan dalam karyanya dapat dirasakan juga sebagai pengalaman manusia umumnya. Dan pengalaman demikian menjadi dasar terpenting dalam menumbuhkan pemikiran Pramoedya, kerana sesuatu pemikiran tidak dapat langsung diwujudkan dari keadaan vakum. Semua ini bermakna pula apabila karya-karya yang mempersoalkannya itu dikaji atau dikritik tanpa sesuatu prasangka terhadap pengarangnya.

Bibliografi

Ahmat Adam, 1985, “The Bintang Hindia and the Pursuit of Kemajuan for Indonesians” dalam Jurnal Antropologi dan Sosiologi, vol. 13, UKM: 3-14.

Ahmat Adam, 1989, “Pramoedya Ananta Toer dalam Rumah Kaca” dalam Dewan Sastera, Jun: 29-33.

Anderson, Benedict, 1986, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, London: Verso.

Azam Hamzah, 1990, Tamadun Islam: Konsep dan Pencapaiannya, Shah Alam: Hizbi.

Aziz Deraman, 1992, Tamadun Melayu dan Pembinaan Bangsa Malaysia, KL: Arena Ilmu.

Carr, Denzel, 1959, “Sampai Ke mana Memurnikan Bahasa?” dalam Siasat, 21 Januari.

Foulcher, Keith, 1981, “Bumi Manusia and Anak Semua Bangsa: Pramoedya Ananta Toer Enters the 1980s” dalam Indonesia, no. 32: 1-15.

Geertz, Clifford, 1989, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Pustaka Jaya.

Harun Mat Piah, 1989, “Tamadun Melayu Sebagai Kebudayaan Kebangsaan: Satu Tinjauan Dan Justifikasi” dalam Aziz Deraman et al. (ed. ), Tamadun Melayu, Jilid Dua, KL: DBP.

Hayes, Carlyon, J. H. , 1931, The Historical Evolutuin of Modern Nationalism, New York: Richard R. Smith.

Hoffman, John, 1979, “A Foreign Investment: Indies Malay to 1901” dalam Indonesia, no. 27: 65-92.

Hoggart, Richard, 1966, “Literature and Society” dalam Mckenzie (ed. ), A guide to the Social Sciences.

Jakob Sumardjo, 1985, “Novel Sejarah Kita” dalam Kompas, 15 Oktober.

Kahin, George Mac T. , 1980, Nasionalisme Dan Revolusi di Indonesia, KL: DBP.

Koh Young Hun, 1996, Pemikiran Pramoedya Ananta Toer dalam Novel-Novel Mutakhirnya, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Kohn, Hans, 1965, Nationalism: Its Meaning and History, Toronto: Van Nostrand.

Lukacs, Georg, 1962, The Historical Novel, London: Merlin Press.

Nairn, Tom, 1977, The Break-Up of Britain, London: New Left Books.

Pramoedya Ananta Toer, 1980a, Bumi Manusia, Jakarta: Hasta Mitra.

Pramoedya Ananta Toer, 1980b, Anak Semua Bangsa, Jakarta: Hasta Mitra.

Pramoedya Ananta Toer, 1982, Tempo Doeloe, Jakarta: Hasta Mitra.

Pramoedya Ananta Toer, 1985, Jejak Langkah, Jakarta: Hasta Mitra.

Pramoedya Ananta Toer, 1988, Rumah Kaca, Jakarta: Hasta Mitra.

Sutan Takdir Alisjahbana, 1956, Sejarah Bahasa Indonesia, Jakarta: Pustaka Rakyat.

Teeuw, A. , 1980, Sastra Baru Indonesia, Ende: Nusa Indah.

sumber

5 Aug 2015

akal dan ilmu


Perkuat akal melalui ilmu 
Mazlina Ismail


Akal memainkan peranan penting dalam membina kekuatan diri. Islam menggalakkan penggunaan akal, namun bukan akal secara mutlak dan bersendirian sebaliknya akal yang dipandu dengan panduan agama dan syariat.

 Felo Utama dan Pengarah Syarak, Dr Mohd Farid Mohd Syahran menyentuh hal ini dalam bicaranya mengenai 'Membina Kekuatan Jiwa Dalam Pendidikan' yang bersiaran dalam program Guru dan Pendidikan di radio IKIMfm, hari Selasa jam 5.15 petang.

Terdahulu, beliau mengupas perkataan jiwa itu sendiri yang sering dikenali sebagai kalbu, roh, diri dan satu lagi istilah ialah 'akal'. Akal sentiasa dirujuk kepada intelek, aspek logik, aspek rasional dan kalau dirujuk kepada al-Quran, 'akal' amat rapat dan sentiasa merujuk kepada perkara yang tinggi termasuklah aspek ketuhanan.

Mereka yang kuat akalnya itulah orang yang dekat dengan ketuhanan. Orang yang kuat akal akan menjadi orang yang mampu mengawal emosinya. Perkara ini perlu dijelaskan kerana kita tidak boleh menjauhkan 'akal' itu dari aspek ketuhanan kerana ada kecenderungan dalam masyarakat kita yang melihat bahawa penilaian akal itu tidak benar dan hanya bersifat duniawi semata-mata, tersasar daripada iman dan membawa kesesatan.

Kecenderungan ini kurang tepat kerana 'akal' juga memainkan peranan penting dalam Islam dan lantaran itulah kita sering menemui ayat-ayat al-Quran yang menyebut 'afala ta'qilun' atau 'afala tatafakkarun' dan seumpamanya (kenapa kamu tidak berfikir?).

Galak akal berfikir kebesaran Allah

Islam menggalakkan penganutnya menggunakan akal dalam memikirkan tanda kebesaran Allah SWT. Orang yang serius dalam menggunakan akalnya itu akan menghampiri kebenaran. Penggunaan akal tidak boleh dipisahkan daripada agama, tetapi akal perlu bergerak seiring agama

Akal ini mengikut Imam al-Ghazali seperti yang dinukilkan dalam Kitab Ajaib al-Qalb yang merujuk kepada empat perkara. Pertama, pembawaan tabii dalam diri manusia yang membezakan manusia daripada makhluk lain. Maknanya apabila manusia menggunakan akal yang juga tabii dalam dirinya dengan betul dan memperkukuhkan elemen yang membawa kepada kuatnya akal, ia mampu membezakan manusia dengan haiwan.

Bahkan ia menjadi manusia sebagai makhluk yang sebaik-baik kejadian (ahsanul taqwim). Oleh itu, untuk menjadi manusia yang paling baik ialah dengan cara memperkuatkan akal dan cara memperkuatkan akal itu ialah melalui ilmu.


Lantaran itu, kita sering mendengar pesan orang tua-tua dahulu setiap kali menghantar anak mereka ke sekolah dengan ungkapan "kau pergi sekolah ini agar menjadi manusia". Sebenarnya orang tua dulu faham mengenai falsafah pendidikan itu sendiri dalam konteks yang paling mudah difahami iaitu untuk melahirkan manusia kerana hanya dengan ilmu sahajalah 'manusia' sebenarnya akan dapat dilahirkan.

Tanpa ilmu walaupun manusia itu jasadnya manusia, namun akhlak dan peribadinya mungkin lebih teruk daripada binatang bahkan lebih daripada itu sehingga adanya istilah yang sering digunakan iaitu 'syaitan bertopengkan manusia' sebagai menggambarkan bagaimana sifat manusiawi yang mulia itu sudah tiada pada individu berkenaan.

Maksud kedua mengikut Imam al-Ghazali, akal itu ialah apabila ilmu daruri atau 'ilmu yang pasti' datang pada diri seseorang. Oleh itu, dalam Islam ada istilah 'akil baligh' yang merujuk kepada sampainya umur akalnya dan kemampuan akal untuk menerima tanggungjawab (taklif).

Justeru, mereka ini disebut mukalaf iaitu orang yang dipertanggungjawabkan. Kenapa mereka mula dipertanggungjawabkan? Kemampuan akal mereka untuk memilih baik dan buruk, benar dan jahat. Sekiranya akal mereka masih belum sempurna untuk menilai dan membezakan sesuatu, maka selama itu mereka tidak dibebankan dengan tanggungjawab.

Kepentingan akal dalam agama

Oleh sebab itu kanak-kanak, orang gila atau orang terlalu tua yang sudah nyanyuk atau lemah daya akalnya tidak lagi dibebankan dengan tanggungjawab agama kerana kemampuan akalnya yang sudah tidak sempurna. Ini jelas menunjukkan betapa akal itu amat penting dalam agama.

Ketiga, akal merujuk kepada pengalaman hidupnya. Jika seseorang itu lama hidupnya, lebih banyak pengalamannya dan sepatutnya lebih kuat daya akalnya.

Keempat, akal itu merujuk kepada kekuatan dalam diri membolehkan seseorang itu mengetahui akibat sesuatu itu baik atau buruk. Lagi kuat seseorang itu untuk membuat penilaian terhadap baik buruk sesuatu perkara, maka menjadi dalil betapa kuat akalnya.

Sebab itu antara ciri pemimpin ialah memiliki akal yang 'tadabbur' iaitu mampu merenung jauh dalam setiap tindakan yang diambil. Jika pemimpin tidak mampu membuat analisis dengan lebih baik terhadap sesuatu baik atau buruk, maka beliau bukan seorang pemimpin yang baik.

Bagaimana pula cara untuk memantapkan daya pemikiran dan akalnya? Akal manusia ini mempunyai kemampuan menggambarkan (tasawur) sesuatu. Sebagai contoh konsep kecantikan mampu digambarkan secara automatik oleh akal.

Akhirnya manusia seakan boleh sepakat terhadap sesuatu itu cantik, walaupun ia sesuatu yang bersifat konsep dan abstrak. Begitu juga apabila kita melihat kereta atau pokok. Kita seakan sepakat mengenai konsep kereta atau pokok dalam akal kita.

 Begitu juga peranan akal ialah menyusun cara berhujah, menggunakan premis yang logik dalam menyampaikan kepada kesimpulan atau rumusan.

Dalam gagasan pendidikan baharu bagi melahirkan pelajar yang mampu berfikir aras tinggi, kemampuan akal perlu dipertingkatkan sehingga mampu membuat perbandingan, menganalisis (analitikal), dan mengaplikasi teori baharu dalam kehidupan


bhonline


4 Aug 2015

Hang Tuah Bukan Dongeng


Hang Tuah bukan kisah dongeng
UPM temukan dua dokumen, satu artifak bukti kewujudan
04 Ogos 2015


Hashim Musa (tengah) bersama Rohaidah Kamaruddin (kiri) dan Abdul Muati @ Zamri Ahmad berbincang sesuatu berkenaan bukti sahih Hang Tuah benar wujud di Universiti Putra Malaysia, Kuala Lumpur, semalam. UTUSAN/JEFFRI IRAN

KUALA LUMPUR 3 Ogos –Sepasukan penyelidik Universiti Putra Malaysia (UPM) berjaya menemukan tiga sumber utama untuk membuktikan kewujudan pahlawan Melaka, Laksamana Hang Tuah sebagai satu sejarah dan bukannya kisah dongeng.

Pensyarah Fakulti Bahasa Mo­den dan Komunikasi UPM, Prof. Emeritus Dr. Hashim Musa berkata, tiga sumber tersebut terdiri daripada satu dokumen dan satu artifak yang diterima daripada kerajaan Ryukyu serta satu dokumen dari Portugal.

Katanya, dua dokumen tersebut merupakan dokumen rasmi kerajaan Ryukyu, Rekidai Hoan, yang mencatatkan hubungan kerajaan bebas itu dengan Korea dan negara-negara Asia Tenggara serta catatan pengembaraan Alfonso de Albuquerque yang diterbitkan pada 1774.

“Menurut Rekidai Hoan, hubungan antara Melaka dan Ryukyu terjalin sejak abad ke-15 dan dibuktikan dengan penghantaran 10 surat yang melibatkan kedua-dua kerajaan dan salah satu daripada surat berkenaan dihantar sendiri oleh Hang Tuah. Ini termasuklah penghantaran keris berluk sembilan sebagai tanda hubungan erat kedua-dua negara.

“Catatan Albuquerque turut menerangkan mengenai Hang Tuah sebagai Laksamana Melaka. Sewaktu Portugis menawan Melaka, mereka cuba memujuk Hang Tuah yang ketika itu lari ke Singapura untuk berkhidmat bersama penjajah itu, namun gagal,” katanya.

Beliau berkata demikian dalam sidang akhbar mengisytiharkan kewujudan Hang Tuah dalam sejarah negara, di sini hari ini.

Yang turut hadir Dekan Fakulti Bahasa Moden dan Komunikasi, Prof. Madya Abdul Mua’ti @ Zamri Ahmad dan pensyarah kanannya, Dr. Rohaidah Kamaruddin.

Dalam pada itu, Hashim berkata, sumber utama yang diperoleh itu sudah cukup untuk membuktikan kewujudan Hang Tuah sewaktu era Kesultanan Melayu Melaka.

Katanya, perihal mengenai Hang Tuah dalam catatan Albuquerque cukup jelas dinyatakan termasuklah umur pahlawan Melayu itu yang berusia sekitar 80-an ketika meninggalkan Melaka.

“Hang Tuah disifatkan sebagai Laksamana yang mempunyai reputasi baik, handal, taat, berpengetahuan, berani dan pantang berundur. Semua ciri tersebut cukup untuk melambangkan pahlawan Melayu,” katanya.

Sementara itu, Abdul Mua’ti berkata, penemuan keris berluk sembilan tanpa hulu dan sarung di pekarangan Kuil Diraja Enkakuji Ryukyu berhampiran Istana Shuriji itu merupakan satu bukti kukuh hubungan terjalin antara Melaka dan negara tersebut.

“Keris tersebut dijumpai di dasar laut dan mempunyai sembilan luk yang lazimnya dihadiahkan Kesultanan Melaka kepada kerajaan lain. Ini kerana keris yang luknya kurang daripada sembilan kebiasaannya dihadiahkan kepada individu ter­tentu,” jelasnya.

utusanonline

#sehatisejiwa




#Sehatisejiwa Tema Sambutan Hari Kebangsaan 2015
6 Jun 2015 



KUALA LUMPUR: #sehatisejiwa dipilih sebagai tema bagi sambutan Hari Kebangsaan tahun ini.

Menteri Komunikasi dan Multimedia Datuk Seri Ahmad Shabery Cheek berkata tema itu dipilih kerana ia mencerminkan roh kesepaduan, kesefahaman, kekitaan dan kemanusiaan seluruh rakyat di negara ini.

"Misalnya, gempa bumi di Sabah dan bencana alam seperti banjir besar yang berlaku di negeri-negeri Semenanjung baru-baru ini turut dirasai dan terkena tempiasnya oleh seluruh rakyat Malaysia.

Perasaan ini seharusnya dirasai bersama. Sebab itulah tema #sehatisejiwa dipilih bagi melambangkan semangat kesepaduan tersebut yang dimiliki oleh semua rakyat tidak kira di mana mereka berada," katanya ketika berucap pada Majlis Prapelancaran Sambutan Hari Kebangsaan 2015 di Dataran Merdeka, Sabtu.

Ahmad Shabery berkata mulai tahun ini, sambutan Hari Kebangsaan dan Hari Malaysia tidak lagi disebut berdasarkan ulang tahun, sebaliknya mengikut tahun.

"Ia dilihat sebagai prinsip kesamarataan antara Semenanjung serta Sabah dan Sarawak kerana penggabungan Malaysia yang sebenarnya pada 16 September, dan 31 Ogos hanya melibatkan Semenanjung sahaja," katanya.

Pada majlis itu, turut diperkenalkan barangan sempena Hari Kebangsaan untuk jualan kepada orang ramai sebagai cenderahati.

Selain itu, Ahmad Shabery turut membuat pelepasan konvoi Eksplorasi #sehatisejiwa yang melibatkan dua buah kenderaan Jabatan Penerangan, 10 buah kereta Proton terdiri daripada pelbagai model, 20 motosikal berkuasa besar dan sebuah lori yang bakal menjelajah ke seluruh negara untuk mempromosikan sambutan Hari Kebangsaan tahun ini.

Pelbagai aktiviti diadakan seawal pukul 8 pagi tadi sempena prapelancaran itu bagi menyemarakkan sambutan Hari Kebangsaan 2015.
-- BERNAMA

mstar



24 acara utama sempena Hari Kebangsaan dan Hari Malaysia 2015
15 Julai 2015

AHMAD SHABERY CHEEK menunjukkan logo sambutan Hari Kebangsaan dan Hari Malaysia 2015 dengan slogan #sehatisejiwa selepas mempengerusikan Mesyuarat Jawatankuasa Induk persiapan sambutan tersebut di Kementerian Komunikasi dan Multimedia, Putrajaya, semalam. Turut sama, Ketua Setiausaha Kementerian, Datuk Seri Dr. Sharifah Zarah Syed Ahmad (kanan) dan Timbalan Ketua Setiausaha Kanan, Datuk Seri Othman Mahmood. BERNAMA

PUTRAJAYA 14 Julai – Kementerian Komunikasi dan Multimedia akan me­nganjurkan sebanyak 24 acara utama bersempena dengan sambutan Hari Kebangsaan dan Hari Malaysia 2015.

Menterinya, Datuk Seri Ahmad Shabery Cheek berkata, sambutan pada tahun ini bakal disambut meriah dengan pelbagai acara baharu sesuai untuk pelbagai lapisan masyarakat.

Beliau berkata, antara acara baharu yang akan dianjurkan ialah Bufet Hari Kebangsaan bermula 28 Ogos hingga 16 September di hotel-hotel terpilih di seluruh negara selain penganjuran pelbagai acara sukan seperti larian.

“Sebelum ini, hotel-hotel di seluruh negara jarang terlibat dengan sambutan Hari Kebangsaan dan juga Hari Malaysia, penglibatan mereka kali ini diyakini dapat memeriahkan suasana sambutan.

“Pengusaha hotel sebelum ini hanya menganjurkan bufet Ramadan dan tahun baharu sahaja, kali ini satu program baharu yang mampu menarik perhatian pengunjung diadakan,” katanya.

Beliau berkata demikian kepada pemberita selepas mempengerusikan mesyuarat kali ketiga Jawatankuasa Induk Persiapan Sambutan Hari Kebangsaan dan Hari Malaysia 2015 di sini hari ini.

Menurut Ahmad Shabery, antara acara lain yang akan dianjurkan adalah Pelancaran Bulan Kebangsaan dan Kempen Kibar Jalur Gemilang, Jualan Hari Kebangsaan, Perbarisan dan Perarakan Hari Kebangsaan 2015 dan Sambutan Hari Malaysia 2015.

Selain itu, katanya, perbarisan dan perarakan Hari Kebangsaan pada tahun ini akan menampilkan kelainan apabila pihak kementerian menjemput malim gunung sebagai penghormatan atas pengorbanan dan keberanian mereka semasa operasi menyelamat di Gunung Kinabalu.

“Kita juga te­lah bincang untuk memperbanyakkan penglibatan bahagian animasi semasa perarakan berlangsung selain beberapa pembaharuan hiasan di Dataran Merdeka semasa sambutan berlangsung.

“Pada sambutan tahun sebelum­nya kita hanya menyediakan tempat duduk khas kepada tetamu jemputan sahaja, tetapi pada kali ini kita akan menyediakan 10,000 tempat duduk khas di Dataran Merdeka bagi keselesaan orang ramai,” katanya.

Dalam pada itu, Ahmad Shabery turut mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Pelancongan dan Kebudayaan serta Kementerian Perdagangan Dalam Negeri, Koperasi dan Kepenggunaan kerana terlibat dalam penganjuran acara sempena sambutan tersebut.

utusan online








2 Aug 2015

zapin


Peruntuk RM2j setahun 
pelihara tarian zapin
MOHAMAD FAIZAL HASHIM
28 Julai 2015 



ZULKURNAIN KAMISAN menandatangani plak bagi merasmikan Program Siri Jelajah Merdeka AEON Akar Kita Zapin di AEON Tebrau City, Johor Bahru, baru-baru ini. UTUSAN/MOHD. HAZROL ZAINAL

JOHOR BAHRU 27 Julai – Tarian zapin yang cukup sinonim dengan negeri ini sentiasa diberi keutamaan oleh kerajaan negeri bagi memastikan seni tersebut terus kekal untuk tatapan generasi muda hingga kini.

Bagi memastikan hasrat itu tercapai, kerajaan negeri memperuntukkan RM2 juta setahun bagi program pembangunan tarian zapin untuk memperkasakan seni yang menjadi identiti negeri ini.

Pengerusi Jawatankuasa Belia, Sukan, Kebudayaan dan Warisan negeri, Datuk Zulkurnain Kamisan berkata, peruntukan tersebut meliputi program latihan secara berterusan dengan kerjasama Yayasan Warisan Johor serta persatuan lain yang berkaitan bagi memastikan warisan negara itu terus terpelihara.

“Seni zapin cukup terkenal di seluruh negara dan Johor merupakan negeri yang memberikan penekanan terhadap kesenian itu. Malah, kita mempunyai seramai 250 guru di negeri ini yang terlibat dalam program pembangunan zapin melibatkan 50 buah sekolah rendah dan menengah.

“Oleh itu, kerajaan negeri akan terus berusaha bagi memastikan kesenian yang wujud sejak lebih 20 tahun lalu ini kekal dipelihara bagi memastikan generasi akan datang dapat mempelajari sesuatu tentang seni warisan tersebut,” katanya selepas merasmikan Siri Jelajah Merdeka Aeon Akar Kita Zapin 2015 Peringkat Zon Selatan di Aeon Mall Tebrau City, di sini kelmarin.

Yang turut hadir, Pengerusi merangkap Pengarah Projek Siri Jelajah Empayar Akar Kita Zapin Nusantara 2015/2016, Noraniza Idris.

Mengulas tentang siri jelajah berkenaan, Zulkurnain berkata, kerajaan negeri menyambut baik penganjuran program yang mengetengahkan keistimewaan tarian zapin ke seluruh negara.

“Siri jelajah ini bermula dari Taiping dan Seri Manjung, Perak dan diikuti di Rawang, Selangor sebelum dianjurkan di sini. Program ini perlu diteruskan kerana memberi impak yang cukup besar kepada masyarakat berbilang kaum,” katanya.

Sementara itu, Noraniza berkata, penganjuran siri jelajah yang diadakan sejak Mei lalu mendapat reaksi positif dari segi penyertaan dan sambutan penonton yang menyaksikan pertandingan tersebut.

“Kita memilih tarian zapin kerana seni ini sangat meluas dengan setiap negeri mempunyai kesenian tersendiri selain ingin mendekati jiwa generasi muda dengan langkah tari yang pantas dan agresif.

“Pada tahun ini, kami menyasarkan penyertaan 20,000 peserta mengambil bahagian dalam siri jelajah ini yang berakhir pada 31 Ogos ini,” katanya.

utusan online


Yayasan Warisan Johor kenal pasti 15 jenis zapin

9 Mac 2013

TANGKAK — Johor melalui Yayasan Warisan Johor dalam kajiannya selama 15 tahun mengenal pasti 15 jenis tarian zapin untuk dikembangkan sebagai usaha menyemarakkan kegiatan seni budaya di negeri itu.

Menteri Besar, Datuk Abdul Ghani Othman berkata bagi mencapai hasrat tersebut yayasan mengambil pendekatan melatih guru tarian zapin bagi melahirkan kumpulan tarian zapin berkualiti tinggi.

"Melalui pendekatan ini, kita telah berjaya melahirkan kumpulan tarian zapin yang mempunyai kualiti tersendiri,” katanya ketika merasmikan Program Merakyatkan Seni Budaya “Sentuhan Rakyat” di Kompleks Sukan Tok Laji, Kampung Kesang Tasek, Sungai Mati di sini hari ini.

Menurut beliau, kemajuan sesebuah negeri akan menjadi tempang jika tumpuan hanya diberikan kepada usaha membangun ekonomi atau yang berbentuk kebendaaan semata-mata.

Abdul Ghani berkata selain Zapin Johor juga berjaya menyemarakkan kumpulan ghazal dan lagu keroncong yang disiarkan melalui siaran radio Best 104 setiap hari.

"Kita mengharapkan agar penekanan akan terus diberikan dalam pembangunan bidang kesenian dan kebudayaan sebagai jati diri masyarakat di negeri ini,” katanya.

Terdahulu, beliau yang juga Ahli Dewan Undangan Negeri Serom turut bersama masyarakat setempat bergotong-royong mengecat balai raya kampung tersebut. — BERNAMA

kosmo online



Pertandingan zapin Pontian meriah
01 Mei 2015 12:07 AM


Mukim Sungai Pinggan muncul johan kategori jabatan kerajaan pertandingan zapin peringkat daerah Pontian yang diadakan di Dewan Jubli Intan, Sultan Ibrahim, di Pontian, Johor, baru-baru ini. utusan/Muhammad Zikri

PONTIAN 30 April – Pertandingan zapin anjuran Yayasan Warisan Jo­hor (YWJ) yang diadakan di Dewan Jubli Intan Sultan Ibrahim, di sini hujung minggu lalu, mendapat sam­butan hangat yang menyaksikan penyertaan 25 kumpulan tarian di daerah ini.

Pegawai Daerah Pontian, Ka­ma­ruddin Abdullah berkata, penganjuran acara itu dengan kerjasama Pejabat Daerah dan Majlis Kebudayaan Daerah itu berjaya menarik perhatian kumpulan yang mewakili mukim, jabatan kerajaan malah peringkat sekolah rendah dan menengah.

“Masyarakat juga berperanan memelihara dan menjaga warisan seni budaya termasuk tarian zapin dan pertandingan ini direalisasikan dengan tujuan mencungkil bakat baharu serta kumpulan zapin yang mampu diketengahkan ke peringkat negeri mahupun antarabangsa.

“Pontian tidak ketinggalan de­ngan dua tarian zapin yang dikenali ramai iaitu zapin Parit Mastar dan zapin Seri Bunian, seperti mana popularnya zapin Pekajang, Tenglu dan Koris,” katanya ketika berucap merasmikan pertandingan tersebut.

Teks ucapan beliau dibacakan oleh Ketua Penolong Pegawai Daerah Pontian, Zaid Abd. Rahman. Turut hadir Penolong Pengarah Bahagian Pembangunan Seni Budaya YWJ, Syarifah Noorfaiza Syed Rusli dan Yang DiPertua Majlis Daerah Pontian, Suhairi Hashim.

Pertandingan menyaksikan Hos­pital Pontian mewakili daerah untuk ke peringkat negeri selepas menjuarai kategori Jabatan Kerajaan manakala Mukim Sungai Pinggan diumumkan sebagai juara ka­tegori Mukim.

Kategori Sekolah Menengah dimenangi Maktab Rendah Sains Mara Pontian manakala kategori Sekolah Rendah diungguli Sekolah Kebangsaan Serkat sementara ka­tegori Terbuka menjadi milik Kumpulan Sri Warna.

Menurut Kamaruddin, tradisi zapin wajib dipelihara menerusi latihan dan asuhan di peringkat sekolah rendah lagi selain sokongan jurulatih dan penggiat zapin.

“Dengan cara ini sahaja, tarian zapin yang menjadi ikon kepada Johor terus subur dan mempunyai tenaga pelapis untuk mempertahankan khazanah ini sepanjang zaman,” katanya.

utusanonline


Wadah menyebarkan Islam
Oleh IZYAN LIYANA MOHD.DARIF



SETIAP malam selesai pak imam membaca doa, para jemaah lelaki tidak terus pulang ke rumah. Sebaliknya mereka meluangkan masa bersantai

seketika di perkarangan halaman masjid. Usai pak imam yang mengetuai solat sebentar duduk di suatu sudut sambil memegang gambus sesetengah jemaah lelaki mula mengambil tempat di hadapan.

Pak imam mula memetik gambus dan berqasidah dengan seni kata yang menyelitkan unsur-unsur keagamaan, budi pekerti dan puji-pujian kepada Tuhan, sementara golongan lelaki yang berdiri tadi bergerak mengikut alunan muzik.

"Inilah fenomena tarian zapin pada kurun ke-14 yang lalu. Ia kerap dimainkan selesai solat Isyak dan merupakan antara agenda hiburan yang popular bagi mengisi waktu malam yang terluang. Dahulu orang tak kata menari zapin, tetapi main zapin.

"Selain itu aktiviti main zapin ini langsung tidak melibatkan golongan wanita kerana tarian ini berasal daripada tradisi kesenian masyarakat Arab dari Yaman. Seperti yang kita tahu di sesetengah negara di Asia Barat wanita tidak mempunyai kebebasan seperti orang lelaki," jelas Pensyarah Fakulti Tari Akademi Seni Budaya dan Warisan Kebangsaan (Aswara), Mohd. Seth Hamzah mengenai pengaruh zapin yang mula meluas di Tanah Melayu menerusi kedatangan mubaligh dan saudagar Arab.


SASHA turut berbangga apabila tarian zapin turut popular di kalangan kaum bukan Melayu.

Secara am, zapin bermaksud pergerakan dan langkah kaki dengan posisi kaki tertutup serta merendahkan kaki sedikit. Kebanyakan posisi badan akan bergerak bak ombak.

Bagi posisi tangan pula si penari mengamalkan gerak tari yang bermotifkan pekerjaan yang dilakukan dalam kehidupan seharian. Antaranya motif mendayung, memetik bunga atau tangan kanan mahu pun kiri berada di bahu.

Di Johor, zapin atau dalam bahasa Arab al-zalfin atau zafana terdapat dalam dua bentuk zapin yang mempraktikkan gerak tari tersendiri. Ia ialah zapin Melayu dan zapin Arab.

"Sebelum ini mudah saja untuk menentukan antara tarian zapin Melayu atau zapin Arab. Umumnya, tarian zapin Melayu ditarikan oleh orang Melayu manakala orang Arab menari zapin Arab. Tapi kini, kebanyakan masyarakat tempatan sudah beralih dan serius menari zapin Melayu berbanding zapin Arab.

"Zapin Melayu mempamerkan ragam yang lebih lembut berbanding zapin Arab kerana penari zapin Arab menari dengan bukaan, langkah yang lebih luas, tinggi dan gagah," tutur Mohd. Seth bahawa golongan wanita mula terlibat dalam tarian zapin lewat 1960-an.

GERAK tari zapin Melayu lebih lembut berbanding tarian zapin Arab.

Tambah Mohd. Seth, tarian zapin kerap dijadikan wadah menyebarkan Islam menerusi lagu-lagu berunsurkan keagamaan. Tarian itu juga terdiri daripada bermacam-macam jenis. Jenis-jenis zapin itu pula diberi sempena nama kampung atau daerah asal pembentukan zapin.

Ragam tari

Penjelasan Mohd. Seth itu pernah dialami sendiri oleh pengacara program Dansa di TV3 dan ntv7 Sasha Bashir, 29. Sasha berpeluang menemubual pencipta zapin Pulau yang hanya dikenali sebagai Pak Su Man. Memetik pengalaman Sasha dalam bukunya yang berjudul, Dansa: A Dance Journey, zapin jenis zapin Pulau diwujudkan berdasarkan hasil pemerhatian si pencipta itu terhadap gelagat dan gaya hidup penduduk pulau di daerah Mersing, Johor.

"Inilah keistimewaan zapin Melayu kerana tidak pernah lekang menyajikan bermacam-macam jenis tarian zapin yang mempunyai ragam tari yang unik dan menarik. Lazimnya, nama bagi setiap jenis tarian zapin diambil sempena nama kampung mahupun daerah yang menjadi saksi kepada pembentukan sesebuah tarian zapin ," tutur graduan Ijazah (kepujian) Seni Persembahan dari West Australian Academy of Performing Arts.

Bicara Sasha, Pak Su Man mendapat ilham mencipta ragam zapin Pulau menerusi kesopanan tingkah laku manusia secara semula jadi. Salah satunya ialah situasi dua orang yang berjalan dan berselisih di lorong yang sempit. Bagi memudahkan keadaan, salah seorang akan memberi laluan kepada seorang lagi. Tindakan berkenaan telah diterapkan dalam zapin Pulau dan dikenali sebagai ragam serong.

"Tarikan zapin Pulau terletak pada elemen gerak tarinya. Semua penari akan berpasang-pasangan dan berselang-seli bertukar arah.


SIBAI baldu antara aksesori yang menghiasi busana penari zapin.

Corak tariannya lebih kepada motif bunga," ujar Sasha kepada Kosmo! yang gembira apabila tarian zapin mula menular di kalangan orang bukan Melayu.

Sementara itu, pelajar Diploma Tari Aswara, Kimberly Yap Choy Hoong menyifatkan proses pembelajaran tarian zapin satu pengalaman yang menyeronokkan. Jika sebelum ini dia hanya mengenali zapin menerusi tontonan di layar televisyen tetapi kini dia berpeluang mempelajari selok-belok tarian zapin.

"Pada peringkat awal saya mengalami kesukaran untuk menghafal ragam (bunga tari) tarian zapin yang terlalu banyak dan berbeza mengikut jenis zapin. Apatah lagi dalam tempoh berkenaan tubuh badan saya masih kaku dan kekok untuk menari dengan iringan muzik yang didendangkan.


PENARI lelaki memakai baju Melayu dengan potongan leher teluk belanga.

"Jadi, bagi membuktikan kaum Cina juga berkebolehan mendalami tarian tradisional Melayu maka setiap pagi sebelum ke kuliah saya memperuntukkan 30 minit untuk menghafal alunan muzik zapin di dalam hati," terang Kimberly yang berasal dari Cheras, Kuala Lumpur.

Ternyata kaedah yang dipraktikkan itu membuahkan hasil. Dalam tempoh dua minggu saja muzik zapin sudah sebati dengan dirinya. Secara tidak langsung ia memudahkan tugasan Kimberly untuk menari mengikut alunan muzik zapin. Menariknya, kini Kimberly berjaya melunaskan tarian zapin mengikut tempo yang betul walaupun tanpa iringan muzik.

Jelas Kimberly, 19, meskipun tarian zapin sudah bertapak di Malaysia sejak kurun ke-14, namun dia mendapati zapin antara tarian klasik Melayu yang relevan dipersembahkan pada zaman ini. Kombinasi ragam lama dan baru serta suntikan muzik zapin yang lebih segar menjadikan tarian zapin semakin diminati setiap lapisan umur dan masyarakat.

Tambahnya: "Saya kagum acap kali melihat kumpulan penari cilik yang mampu menguasai tarian zapin dengan baik. Kesungguhan yang dipamerkan oleh mereka membuktikan bahawa tarian tradisional bukanlah sukar untuk dipelajari. Cuma ia perlu disusuli dengan usaha, minat dan sesi latihan yang sistematik.

Busana zapin

Bagi penuntut jurusan Diploma Tari Aswara, Nur Azreen Nizar, 19, tarian zapin kurang menekankan aspek kelembutan pada jari-jemarinya seperti yang diaplikasi pada tarian klasik lain.


GOLONGAN wanita mula aktif menyertai tarian zapin sejak empat dekad lalu.

Terang anak kelahiran Seremban, Negeri Sembilan itu, tarian zapin mengutamakan pergerakan kaki yang lincah seperti orang bersilat.

"Contohnya, tarian zapin Parit Mastar. Zapin jenis ini terletak sepenuhnya pada kuak kaki yang bertindak mengerakkan tubuh badan. Walaupun sentiasa bergerak tetapi kita perlu memastikan kaki tidak bersilang," ujar Azreen mengenai zapin Parit Mastar yang diilhamkan daripada gerak-geri penoreh getah.

Menyentuh tentang busana tarian zapin, koreografer Istana Budaya, Khalid Mohd. Nor, 34, memberitahu sungguhpun zapin mempunyai pengaruh Arab, tetapi dari segi pakaian para penari masih tampil anggun dalam persalinan pakaian tradisional Melayu.

"Bagi penari lelaki mereka lengkap berkain samping dan bersongkok tinggi. Kadangkala bagi menyerlahkan keterampilan sewaktu membuat persembahan songkok mereka akan dihiasi dengan hiasan kerongsang.

"Sementara itu, penari wanita pula kebiasaannya baju kurung dan kain sarung atau kain pelekat yang menjadi pilihan. Tidak kurang juga ada yang memakai selendang di kepala atau bunga disematkan pada sanggul.

kosmo online



buku


Ambil bahan bacaan secara percuma
Oleh KHAIRIYAH HANAFI
2 Ogos 2015


DARI jauh kelihatan seorang gadis bertudung coklat sedang leka membelek puluhan buku yang tersusun di atas meja kecil yang diletakkan di luar pekarangan menara Telekom Malaysia, Taman Desa, Kuala Lumpur.

Selepas beberapa saat membaca sinopsis yang tertera di halaman belakang buku tersebut, dia kemudian dilihat meletakkan kembali buku yang dipegang di atas meja tersebut.

Matanya kemudian disorot ke arah longgokan buku lain yang diletakkan di atas meja yang sama. Perlahan-lahan, tangannya mencapai buku berwarna hitam sambil mengukir senyuman di bibir.

Biarpun pada waktu itu percikan cahaya matahari mula mencuit tubuhnya, namun Wan Nor Fahmin Wan Kamarudin, 21, tetap tidak berganjak dari kedudukan asalnya dan terus membelek satu persatu longgokan buku yang berada di sana.

“Siapa yang tidak teruja apabila melihat longgokan buku yang kini sukar diperolehi berada di hadapan mata. Tambahan pula kesemua buku ini mempunyai isi kandungan yang menarik.

“Apa yang membuatkan saya menjadi lebih teruja ialah kesemua buku yang terdapat di sini boleh dimiliki secara percuma. Apa yang perlu saya lakukan hanyalah membawa koleksi buku lama yang tidak dibaca lagi dan kemudian menukarnya dengan naskhah yang lain,” katanya.

Ujar Wan Nor Fahmin, melalui kaedah tersebut, dia bukan sahaja dapat memanfaatkan buku-buku lama yang tidak lagi digunakan dengan buku yang lain, bahkan ia juga menjimatkan kos perbelanjaan membeli buku-buku baharu selain mampu mengurangkan kesan terhadap alam sekitar.

Dalam pada itu, menurut pengasas Kuala Lumpur Book Exchange (KLBE), Gladys Wong, 27, idea untuk menganjurkan KLBE diperolehinya ketika berkunjung ke sebuah pusat kitar semula di sekitar Kuala Lumpur kira-kira dua tahun yang lalu.

Jelasnya, pada waktu itu dia terlihat dua buah kotak berisi buku yang masih dalam keadaan baik.


KLBE dianjurkan pada setiap hari Ahad minggu pertama di Menara TM, Taman Desa, Kuala Lumpur.

Buku terpakai

Disebabkan sayang dan tidak mahu melihat puluhan buku tersebut dikitar semula menjadi kepingan kertas, Gladys meminta izin daripada pemilik pusat kitar semula tersebut untuk mengambil dan menjual kesemua buku tersebut.

“Situasi tersebut berlaku pada tahun 2013. Pada waktu itu saya berkunjung ke pusat tersebut untuk mengitar semula barang-barang terpakai.

“Dalam perjalanan menuju ke pekarangan pusat tersebut, saya terlihat dua buah kotak yang mengandungi buku-buku.

“Apa yang membuatkan saya terkejut ialah kesemua buku itu masih kelihatan baharu dan dalam keadaan yang baik,” ujarnya.

Jelas Gladys, pada asalnya, kesemua buku tersebut dijualnya menerusi internet dengan separuh harga.

Bagaimanapun, percaturan tersebut gagal apabila ia langsung tidak mendapat sambutan daripada mana-mana pihak.

“Siapa yang mahu membeli buku-buku terpakai walaupun dijual dengan separuh harga?

“Hampir berbulan-bulan saya memikirkan apa yang perlu dilakukan terhadap buku-buku ini dan akhirnya pada pertengahan tahun 2014, saya mendapat idea untuk melaksanakan program pertukaran buku KLBE,” ujarnya.

Sistem barter

Jelas Gladys, melalui KLBE ini juga, ia secara tidak langsung dapat menggalakkan amalan membaca dalam kalangan orang awam.

Bagi tujuan tersebut, Gladys sanggup berkampung selama dua jam bermula 8.45 pagi hingga 10.45 pagi pada hari Ahad minggu pertama setiap bulan di luar pekarangan Menara TM.

Seperti sistem barter, individu yang mahu memiliki buku-buku yang ada pada simpanan KLBE perlu membuat pertukaran dengan buku-buku milik mereka tanpa sebarang had.

Bagaimanapun, setiap satu unit buku yang ditukar hanya untuk sebuah buku sahaja.

“Disebabkan buku-buku yang ada pada KLBE terlalu banyak, saya mengambil inisiatif untuk membuat senarai buku dan memuat naik ke dalam laman sosial Facebook KLBE.

“Ia bertujuan untuk memudahkan orang ramai membuat pilihan dan membolehkan mereka membuat tempahan awal bagi mana-mana buku yang diminati. Jadi mereka tidak perlu membelek satu demi satu buku yang ada di sini selain menjimatkan masa mereka,” ujarnya.

Bagaimanapun, tambah Gladys, bagi mana-mana individu yang tidak membawa buku untuk menjadi bahan tukaran, mereka masih boleh mendapatkan buku-buku yang ada pada KLBE, namun caj tambahan serendah RM5 akan dikenakan untuk setiap buku yang diambil.


KLBE menggalakkan individu menjadikan membaca sebagai amalan harian.

Sokongan

Siapa sangka, Gladys yang memulakan KLBE dengan hanya kira-kira 50 buah buku kini mempunyai lebih ribuan buku untuk ditukar oleh orang ramai.

Daripada bahan bacaan berbentuk ilmiah, novel, buku-buku yang ditulis dalam bahasa Inggeris, Melayu dan Mandarin, semuanya boleh didapati di KLBE dengan mudah serta percuma.

“Saya tidak menyangka ia mendapat sambutan yang hangat daripada orang awam memandangkan buku yang ditukar ini bukanlah buku yang baharu.

“Bagaimanapun, siapa sangka, ramai yang bermurah hati menderma buku-buku terpakai mereka bagi tujuan ini tanpa membuat sebarang pertukaran buku dengan kami.

“Walaupun menjalankan KLBE secara sukarela, namun saya rasa seronok dan berbaloi bagi setiap masa yang dihabiskan apabila melihat penglibatan daripada orang ramai,” jelasnya yang bekerja sebagai pereka grafik di sebuah syarikat percetakan.

Tambah Gladys lagi, penglibatannya dengan KLBE tidak memerlukan kos perbelanjaan yang besar memandangkan kesemua buku tersebut diperolehi dengan cara pertukaran.

Perpustakaan

Sama seperti Gladys, June Ong, 72, yang begitu mencintai buku merupakan individu yang sama-sama melibatkan diri secara sukarela di dalam aktiviti tersebut, hampir dua tahun yang lalu.

Menurut June, uniknya program yang diketengahkan oleh KLBE itu ialah, konsepnya mudah berbanding konsep pinjaman buku di perpustakaan ataupun membeli di kedai buku.

“Jika di kedai buku kita perlu membayar dengan harga yang mahal, manakala di perpustakaan pula kita terikat dengan tarikh pemulangan buku tersebut.

“Bukan sahaja terkejar-kejar untuk membaca, malah jika lewat memulangkan buku, kita pasti akan dikenakan denda.

“Bagaimanapun berbeza dengan konsep yang diketengahkan KLBE, ia sangat mudah dan praktikal. Mereka hanya perlu menukarkan buku yang mereka ada dengan mana-mana bahan bacaan yang diminati di sini tanpa sebarang caj dikenakan,” ujarnya.

Tambah June, jika buku-buku yang ditukar tidak menarik, sudah habis dibaca atau sebagainya, mereka boleh membuat pertukaran pada bila-bila masa sahaja dengan KLBE.

kosmonline

1 Aug 2015

everything is possible


When a ‘sekolah kampung’ did well in an English competition
Cheryl Ann Fernando


Cheryl Ann Fernando graduated with a degree in Mass Communication, Masters in Management and a Post Graduate Diploma in Education. Cheryl worked as a public relations consultant for four years before deciding to become a secondary school teacher. She is currently teaching in a rural school in Kedah whilst pursuing a doctorate in Education.

30 July 2015

In almost any district level competition, the odds are never in our favour. We are a sekolah kampung with a reputation of sitting comfortable in the bottom of the ranks. We cannot afford fancy sports attires or have the luxury of hiring trainers, we have to do make do with what we have. Many times, we are discouraged from entering any competitions because it seems a little inane to compete for something where defeat is almost guaranteed.

This year, for the third time in our school history, we entered the choral speaking competition. My students knew who they were going to go against – the big guns – the convents, cluster schools, maktabs and sekolah berprestasi tinggi. We didn’t stand a chance. We are called a “hotspot” school for our low English proficiency and many students could barely string a decent sentence together. It was unthinkable to imagine them memorising and then reciting three pages of text in English.

But, they wanted to enter. We started training from March, all through the fasting month. We knew the odds are never in our favour so we only trained harder. My students went through word by word, memorising everything in the paper. We did our best to polish up our pronunciation and focused on enunciation. We put emotions into our speaking and wanted to do the best.

Half way through training, I saw the kids looking tired. They wanted to give up. It was too hard to carry on for something that seemed quite hopeless. See, my students never won many competitions so it was difficult to articulate the joy and ecstasy that follows after winning. We were no match for the other schools, after all and we’re probably only going to enter for the experience.

I watched their spirit dwindle and I reminded them of one important thing. We are a sekolah kampung. When they see us walking up on stage with our off-coloured uniforms and old shoes, they are not even going to look up at us. When they hear our school name, many might choose to leave the hall at that time to take a break. They would laugh and jeer at us, wondering what do we have against all the other prestigious schools in the district. It was now all up to my students to prove everyone wrong.

When we competed on Tuesday, my students were a nervous wreck. Hidayah asked me if she could leave before it all started. Zidane was close to tears because he was sure he was going to mess up his text. Alif was walking around nervously repeating “Teacher… saya takut” every chance he got. My fellow teacher and I reminded our students that we are already so proud of them. Participating in this is an achievement. Memorising the entire text is an achievement. Standing up and speaking in English is an achievement. Win or lose, in our eyes, they were already champions.

They performed exceptionally well, making both the judges and the audience laugh for all the right reasons. They stood there in their old uniforms but with an unmistakable confidence in their eyes and voice. They stood there, saying line after line as if they had been speaking English all their lives. They stood there and took me by surprise.

When they announced the results, I still didn’t think we would win. The usual procedure is that they’ll invite all the schools up to receive their certificate of appreciation. All except the top five winning schools. I urged my team leader to stand in front and take the certificates because I was sure, all we’ll be walking home with is a certificate of appreciation. They announced 20 schools and somehow, our school name never came up. I figured it had to be a mistake. Until I realised that we were announced as one of the top five winners. Our tiny kampong school managed to emerge as the 5th place winner! Our reactions went from disbelief to screams and hugs and high fives all around.

What are the odds that a sekolah kampung would beat 20 other schools to gain a place in the top 5 amidst the cluster schools and convents? My students often walk around with these pre-conceived notions in their head that they’ll never be good enough. But on Tuesday, they proved to themselves that they are capable of so much. They proved that their economic backgrounds or social standings only mean so little when they can stand with the giants and shine. My students proved to the entire district that they could do it, with a little hard work. They went home that day with more than just a certificate but with the newfound confidence that maybe, just maybe, everything is possible. – July 30, 2015.

* This is the personal opinion of the writer or publication and does not necessarily represent the views of The Malaysian Insider .

malaysianinsider

jernih jiwa


Penjernihan jiwa mendepani cabaran semasa 
Oleh Dr Abdullah Zain
 24 Mei 2015


Mendepani isu yang menghantui negara hari ini, kerajaan tidak perlu tunduk kepada sebarang tekanan kerana itu bukan penyelesaian terbaik. Perkara terbaik ialah memberi fokus kepada menangani permasalahan yang timbul secara kolektif dan membetulkan kesilapan secara bersama.

Kerajaan mesti terus meneguhkan pendirian, bukan lari daripada masalah kerana itu langkah yang tidak proaktif. Malaysia sebagai negara demokrasi, kuasa menentukan mandat pemerintahan negara adalah rakyat, bukan mana-mana individu. Peletakan jawatan pemimpin negara hanya akan mencetuskan ketidakstabilan, selain merencatkan pentadbiran negara yang kini di ambang menjadi negara maju.

 Dalam konteks ini, Islam meletakkan proses penjernihan jiwa sebagai perkara yang amat penting. Islam sentiasa memberi galakan dan bimbingan kepada setiap Muslim supaya sentiasa menjaga kebersihan. Orang Islam hendaklah sentiasa berkeadaan bersih dan suci, bukan hanya setakat menjaga tubuh badan dan pakaian, malah jiwa dan tingkah laku perlu diawasi selalu supaya tidak melakukan pelanggaran terhadap garis panduan dan perintah Allah SWT.

Awasi jiwa, tingkah laku

Menjaga kebersihan dan kejernihan fizikal serta jiwa adalah kepastian bagi mencapai kecemerlangan. Apa yang dimaksudkan dengan penjernihan jiwa di sini ialah pembersihan akidah dan kepercayaan dari segala bentuk syirik dan nifaq, begitu juga bersih jiwa daripada dosa dan maksiat secara taubat yang sebenar (taubah nasuha). Selain itu, membersihkan hati dan jiwa daripada segala sifat yang keji seperti hasad dengki, dendam, ujub, riak, takbur dan suka mencari kesilapan orang lain.

Al-Quran menjelaskan mengenai keadaan orang yang tidak bersih akidahnya seperti firman-Nya yang bermaksud: "Dan di antara manusia ada yang berkata: Kami beriman kepada Allah dan hari akhirat; padahal mereka sebenarnya tidak beriman. Mereka hendak memperdayakan Allah dan orang yang beriman, padahal mereka hanya memperdaya dirinya sendiri, sedang mereka tidak menyedarinya." (Surah al-Baqarah: 8-9).

Seterusnya Allah SWT menjelaskan perihal orang munafik yang tidak bersih iman dan bersifat keji seperti firman-Nya yang bermaksud: "Sesungguhnya orang munafik itu menipu Allah dan Allah akan membalas tipu daya mereka. Apabila mereka berdiri untuk sembahyang mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riak' (dengan sembahyang) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali." (Surah al-Nisa': 142)

Allah SWT memerintahkan hamba-Nya supaya membersihkan batin dengan berlaku ikhlas dan yakin kepada nilai yang luhur, mencintai kebaikan, sabar, benar, merendah diri serta segala amalan yang dilakukan semata-mata kerana Allah SWT. Selagi jiwa dibiarkan bersarang dengan sifat keji, maka kebersihan dan kejernihan yang dituntut oleh syarak masih belum sempurna.


Perkasa kerohanian

Allah SWT menganjurkan Rasulullah SAW mengikuti manhaj memperkuatkan kerohanian dan membersihkan hati serta jiwa seperti firman-Nya yang bermaksud : "Wahai orang yang berselimut!. (1) Bangunlah sembahyang Tahajud pada waktu malam, selain dari sedikit masa (yang tak dapat tidak untuk berehat), (2) Iaitu separuh dari waktu malam atau kurangkan sedikit dari separuh itu, (3) Ataupun lebihkan (sedikit) daripadanya dan bacalah Al-Quran dengan 'Tartil.' (4) (Sayugialah engkau dan pengikut-pengikutmu membiasakan diri dengan ibadat yang berat kepada hawa nafsu, kerana) sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu wahyu (Al-Quran yang mengandungi perintah-perintah) yang berat (kepada orang-orang yang tidak bersedia menyempurnakannya). (5) Sebenarnya sembahyang dan ibadat malam lebih kuat kesannya (kepada jiwa) dan lebih tetap betul bacaannya. (6) (Kami galakkan engkau dan umatmu beribadat pada waktu malam), kerana sesungguhnya engkau pada siang hari mempunyai urusan yang panjang kira bicaranya; (7) Sebutlah (dengan lidah dan hati) akan nama Tuhanmu (terus menerus siang dan malam), serta tumpukanlah (amal ibadatmu) kepadaNya dengan penuh ketekunan." (Surah al-Muzzammil:1-8)

Ayat itu menunjukkan manhaj al-Quran dalam pembersihan dan penjernihan jiwa. Manhaj ini diamalkan oleh Rasulullah SAW sebelum baginda memulakan dakwahnya kepada masyarakat. Pendidikan yang ditunjukkan oleh al-Quran ialah melalui sembahyang qiyam al-Lail (solat sunat tahajud), membaca al-Quran dan berzikir mengingati Allah SWT.

Menunaikan amalan berkenaan pada waktu tengah malam ketika kebanyakan manusia pada masa itu sedang tidur nyenyak, boleh menimbulkan kedamaian dan kekhusyukan kerana tidak ada gangguan dan kesibukan. Sirah mencatatkan cabaran yang dihadapi oleh Baginda SAW amat hebat. Abu Jahal contohnya pernah menawarkan jawatan raja, perempuan cantik dan harta kekayaan supaya Rasulullah SAW tidak meneruskan perjuangan Islam, namun berdasarkan kekuatan integriti dan maruah, Rasulullah SAW menolak semua tawaran itu.

Al-Quran turut menyebut beberapa watak pimpinan korup yang tidak berintegriti sehingga merosakkan negara dan memecahbelahkan masyarakat. Akhirnya ketika di dunia lagi mereka menerima balasan terhadap kekejaman yang dilakukannya. Watak itu ialah Fir'aun, Haman dan Qarun.

Seorang Muslim yang jernih jiwanya akan sentiasa berusaha untuk menjadi insan yang ikhlas, penyayang, baik hati dan amanah. Senyuman yang diberikan mencerminkan keikhlasan dan ketulusan hati seseorang Muslim. Apabila orang lain bercakap dia dengar, apabila sahabat menangis, dia turut bersedih. Sifat ini terpancar daripada jiwa insan Muslim yang bersih dan jernih.

Yakin dan tawakal

Insan Muslim yang jernih jiwanya meyakini Allah SWT amat pemurah lagi amat mengasihani. Oleh itu, insan ini yakin kepada kemampuan dan usaha diri sendiri, setelah itu ia bertawakal kepada Allah SWT.

Muslim yang jernih jiwanya akan terserlah sifat tabah dalam menghadapi cabaran dan dugaan. Sabar menanggung kesusahan dan kesukaran, menahan diri daripada melakukan maksiat dan kemungkaran, tabah menghadapi kesulitan, tidak mengeluh dan mengutuk nasib.

 Setelah terbentuknya peribadi yang luhur itu, seseorang Muslim mampu melahirkan persekitaran yang baik membawa kecemerlangan organisasi dan masyarakat kerana sikap yang baik akan menyerlahkan sikap menghormati orang lain, rakan dan ketua sebagai individu lain yang turut mempunyai hak tersendiri.

Elak kerosakan fizikal, psikologi


Adalah menjadi tanggungjawab seseorang untuk menghindarkan diri daripada melakukan kerosakan, sama ada fizikal atau psikologi terhadap orang lain. Menjadi tanggungjawab seseorang untuk melakukan kebaikan kepada orang lain, sekalipun menyusahkan diri sendiri.

Seseorang Muslim mesti memegang janji, melakukan apa yang benar, setia dan menghormati orang lain serta institusi. Hanya dengan kesetiaan kita dianggap sebagai insan yang dipercayai. Jiwa yang bersih berfungsi sebagai penjaga yang menghalang seseorang daripada melakukan pelanggaran terhadap perintah Allah SWT.

Penulis ialah penasihat Agama kepada Perdana Menter

bhonline

Kapal Layar Pulau Duyong


Perusahaan kapal layar di Pulau Duyong bakal berkubur 
Oleh Tuan Azam Tuan Johan



KUALA NERUS: Perusahaan membuat bot dan kapal layar di Pulau Duyong sejak seabad lalu bakal berkubur apabila tidak lagi menerima sebarang tempahan sejak lima tahun lalu.

Pembuat bot dan kapal layar terkenal di pulau itu Haji Abdullah Muda, 78, berkata pada tahun 1970-an dan 1980-an, terdapat beberapa bengkel membuat bot dan kapal layar di pulau itu, namun kini hanya tinggal kenangan.

"Pada pendapat saya, faktor utama berkuburnya perusahaan itu adalah disebabkan peningkatan harga bahan mentah iaitu kayu cengal yang meningkat berlipat kali ganda.

 "Ketika saya mula terbabit dalam membuat bot pada tahun 1950-an, harga kayu cengal sekitar RM300 satu tan dan ia meningkat dari semasa ke semasa hinggalah kemuncaknya sekarang berharga RM16,000 bagi satu tan," katanya.

 Beliau yang sinonim dengan panggilan Haji Lah berkata sebelum ini ada agensi kerajaan iaitu Giat Mara yang cuba menyelamatkan perusahaan itu daripada lenyap begitu saja dengan merakam cara-cara membuat bot dan kapal layar supaya ia dapat bertahan untuk generasi akan datang.

Selain itu, Giat Mara turut menghantar 10 pelatih bagi mempelajari cara-cara membuat bot dan kapal layar di bawah bimbingannya.

Turut sama menghantar pelatih ialah Lembaga Kemajuan Terengganu Tengah (KETENGAH) dengan harapan perusahaan itu dapat diwarisi oleh generasi baru, katanya.

Namun setelah kapal layar terakhir dilancarkan pada 2010, maka berakhirlah episod perusahaan turun-temurun di pulau yang menjadi nadi perusahaan bot dan kapal layar terkenal di Terengganu.

Sepanjang kira-kira 60 tahun beliau berkecimpung membuat bot dan kapal layar dengan dibantu antara enam dan tujuh tukang bot mahir, beliau berjaya menyiapkan beratus bot dan kapal mewah.

Abdullah bermula dengan membuat bot penambang kemudian bot untuk nelayan pada tahun 1960-an ketika kayu cengal masih murah.

Ketika perusahaan itu sedang memuncak, pelanggannya terdiri daripada peminat bot dan kapal layar serata dunia seperti Amerika Syarikat, Alaska, England, Itali, Perancis, Denmark, Australia, New Zealand, Algeria, Kanada dan Singapura, selain pelanggan tempatan.

Sepanjang berkecimpung dalam perusahaan itu, Abdullah pernah menerima tempahan membuat kapal layar paling mahal bernilai kira-kira AS$1 juta yang ditempah pelanggannya dari England.

"Saya hanya mengambil upah membinanya saja, manakala enjin, badan kapal layar serta peralatan lain disediakan sendiri oleh tuan punya kapal berkenaan," katanya yang juga penerima Anugerah Tokoh Seni Negeri Terengganu 2005. - BERNAMA

bhonline

ombak laut adalah kehidupan


'Laut nyawa kami' 
Oleh Azran Jaffar
 21 Jun 2015


"NYAWA kami lebih penting daripada segala-galanya, kerana itu jika lanun datang menyerang, kami akan lari dan meninggalkan segala harta benda kami yang tidak seberapa.

Biarlah apa pun yang mereka nak ambil, namun kami sekali-kali tidak akan melawan, tambahan pula kalau datang mereka akan serang dengan parang," kata Sabaldati Jilan yang boleh dianggap sebagai jurucakap masyarakat Palaau di Pulau Sibuan, kira-kira setengah jam perjalanan dengan bot laju dari Semporna, Sabah.

Apa pun, lanun yang menyerang bukanlah orang asing kerana ia dalam kalangan bangsa mereka juga dan kehadiran lanun itu biasanya apabila mengetahui komuniti Sabaldati mendapat rezeki yang lebih sedikit dan setiap serangan akan dibalas dengan kata-kata seperti: "Ambillah apa yang ada, tetapi jangan dibunuh kami." Kebiasaannya tidak akan ada pertumpahan darah dan lanun yang menyerang, akan pergi selepas memperoleh apa yang mereka hajati.

Namun, masalah lanun itu tidak pernah mematahkan semangat masyarakat berkenaan yang hidup dalam kelompok lapan keluarga di pulau seluas kira-kira sehektar itu dengan rata-rata mereka semua ada kena mengena antara satu sama lain, kerana bagi mereka hidup mesti diteruskan dan apa yang hilang diganti dengan bekerja keras untuk mengembalikan apa yang sudah dirampas.

Bagaimanapun kata Sabaldati, antara beberapa penduduk pulau berkenaan yang boleh berbahasa Melayu, ancaman itu sudah semakin kurang kerana perairan sekitar Laut Celebes kini dikawal pasukan tentera dan situasi itu membolehkan mereka hidup dengan lebih tenang juga melakukan pekerjaan di laut tanpa ada perasaan bimbang terhadap keselamatan.

Memulakan perbualan pada pertemuan hari itu, Sabaldati yang sudah lupa sejak bila berhijrah ke pulau berkenaan, berkata sebenarnya dia berasal dari Pulau Tungku apabila ibu bapanya sebelum ini adalah komuniti yang tinggal di dalam perahu dan membesar serta meneruskan kehidupan di pulau itu demi mencari kehidupan lebih baik.

Kemampuan jadi kekangan

Jelas, apa yang diperkatakan bapa kepada lapan cahaya mata itu yang mengakui belajar bertutur dalam bahasa Melayu daripada anggota tentera yang berkawal di sekitar perairan tempat tinggalnya, berkeinginan untuk mempunyai kehidupan lebih baik, namun kemampuan menjadi kekangan untuk dia dan keluarga lain keluar dari budaya kehidupan yang sudah mendarah daging itu.

Tersirat raut suram pada wajah gelap itu yang disulam dengan senyuman nipis apabila bercerita mengenainya. Sememangnya dengan pendapatan kira-kira RM500 sebulan menjual isi kima kering di Semporna yang perlu dikongsi dengan seisi pulau, apakan daya untuk hidup semewah seperti diimpikan, walaupun jika hendak dibandingkan, usaha dicurahkan untuk menampung kehidupan tidak sepadan dengan panahan mentari yang membakar tubuh.

 Hasil jualan yang diperoleh cukup untuk diganti dengan beras dan ubi kayu yang sudah siap diparut serta sedikit keperluan lain. Namun, untuk bermewah-mewah ia mungkin hanya di dalam tidur, ketika waktu matahari mula berlalu meninggalkan mereka buat seketika dan bangkit keesokan, membadai semula, memunggah khazanah laut mencari rezeki untuk isteri dan anak.

Sabaldati berkata, selain keperluan harian, wang yang ada juga perlu dijimat kerana apa yang ada sebahagiannya digunakan bagi membaiki bot jika berlaku kerosakan dan mengakui sukar untuk menabung kerana keperluan yang banyak dan tanggungan semakin berat jika isterinya mengandung kerana perlu mencari wang bagi bayaran rawatan bersalin di hospital yang mencecah sehingga RM800. Status mereka menyebabkan masyarakat ini tidak menerima rawatan percuma di hospital, yang menambahkan lagi beban kehidupan mereka.

Sabaldati berkata, rutin hariannya bermula dengan keluar memancing pada waktu pagi dan akan pulang ketika air mulai pasang dan sebelah tengah hari akan keluar semula ke laut yang hanya ditinggalkan jika kudrat tidak mengizinkan.

Terima bantuan penuh syukur

foto hiasan

Ditanya sama ada mereka menerima bantuan daripada mana-mana pihak, katanya, jika ada yang memberi mereka menerimanya dengan penuh kesyukuran lalu terkeluarlah perkataan 'Alhamdulillah' daripada mulutnya. Namun, apabila ditanya akan agama, Sabaldati hanya tersenyum sambil berkata ada juga yang memperkenalkan Islam kepada mereka.

"Masalahnya mereka datang sekali sekala... datang sekejap lepas tu mereka tinggalkan kami dan tidak muncul lagi," katanya yang menampakkan riak kecewa dan mata kami tiba-tiba menghala ke laut, melayan seketika hati tatkala mendengar jawapan itu dan kemudian menambah: "Kami setengah-setengah", yang menampakkan sekali lagi senyuman nipis, seolah ada lagi yang ingin diluahkan.

Jawapan itu membuatkan perbualan kami terhenti seketika.

Mencari nafas untuk bertanya bagi memahami lagi kehidupan Sabaldati dan mereka di pulau itu, beliau kemudian menyambung dan berkata, kadang-kadang pelancong yang hadir ke pulau itu ada juga memberikan mereka sedikit sumbangan selepas berjalan-jalan menikmati pemandangan di sekitar pulau.

"Mereka hanya pusing-pusing di sekitar pulau ini... melihat-lihat, bagaimanapun kami tidak terganggu dengan kehadiran mereka dan menjalani kehidupan seperti biasa," katanya menerangkan mengenai kehadiran pelancong ke pulau berkenaan.

Ditanya seterusnya mengenai anak, Sabaldati berkata, mereka tidak ke sekolah dan sejak kecil diajar memancing dan mencari siput.

"Apabila mereka sudah besar sedikit mereka tahu akan tanggungjawab mereka terhadap keluarga dan apa yang mereka peroleh dapat menampung kehidupan selain untuk menambah bekal makanan seharian," katanya yang jika diselak maksudnya, inilah kehidupan kami dari kecil sehingga pejam mata, laut adalah segala-galanya dan laut juga memberikan segala-galanya.

Melihat beberapa kanak-kanak perempuan di pulau itu yang sudah dara, terdetik hati untuk bertanya akan nasib mereka dan terlihat keterbukaan masyarakat pulau itu seperti kata Sabaldati bahawa mereka dibenarkan memilih pasangan sendiri dan tiada paksaan untuk memilih lelaki di pulau itu untuk dijadikan suami atau memaksa mereka berkahwin dengan lelaki pilihan ibu bapa.

Apa yang pasti, dalam kecilnya pulau itu, di sebalik nilai tradisi yang dipegang, ada keluasan dari segi pemikiran masyarakatnya. Namun, kesukaran hidup membuatkan langkah tidak dapat bergerak laju. Hanya masa yang akan menentukan kehidupan mereka seterusnya dan sejauh mana langkah yang disusun membuatkan mereka untuk berlari lebih jauh.

bhonline

bahasa kerbau


Pertanian moden lenyapkan bahasa kerbau 
26 Jun 2015


 KUALA LUMPUR: Percayakah anda bahawa kerbau adalah binatang yang memahami arahan lisan pengembala atau tuannya?

Sesungguhnya ia adalah satu fakta dalam kegiatan persawahan tradisional tetapi bahasa kerbau kini hampir tidak kedengaran lagi.

Walaupun kerbau tidak boleh bertutur tetapi setiap arahan lisan pesawah atau pengembalanya difahami serta dipatuhi.

Suatu ketika dahulu kerbau dan sawah begitu sinonim malah ada yang beranggapan tanpa kerbau, sawah akan mati atau tidak dapat dikerjakan.

Tugas utama kerbau dalam kegiatan persawahan termasuk menarik pembajak dan beberapa peralatan lain seperti penyisir dan tenggiling.

Kerbau juga digunakan bagi menarik batang pisang untuk kerja-kerja membadai atau meratakan tapak semaian padi.

Pastinya semua tugas itu tidak mampu dilaksanakan secara mudah dengan hanya bergantung kepada kudrat manusia.

Bahasa kerbau

Kerana sinonimnya kerbau dan sawah, para pesawah menjadikan binatang itu sebagai rakan setugas dan mempelajari bahasa kerbau sebagai kaedah berkomunikasi.

Antara sebutan bahasa kerbau yang sering digunakan ialah "Ha'ihh" bagi menyuruh kerbau berjalan ke hadapan sambil menarik bajak, penyisir, tenggiling dan yang lain.

Untuk mengarahkan binatang itu membelok ke kanan disebut "paling chah" atau "chah nuu" dan jika disebut "paling sok" kerbau akan membelok ke kiri.

Bagi memberhentikan pergerakan kerbau, pesawah akan menyebut "diam" dan dengan segera binatang itu berhenti.

 Jika pesawah mahu kerbau itu berjalan secara berundur, beliau perlu menyebut perkataan "serot atau seghoot" dan haiwan itu akan berundur.

Arahan menggunakan bahasa kerbau itu perlu kuat dan lantang supaya ia didengari dengan jelas oleh binatang peliharaan itu.

Ada dalam kalangan petani yang membawa ranting kayu bagi memukul bahagian punggung kerbau jika binatang itu bersikap degil dan enggan menurut arahan.

Bahasa kerbau ibarat kawalan gear

Bekas seorang pesawah tradisional, Dahaman Hamid, 73, berkata bahasa kerbau ibarat kawalan gear bagi jentera pembajak.

Walaupun bahasanya agak terbatas namun seperti jentera pembajak, arahan lisan itu lebih bertumpu kepada pergerakan hadapan, undur, membelok dan berhenti.

Dahaman yang menetap di Yan, Kedah berkata, dia mempelajari bahasa kerbau daripada para pesawah lain dan tidak menghadapi sebarang masalah ketika mengendalikan binatang itu.

 Mungkin ada lagi sebutan lain tetapi tidak digunakan kerana biasanya kerbau hanya digunakan kudratnya untuk membajak dan bahasa arahan itu adalah memadai.

Bahasa kerbau juga bukan sahaja digunakan oleh para pesawah di negara ini malah di Thailand.

Walaupun peranan kerbau begitu penting dalam kerja-kerja di sawah namun kini binatang perkasa itu hampir tidak kelihatan lagi ketika industri padi memasuki fasa pemodenan sejak berdekad lalu.

Tugas penting kerbau dalam kegiatan pembajakan sejak sekian lama kini diambil alih oleh jentera pembajak menjadikan tugas pesawah semakin mudah.

Kerbau telah direhatkan sepenuhnya di pinggir sawah dan binatang itu hanya menyaksikan jentera pembajak yang lebih pantas bergerak itu sambil meratah tanah.


Penggunaan jentera pembajak

Mohd Jan Mat Rani, 59, seorang pesawah di Perlis berkata, dia pernah mengendalikan jentera pembajak ketika ia mula diperkenalkan lebih 40 tahun lalu.

Ketika itu, jentera pembajak beroda dua yang digunakan oleh pesawah di Perlis sering dikenali sebagai "kerbau buta".

Jentera itu dinamakan demikian mungkin disebabkan kegiatan membajak begitu sinonim dengan kerbau.

Mungkin juga kebanyakan jentera pembajak yang digunakan ketika itu berjenama "Kubota" lalu disebut sebagai kerbau buta.

Bagaimanapun kehadiran jentera itu menyebabkan bahasa kerbau semakin hilang sebagaimana lenyapnya kerbau akibat bermulanya era persawahan moden.

Ketika kerbau tidak lagi diperlukan untuk kerja persawahan, kebanyakan binatang itu dijual dan ada yang disembelih.

Walaupun peranan kerbau telah dipinggirkan namun khidmat bakti binatang itu tetap terlakar dalam sejarah persawahan tradisional.


Penarik anok

 Selain kegiatan pembajakan, kerbau juga berperanan dalam tugas-tugas lain termasuk menjadi penarik anok, sejenis alat yang digunakan bagi mengangkut padi dan barangan lain.

Biasanya anok tidak mempunyai roda tetapi yang mempunyai roda lebih dikenali sebagai kereta kerbau kerana ia juga ditarik oleh binatang itu.

Kereta kerbau bukan sahaja membawa penumpang tetapi juga membawa barangan. Kudrat kerbau juga digunakan bagi kegiatan memerah tebu menggunakan mesin yang diperbuat daripada kayu.

Kerbau akan menarik pemegang alat pemerah tebu dengan berjalan mengelilingi alat berkenaan sehingga himpunan tebu itu dapat diperah.

Suatu ketika dahulu, kegiatan menunggang kerbau juga adalah perkara biasa di kawasan kampung kerana binatang itu lasak dan tidak memerlukan laluan yang sempurna untuk bergerak.

Bagaimanapun penunggang kerbau perlu terlatih mengimbangi badannya supaya tidak tergelincir dan jatuh ketika kerbau bergerak terutama ketika melalui kawasan parit.


Laga kerbau

Pada zaman silam juga, kerbau pernah digunakan bagi tujuan hiburan termasuk kegiatan laga kerbau selepas musim menuai.

Acara laga kerbau berlangsung di gelanggang khas yang diwujudkan di kawasan kampung dan ia bagaikan pesta apabila orang ramai berkumpul bagi menyaksikan kerbau yang bakal menjadi juara.

Bagi negeri Perlis, acara laga kerbau turut diiringi dengan persembahan Gendang Perlis yang dimainkan di atas tempat khas di atas pokok di pinggir gelanggang.

 Persembahan Gendang Perlis biasanya membabitkan dua gendang tanpa serunai dan dimainkan secara berterusan hingga acara laga kerbau berakhir.

Sesungguhnya kerbau berperanan luas dalam masyarakat suatu ketika dahulu namun kehebatan silamnya kian dilupakan. Yang pasti peranan kerbau tetap terukir dalam lakaran sejarah pertanian tradisional walaupun kelibatnya jarang kelihatan. - BERNAMA

bhonline

Ringgit


Nilai duit kita terus tertekan 
Oleh Kunta Kinte


TARIKH 27 Julai catat sejarah hitam bagi negara kita. Kepada sesiapa yang faham ekonomi, apa yang berlaku pada hari itu sangat menakutkan. Kesan buruknya kita semua akan rasa tak kira kita faham atau tidak.

Yang Kunta Kinte harap ia tak jadi lebih buruk sebab kejadian hari itu sudah cukup teruk.

Malah, lebih teruk daripada yang kita alami apabila spekulator mata wang sarang duit kita dan duit negara Asia Tenggara dan Asia Timur pada tahun 1997/98.

Pada 27 Julai lalu, kadar tukaran duit kita berbanding dolar Amerika jatuh kepada RM3.81 bagi setiap dolar, iaitu paras paling rendah dalam tempoh 17 tahun. Pada hari itu, ringgit jatuh ke paras paling rendah sejak bulan September 1998.

Yang Kunta Kinte lagi bimbang ialah nilai duit kita jatuh walaupun Bank Negara terus sokong ringgit di pasaran tukaran mata wang. Jadi Kunta Kinte sangat takut kalau-kalau masalah yang lebih teruk daripada soal teknikal atau naik turun pasaran.

Buat masa ini, duit kita adalah mata wang Asia yang paling buruk prestasinya. Macam Kunta Kinte dah sebut sebelum ini, bukan saja kejatuhan harga minyak mentah, sawit dan getah yang tekan turun nilai ringgit, tapi juga masalah-masalah bukan ekonomi macam keyakinan dan sentimen pun turut tekan turun nilai ringgit.

Nilai ringgit dah jatuh lebih rendah daripada kadar tukaran tetap RM3.80 yang Tun Dr Mahathir Mohamad perkenal waktu krisis kewangan Asia 1998. Kadar tukaran tetap itu dihapuskan pada tahun 2005 masa Tun Abdullah Ahmad Badawi jadi Perdana Menteri dan Menteri Kewangan.

Lagilah gerun bila baca berita kata, Bank Negara mungkin tak masuk campur lagi dalam kegiatan pasaran untuk pertahan ringgit. Maksudnya Bank Negara akan biarkan nilai ringgit naik dan turun ikut pasaran. Selalunya Bank Negara masuk campur untuk elak naik atau turun mendadak kadar tukaran ringgit.

Kesan jangka pendek, sederhana lebih buruk

Kunta Kinte faham kalau hal ini betul berlaku, tapi kesan jangka pendek dan sederhana kepada nilai ringgit mungkin lebih buruk. Tapi kita kena faham juga sampai bila dan had mana Bank Negara nak sokong ringgit dengan menggunakan rizab antarabangsa yang ia pegang.

Masalahnya, kalau nilai ringgit terus jatuh, harga import kita akan naik walaupun eksport kita jadi lebih murah. Negara luar mungkin beli lebih banyak barang keluaran kita dan pelancong asing mungkin lebih ramai datang berbelanja di negara kita.

Tapi ekonomi satu dunia tak berapa baik. Hatta ekonomi China yang panas itu pun dah mula sejuk. Pelancong China yang sokong industri pelancongan dunia dah mula kurang.

Dalam keadaan ini, boleh jadi Bank Negara tak mampu atau tak mahu lagi guna rizab antarabangsanya untuk pertahan nilai ringgit sebab nilai ringgit dah jatuh ke tahap yang sangat rendah.

Tahun lepas, bila nilai ringgit mula jatuh dengan teruk, Bank Negara masuk campur dengan jual mata wang asing dan beli ringgit, tapi kesan ke atas ringgit tak tahan lama.

Rizab antarabangsa Bank Negara susut AS$18.9 bilion kepada AS$116 bilion pada akhir Disember 2014 daripada AS$134.9 bilion setahun lalu. Inilah antara masalah besar yang kita hadapi yang orang biasa tak faham, tapi akan rasa kesannya bila mereka beli-belah barang import, hantar duit kepada anak yang belajar di luar negara atau melancong ke luar negara.

Satu masalah besar ialah kita masih bergantung kepada makanan import macam beras, gula, gandum, daging dan susu. Malah, bahan mentah untuk makanan haiwan macam jagung dan kacang soya pun kena import juga.

Rizab antarabangsa ni penting. Macam duit dalam akaun kita di bank juga. Dengan rizab itulah kita bayar hutang piutang kita dan kita bayar import kita.

Satu hal lagi, kalau jumlah rizab kita besar, nilai duit kita kukuh, tapi bila jumlah rizab jatuh, nilai duit kita jatuh sama. Saling kait-mengait. Jadi Kunta Kinte harap kita cubalah faham sikit sebanyak kesan tukaran mata wang ke atas kehidupan kita. Wallahuaklam.

bhonline

kau dan aku vii



tak selamanya aku bisa menjagamu
kau harus belajar untuk bangkit dari jatuh
dan apa lagi ketika luka kakimu
kau harus sendiri mengubatinya
hanya satu pesanku
usah menangis....


sekejap saja
aku akan menjadi bayang
aku akan menjadi kenang
kau harus belajar memenuhi
kosong tatapmu
apa lagi rongga di hatimu


aku selalu ingin
menjadi yang terbaik bagimu
tetapi kalau dalam waktu
aku hanya menjadi
yang terburuk buatmu
berdosakah aku 
pada waktumu