KUALA LUMPUR 28 Mei - Penyanyi popular era 70-an, Datuk Dahlan Zainuddin, 78, menghembuskan nafas terakhir di Hospital Selayang pada puku 9.48 malam ini selepas tidak sedarkan diri kerana diserang angin ahmar, Sabtu lalu.
Perkara ini disahkan oleh isterinya, Datin Effa Rizan.
Allahyarham meninggalkan seorang isteri dan tiga orang cahaya mata.
Menurrut Effa, jenazah akan dibawa ke Masjid Bangsar untuk dimandikan sebelum dikebumikan di Tanah Perkuburan Bukit Kiara selepas solat Zohor.
AHLI keluarga bersama rakan-rakan berada di sisi Allahyarham ketika menghembuskan nafas terakhir. - UTUSAN ONLINE
Dalam temubual sebelum ini Effa berkata, keadaan kesihatan suaminya agak stabil sebelum diserang strok kali kedua, malah Arwah masih mampu memenuhi undangan majlis berbuka puasa bersama anak yatim.
Bahkan sebelum kejadian, dia dan suaminya sedang berbual sebelum Dahlan secara tiba-tiba senyap dan tidak memberikan sebarang reaksi.
Dahlan merupakan salah seorang penyanyi yang terkenal dengan lagu Kisah Seorang Biduan.
Beliau memulakan karier sebagai penyanyi selepas memenangi kategori Persembahan Keseluruhan Terbaik, Bintang RTM pada tahun 1975.
Pernah mencipta sejarah apabila menjadi penyanyi tempatan pertama yang mendapat peluang untuk mengadakan konsert di Stadium Negara pada tahun 1978.
Selain itu, beliau merupakan anak kepada pelakon bangsawan yang pernah berhijrah ke Singapura sewaktu usianya mencecah lapan tahun dan kemudiannya menetap di Kuala Lumpur pada tahun 1965.
Selain menyanyi beliau juga pernah membintangi filem Kisah Seorang Biduan bersama Gaya Zakry dan beberapa pelakon yang lain dan pernah menjadi pengacara dalam rancangan Hiburan Minggu Ini (HMI) sekitar tahun 1970-an. - UTUSAN ONLINE
Biografi Chairil Anwar – Sastrawan Besar Indonesia
HASNA WIJAYATI
30 AGUSTUS 2017
Salah satu biografi sastrawan Indonesia yang paling banyak dicari adalah biografi Chairil Anwar. Siapa dia? Anda tentunya pernah mendengar namanya bukan? Nama Chairil Anwar telah begitu poopuler di Indonesia, bahkan namanya juga banyak dikenal dalam dunia sastra di berbagai negara.
Ia adalah penyair besar yang telah melahirkan berbagai karya sastra yang begitu fenomenal. Ia memiliki julukan populer yang cukup menarik, yakni “Si Binatang Jalang”. Kenapa Chairil Anwar dijuluki “Si Binatang Jalang”? Jangan berburuk sangka dulu ya. Julukan ini ia dapatkan karena karya puisinya yang berjudul “Aku”. Di dalam karya tersebut, Chairil Anwar menuliskan kata “Akulah Binatang Jalang.”
Karya tersebut pula yang membuat nama Chairil Anwar semakin fenomenal dalam dunia sastra. Ia dikenal sebagai penyair Angkatan ’45. Hasil karyanya diperkirakan ada sekitar 96 karya.
Berbagai karya Chairil Anwar memiliki karakter yang khas dan menarik. Kebanyakan memiliki tema seputar kematian, individualisme, dan ekstensialisme. Karena karya sastra Chairil Anwar ini yang khas, ia pun dikenal sebagai pelopor puisi ’45 dan puisi modern.
Karya -karya Chairil Anwar telah dimuat dalam tiga buku kompilasi, meliputi : Deru Campur Debu (1949), Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus (1949). Serta ada lagi karya lain berjudul Tiga Menguak Takdir yang merupakan buku kumpulan puisi hasil karyanya bersama Asrul Sani dan Rivai Apin (1950). Karya -karya Chairil Anwar ini banyak yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, seperti Bahasa Inggris, Bahasa Jerman, dan Bahasa Spanyol.
Membaca sekilas tentang profil Chairil Anwar membuat Anda sangat tertarik bukan? Ia memang merupakan sosok yang hebat dan penuh dengan inspirasi. Jadi, langsung saja yuk kita tengok biografi Chairil Anwar yang berhasil kita rangkum berikut ini ya.
Profil Chairil Anwar
Sebelum masuk ke uraian tentang biografi Chairil Anwar, mari kita lihat sekilas mengenai profil Chairil Anwar berikut ini.
Nama Lengkap : Chairil Anwar
Tempat Lahir : Medan, Indonesia
Tanggal Lahir : 26 Juli 1922
Meninggal : 28 April 1949
Nama Julukan : Si Binatang Jalang
Kebangsaan : Indonesia
Nama Ayah : Toeloes
Nama Ibu : Saleha
Pendidikan : Hollandsch-Inlandsche School (HIS); Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO)
Pekerjaan/ Karir : Penyair/ Sastrawan, Penyiar Radio Jepang di Jakarta saat masa pendudukan Jepang
Jumlah Karya : 96 karya, termasuk 70 puisi
Masa Kecil Chairil Anwar
Chairil Anwar kecil menghasilkan masa -masa awal hidupnya di kota Medan, Sumatera Utara. Ia tinggal bersama kedua orang tuanya, yakni Toeloes dan Saleha. Kedua orang tua Chairil ini berasal dari kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.
Ayah Chairil adalah orang yang cukup ternama. Ia pernah menduduki jabatan terakhir sebagai bupati Inderagiri, Riau. Bahkan, Chairil ini juga masih memiliki ikatan keluarga dengan Soetan Sjahrir, yang merupakan Perdana Menteri pertama Indonesia.
Chairil sendiri merupakan putra tunggal mereka. Sebagai anak tunggal, Chairil kecil banyak dimanjakan oleh orang tuanya. Karenanya, ia tumbuh menjadi sosok yang keras kepala. Ia bahkan sering tidak ingin menikmati kehilangan apa pun yang diinginkan atau disukainya. Sikap ini rupanya adalah sikap yang diturunkan dari kedua orang tuanya.
Dari segi pendidikan, Chairil Anwar sempat mendapatkan pendidikan di sebuah sekolah dasar khusus untuk kaum pribumi, Hollandsch-Inlandsche School (HIS). Ini adalah sekolah dasar yang dibangun khusus untuk orang-orang pribumi masa penjajahan Belanda. Setelah lulus pendidikan dasar dari sana, Chairil melanjutkan pendidikan di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO).
Jalan pendidikan Chairil berhenti setelahnya. Ia berhenti sekolah ketika usianya 18 tahun. Meski telah berhenti sekolah, tidak berarti Chairil tidak memiliki cita -cita. Saat itu ia sudah memutuskan untuk menjadi seorang seniman. Keinginannya menjadi seniman bahkan sudah diungkapkannya sejak usia 15 tahun.
Chairil kecil telah tumbuh dewasa. Ketika ia mulai beranjak dewasa, kehidupan Chairil banyak berubah. Ayah dan ibunya bercerai. Chairil memutuskan untuk ikut bersama ibunya. Mereka pun pindah ke Batavia atau kota yang kini kita kenal sebagai ibu kota Indonesia. Meskipun telah berpisah dari ayahnya, Chairil tetap mendapatkan nafkah dari ayahnya.
Di kota Batavia inilah, Chairil mulai lebih akrab dengan dunia sastra. Otak Chairil Anwar terbilang encer. Sekali pun pendidikan yang dia tekuni tidak tinggi, tapi dia mampu menguasai beberapa bahasa asing dengan baik, seperti bahasa Belanda, bahasa Jerman dan bahasa Inggris.
Chairil juga senang membaca buku. Seringkali ia menghabiskan waktu untuk menikmati bacaan dari karya para pengarang ternama internasional. Beberapa pengarang ternama yang karyanya senang i abaca misalnya, Rainer Maria Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, Edgar du Perron, Hendrik Marsman, dan J. Slaurhoff.
Jika diamati dari karya -karya Chairil selanjutnya, penulis -penulis ini turut memberikan kontribusi terhadap gaya bahasa Chairil. Karya Chairil Anwar banyak yang mengadopsi tatanan karyanya, termasuk mempengaruhi tatanan kesusasteraan Indonesia.
Karir Chairil Anwar sebagai Penyair
Puisi perama Chairil dipublikasikan tahun 1942. Puisi yang ia lahirkan ketika usianya masih 20 tahun tersebut, berjudul “Nisan”. Setelah puisi inilah, nama Chairil Anwar mulai dikenal dalam dunia sastra Indonesia. Namun, ada yang khas dari puisi -puisi Chairil Anwar. Kebanyakan puisi buatan Chairil bertema kematian.
Tema kematian sepertinya masih merupakan tema yang janggal kala itu. Ketika ia pertama kali mengirim hasil karya puisi ke Majalah Pandji untuk dimuat, karya -karya tersebut banyak ditolak. Alasannya, puisi Chairil terlalu individualistis sifatnya. Selain itu, tema tersebut tidak sesuai dengan semangat yang dianut masyarakat kala itu, yakni semangat Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya.
Meski begitu, setelah puisi pertamanya ini, ia terus melanjutkan hobinya menulis. Tulisan -tulisan Chairil selanjutnya, selain bertema kematian, juga ada yang bertema pemberontakan, individualisme, hingga eksistensialisme.
Berbagai puisinya ini memiliki karakter khas yang menarik, dan sering dianggap multi-interpretasi. Namun, gaya bahasa ini pula yang membuat tulisan Chairil Anwar menjadi semakin populer dan digemari.
Kehidupan Cinta Chairil Anwar
Karir Chairil Anwar tidak hanya sekedar dalam dunia tulis menulis puisi saja. Ia juga sempat menjadi seorang penyiar radio Jepang di Jakarta. Ketika menjadi penyiar inilah, Chairil jatuh cinta pada Sri Ayati. Namun sayang, bahkan hingga akhir hayatnya, Chairil tidak punya keberanian menyampaikan perasaan cintanya pada Sri Hayati.
Pada akhirnya, ia justru memilih menikah dengan gadis lain benama Hapsah Wiraredja. Pernikahan mereka berlangsung pada tanggal 6 Agustus 1946. Dari pernikahan ini, Chairil Anwar mendapatkan keturunan seorang putri canik yang dinamainya Evawani Alissa.
Kehidupan pernikahan Chairil rupanya tidak berjalan mulus. Pasangan ini kemudian harus menghadapi perceraian di akhir tahun 1948.
Kondisi Fisik Chairil Anwar
Jiwa seni Chairil Anwar memang begitu sehat dan memukau. Namun sayang, hal ini tidak sejalan dengan kondisi fisik Chairil Anwar. Semasa hidupnya, ia harus menghadapi banyak penyakit. Hingga pada akhirnya, ia harus menyerah pada kehidupan.
Nafas terakhir Chairil Anwar dihembuskan di usianya yang ke 27 tahun. Usia yang sungguh pendek bukan? Berakhirnya usia Chairil tentu juga menandai berakhirnya pula upayanya untuk menghasilkan karya sastra. Meski begitu, aneka karya sastra yang sempat ia lahirkan tetap banyak dikenal dan dikagumi hingga sekarang ini.
Mengenai penyebab pasti kematian Chairil Anwar masih belum dapat dikonfirmasi. Banyak dugaan yang menyatakan bahwa penyebab kematiannya adalah penyakit TBC. Namun, catatan rumah sakit menyatakan ia dirawat karena penyakit tifus.
Chairil memang sudah lama mengidap penyakit paru -paru dan infeksi. Penyakit inilah yang membuat fisik Chairil Anwar menjadi lemah hingga akhirnya ia menderita penyakit usus. Ususnya yang rusak pecah dan membuatnya meninggal. Ketika hendak meninggal, suhu tubuhnya sangat tinggi hingga membuat ia mengigau “Tuhanku … tuhanku …”
Ia meninggal di Rumah Sakit CBZ atau sebuah rumah sakit yang sekarang dikenal sebagai Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Di rumah sakit ini, ia dirawat dari tanggal 22 hingga 28 April 1949.
Lalu, pada 28 April 1949, jam setengah tiga sore Chairil Anwar meninggal. Sehari kemudian, Chairil Anwar baru dimakamkan di TPU Karet Bivak. Dari RSCM, ada banyak pemuda dan para Republikan terkemuka yang turut mengantarkannya menuju ke Karet.
Meski masa hidup dan masa berkarirnya singkat, nama Chairil Anwar sudah sempat sukses menarik perhatian banyak orang. Ia juga telah memiliki banyak penggemar. Karenanya, ketika ia dimakamkan, banyak penggemar yang berziarah. Makamnya hingga kini juga masih sering dikunjungi oleh para penggemarnya. Bahkan, hari di mana Chairil meninggal juga diperingati para penggemarnya sebagai Hari Chairil Anwar.
Usia Chairil Anwar yang pendek dikatakan telah diprediksi. Seorang kritikus sastra Indonesia asal Belanda, A. Teeuw bahkan menyatakan bahwa sebetulnya Chairil Anwar telah menyadari bahwa dirinya akan mati muda. Hal ini dilihat dari tema menyerah yang dituliskannya di dalam puisinya dengan judul “Jang Terampas Dan Jang Putus”.
Hasil Karya Chairil Anwar
Di masa hidupnya yang singkat, karya Chairil Anwar sudah menghasilkan cukup banyak karya. Ia menulis sejumlah karya sekitar 94. Di dalam karya tersebut termasuk ada 70 puisi. Banyak dari puisi -puisi karya Chairil Anwar yang belum sempat dipublikasikan semasa hidupnya, dan baru dipublikasikan setelah ia meninggal.
Puisi terakhir yang ditulis Chairil berjudul “Cemara Menderai Sampai Jauh”. Karya ini ditulis Chairil pada tahun 1949. Adapun karya Chairil yang paling fenomenal adalah karya yang berjudul “Aku” dan “Krawang Bekasi”.
Seluruh karya Chairil Anwar ini, kemudian dikompilasikan ke dalam tiga buah buku. Karya -karya tersebut termasuk karya yang asli, modifikasi, serta yang diduga diciplak. Buku kompilasi tersebut diterbitkan oleh Pustaka Rakyat.
Buku kompilasi yang pertama diterbutkan dengan judul “Deru Campur Debu” pada tahun 1949. Lalu, buku kedua diberi judul “Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus”, yang terbit pada tahun 1949. Buku terakhir berjudul “Tiga Menguak Takdir” dan terbit pada tahun 1950. Buku ketiga ini adalah kumpulan puisi dengan Asrul Sani dan Rivai Apin.
Selain itu, ada juga karya “Aku Ini Binatang Jalang: koleksi sajak 1942-1949” yang merupakan hasil sunting Pamusuk Eneste, dengan disertai kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono yang terbit pada tahun 1986. Di tahun 1998, diterbitkan pula kompilasi karyanya yang lain dengan judul “Derai-derai Cemara”.
Karyanya yang lain, ada juga yang berjudul “Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948), terjemahan karya Andre Gide, dan Kena Gempur (1951), terjemahan karya John Steinbeck.
Berbagai karya Chairil Anwar ini tidak hanya dikagumi di Indonesia saja. Karya -karyanya juga diterjemahkan ke dalam bahasa asing, seperti bahasa Inggris, Jerman, bahasa Rusia dan Spanyol. Berikut adalah beberapa terjemahan karya-karya Chairil Anwar :
“Sharp gravel, Indonesian poems”, oleh Donna M. Dickinson (Berkeley, California, 1960)
“Cuatro poemas indonesios [por] Amir Hamzah, Chairil Anwar, Walujati” (Madrid: Palma de Mallorca, 1962)
Chairil Anwar: Selected Poems oleh Burton Raffel dan Nurdin Salam (New York, New Directions, 1963)
“Only Dust: Three Modern Indonesian Poets”, oleh Ulli Beier (Port Moresby [New Guinea]: Papua Pocket Poets, 1969)
The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Burton Raffel (Albany, State University of New York Press, 1970)
The Complete Poems of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Liaw Yock Fang, dengan bantuan H. B. Jassin (Singapore: University Education Press, 1974)
Feuer und Asche: sämtliche Gedichte, Indonesisch/Deutsch oleh Walter Karwath (Wina: Octopus Verlag, 1978)
The Voice of the Night: Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, oleh Burton Raffel (Athens, Ohio: Ohio University, Center for International Studies, 1993)
Dalam Kumpulan “Poeti Indonezii” (Penyair-Penyair Indonesia). Terjemahan oleh S. Semovolos. Moscow: Inostrannaya Literatura, 1959, № 4, hlm. 3-5; 1960, № 2, hlm. 39-42.
Dalam Kumpulan “Golosa Tryoh Tisyach Ostrovov” (Suara Tiga Ribu Pulau). Terjemahan oleh Sergei Severtsev. Moscow, 1963, hlm. 19-38.
Dalam kumpulan “Pokoryat Vishinu” (Bertakhta di Atasnya). Puisi penyair Malaysia dan Indonesia dalam terjemahan Victor Pogadaev. Moscow: Klyuch-C, 2009, hlm. 87-89.
Boen S. Oemarjati, “Chairil Anwar: The Poet and his Language” (Den Haag: Martinus Nijhoff, 1972).
Kontroversi Chairil Anwar
Selain pernah meraih beragam pujian, Chairil Anwar juga pernah menuai kontroversi karena hasil karyanya. Beberapa puisi hasil karya Chairil pernah dianggap sebagai karya hasil plagiarism oleh H.B Jassin.
Di dalam tulisan yang dimuat di Mimbar Indonesia dengan judul Karya Asli, Saduran, dan Plagiat, H.B Jassin menguraikan tentang bagaimana kemiripan puisi Karawang-Bekasi yang dibandingkan dengan The Dead Young Soldiers karya Archibald MacLeish. Meski menunjukkan perbandingannya, Jassin tidak menyalahkan Chairil.
Jassing mengungkapkan, meskipun karya tersebut mirip, rasa khas dari Chairil tetap ada di dalam karya Chairil sendiri. Sedangkan jika melihat sajak dari MacLeish, Jassin mengungkapkan bahwa karyanya hanya berupa katalisator penciptaan dari karya Chairil Anwar.
Novel besar terbitan Utusan
MANA SIKANA
26 Februari 2019
DUA buah novel yang diterbitkan Utusan Melayu ini telah mencipta fenomena tersendiri dalam dunia sastera tanah air.
DALAM mengingati kelahiran Utusan Melayu, saya berasa terpanggil untuk membicarakan novel-novel besar yang mencapai taraf unggul yang diterbitkan oleh penerbitannya.
Novel pertama yang menjadi pilihan, jika disebut namanya semua orang rasanya akan setuju. Malah, wujud persetujuan hasil pemilihan yang dibuat oleh penyelidikan perpustakaan dan kerja lapangan pusat pengajian tinggi. Inilah teks yang berada di puncak penevolan Melayu, yang berdiri sebagai karya narasi besar, mendominasi dan bertakhta.
Sewaktu diterbitkan pada tahun 1960-an, ia mendapat resepsi yang baik dalam kalangan khalayak sastera dan kritikan yang positif.
Subjeknya ialah tentang barah kemiskinan masyarakat Melayu yang diwarisi hasil penjajahan, yang sukar ditanggalkan dan hanya pasrah pada takdir dan kalah kepada kekuasaan alamiah.
Watak protagonisnya secara jujur dan gigih berjuang dengan tabah dan nekad.
RANJAU SEPANJANG JALAN
Novel ini begitu dekat dengan budaya Melayu. Jika Hang Tuah adalah pencitraan Melayu tradisional, watak-watak dalam novel ini lambang manusia Melayu pascamerdeka. Melayu yang tercabar dalam gelanggang pertarungan, dan ada di antara wataknya yang menjadi gila.
Tekdealisme mendapati, faktor komplikasi dan subjek yang komplikated, diramu oleh unsur hiba, melankolik dan tragis serta dilentur oleh moraliti zamannya; menjadikan teks ini, berhasil mencitrakan superego yang dibayangi oleh collective unconscious jati diri Melayu.
Sesungguhnya penulisnya menjiwai budaya Melayu dan nilai kebangsaan. Itulah Ranjau Sepanjang Jalan karya Shahnon Ahmad, Lahuma yang tewas dan Jeha dilanda gila, bagaikan sebuah sejarah kesakitan Melayu.
Gambarannya realistik, malah kerana begitu rinci, ia mendekati naturalistik. Novel ini berwasiat, untuk hidup manusia Melayu mestilah meneruskan perjuangan dan memegang azimat Malay Power. Shahnon Ahmad mula menceburkan diri melalui cerpen pada tahun 1956.
Ia melakukan perlanggaran dengan mempelopori aliran bawah sedar, meletakkannya sebagai cerpenis terpenting selepas Keris Mas. Namun, kejayaan besarnya apabila mula menghasilkan novel Rentong, 1965, dan Terdedah pada tahun yang sama terbitan Abbas Bandung. Dan namanya tiba-tiba bergema apabila pada 1966 menghasilkan Ranjau Sepanjang Jalan penerbitan Utusan Melayu.
Novel-novelnya kemudian seperti Menteri, Protes, Perdana, Srengenge, Sampah, Kemelut, Seluang Menodak Baung, al-Syiqaq, Tunggul-Tunggul Gerigis, Tok Guru, Sutan Baginda, Patriarch, Kak Umi dan Abang Syeikul, Tivi, Shit dan Mahabbah tidak dapat menanggalkan keunggulan Ranjau Sepanjang Jalan . Ia sinonim dan menjadi teks subjektiviti Shahnon.
Malah kepengarangannya pernah diparalelasi dengan penyair dan novelis romantis Perancis, Victor Hugo.Malah, ada yang menyatakan pencapaiannya, sama taraf dengan pencapaian dramatis Greek seperti Aeschylus, Sophocles, Euripidesdan Euripides yang diakui kekuatannya oleh Aristotle dalam Poetics. Maka benarlah, Shahnon Ahmad adalah raja novelis Malaysia.
SAGA
Setelah 10 tahun Ranjau Sepanjang Jalan, muncul sebuah novel membawa fenomena baharu dalam penulisan novel dekad 1960-an yang menghasilkan 238 teks. Pada tahun 1976, dalam usaha mendapatkan novel bermutu Sayembara Novel GAPENA telah dianjurkan. Pemenangnya ialah Abdul Mutalib Hassan dengan novelnya Saga.
Saga menggemparkan, pertamanya teknik naratif orang ketiga, telah dilanggar oleh pengarangnya. Ketiga-tiga wataknya iaitu Rahmat, Hisyam dan Munirah berdepan dengan khalayaknya dengan kesemuanya, mengaplikasikan ganti orang pertama.
Mekanisme ini membuka citra perwatakan yang dinamis dan gerakan jalur penceritaannya segar dan hidup. Ditambah pula dengan stailnya yang jernih dan subur, serta latarannya yang bervariasi, tepat dan benar.
Dengan cepat ia mempesona dan menawan jiwa khalayak sastera waktu itu dan Saga pantas menjadi popular dan kebanggaan.
Kedua, bagaikan selari dengan visi sayembara untuk mendapatkan teks yang membawa gambaran Melayu pasca merdeka; Saga menyuguhkan pemikiran dan mengisahkan tiga watak utama daripada generasi muda negara yang intelektual. Mereka meninggalkan kemewahan serta kesenangan hidup di bandar.
Tujuannya untuk mencurahkan ilmu, tenaga dan bakti bagi membangunkan masyarakat kampung ketinggalan jauh terpencil untuk berkhidmat meninggikan taraf hidup yang keciciran dan terpinggir.
Mereka terjebak dalam pelbagai kancah konflik seperti hasad dengki, khianat dan cabaran-cabaran lainnya, khususnya daripada sebahagian masyarakat kampung yang mencurigai atau memandang serong di atas kejujuran, ketulusan dan kemurnian cita-cita mereka. Pertentangan nilai menjadikan teks ini menarik dan sesuai dengan akal zamannya.
Novel Saga menjadi laris, khalayak dan pengkritik berlumba-lumba memperkatakannya. Sebagai pengarang Abdul Mutalib Hassan, mendapat pengiktirafan yang besar dalam jangka waktu yang singkat - namanya mengharum dengan tiba-tiba sahaja. Tidak syak lagi Saga mencipta fenomena, dan berjaya membina kemuncak dalam penovelan tanah air.
IMAM
Novel ketiga ialah Imam karya Abdullah Hussain. Novel ini memenangi Hadiah Novel Nasional yang tujuannya untuk mengingati Pak Sako, 1992/94, yang dianjurkan bersama oleh Syarikat Utusan Melayu dan Public Bank Berhad. Yang kemudiannya turut diangkat memenangi Hadiah Sastera Malaysia 1994/95.
Imam menjadi pusat wacana sastera, kerana sebagai sebuah novel ia sangat tebal, berat dan komplikated. Dan yang paling menggemparkan, kerana ia adalah sebuah teks sastera Islam. Novel ini sangat menyentuh hati, mengisahkan tentang perjuangan seorang imam yang ingin membawa pembaharuan di kampungnya.
Namun ia mendapat tentangan, seagama dan sebangsa; malah dari saudara-maranya sendiri. Imam Haji Mihad didakwa membawa ajaran baharu yang agak asing bagi kampungnya, sehingga mendapat perhatian pihak majlis agama. Watak Imam menyedarkan bahawa tugas hakikinya tidak hanya sebagai mengimamkan solat, tetapi perlu mempunyai tanggungjawab sosial.
Abdullah Hussain sebenarnya, membezakan dengan penulis sezaman dengannya pada corak penulisannya yang autobiografikal. Novel-novelnya seperti Terjebak, Peristiwa, Rantau Selamat, Interlok dan Intan memperlihatkan penguasaan genre autobiografi.
Sumber sejarah diadun dengan peristiwa kekinian, menjadikan novelnya relevan, padat dan sesuai.
Corak autobiografikal tidak banyak mengundang kreativiti pengarang tanah air, kerana ia memerlukan kekayaan pengalaman, ketajaman ingatan, sumber sejarah dan sifat-sifat komentar sosial.
Meskipun bentuk ini dimulai oleh Abdullah Munsyi abad ke-19, tetapi secara radikalnya dikembang, dan mendapat wajah baru di tangan Abdullah Hussain.
Ironinya, tidak banyak karya besar sastera Islam dapat dijadikan rujukan. Tiba-tiba, Abdullah Husain hadir dengan Imam, sebuah teks yang mengkocakkan samudranya. Imam tidak sahaja bersifat taat budi, juga bersesuaian dengan tasyrik ahli Sunnah dan Jamaah. Imam dinobatkan sebagai model, ikon dan grand narrative Islamic.
Tidak berhenti di situ sahaja, Abdullah Hussain segera dikaitkan dengan Anugerah Sastera Negara, setelah berlaku kekosongan tiga tahun selepas Noordin Hassan 1993. Pada 20 Ogos 1994, saya menulis dalam Utusan Malaysia “Abdullah Sasterawan Negara?”, yang memberi sokongan atas penganugerahan Sastera Negara kepada Abdullah Hussain.
Terbukti dengan pencapaian dan kekuatan individualisme Imam, Abdullah Hussain telah dianugerahkan dengan kedudukan tertinggi pengarang Malaysia itu pada tahun 1996.
Demikianlah tiga buah novel terbitan Utusan Melayu, Ranjau Sepanjang Jalan karya Shahnon Ahmad, Saga karya Abdul Mutalib Hassan dan Imam karya Abdullah Hussain telah menduduki antara tempat tertinggi dalam penulisan novel negara.
Tahun 1966, 1976 dan 1996 adalah tarikh keramat. 1966 Ranjau Sepanjang Jalan, 1976 Saga dan 1996 penobatan Abdullah sebagai Sasterawan Negara. Tidak syak lagi, ketiga-tiga buah novel itu, berhasil meletakkan dirinya sebagai karya bermutu, berfenomena dan mencipta sejarah dalam perkembangan sastera Melayu.
Sesungguhnya, ketiga-tiganya akan terus mendapat sanjungan, dibaca dan diapresiasi oleh anak watan untuk sepanjang zaman.
DR. ABDUL RAHMAN NAPIAH (MANA SIKANA) ialah Sasterawan Perak 2004.
PROTON Saga, kereta nasional pertama negara dilancarkan dengan rasminya oleh Perdana Menteri, Tun Dr. Mahathir Mohamad pada 9 Julai 1985.
SAHIDAN JAAFAR
10 Mei 2019
PAKAR ekonomi mengkritik hebat langkah Perdana Menteri, Tun Dr. Mahathir Mohamad melaksanakan projek ‘Kereta Malaysia’ yang dianggap tidak berfaedah atau sesuai bagi pembangunan ekonomi Malaysia.
Pakar ekonomi seperti Jomo Kwame Sundaram, Chee Peng Lim dan Raphael Pura menyifatkan kos projek kereta Malaysia amat mahal menyebabkan ramai ahli ekonomi sama ada dari pihak kerajaan atau pun swasta bersetuju bahawa projek kereta Malaysia tidak ‘viable’.
Menurut seorang pakar, Chee Peng Lim yang menulis artikel “Beban Ekonomi Projek Kereta Malaysia” yang termuat dalam buku Dasar-Dasar Ekonomi Mahathir (1987) menyatakan, projek
AKHBAR AKHBAR Utusan Malaysia bertarikh 10 Julai 1985 bertajuk “Malaysia kini penjual kereta” memaparkan berita Proton Saga, kereta buatan Malaysia dilancarkan oleh Perdana Menteri, Tun Dr. Mahathir Mohamad di Shah Alam pada pukul 10.30 pagi, 9 julai 1985.
itu “tidak berfaedah atau sesuai bagi pembangunan ekonomi Malaysia”.
“Projek ini amat mahal. Kos sebenarnya mungkin tidak dapat diketahui kerana dirahsiakan oleh kerajaan. Namun demikian, anggaran kos yang konservatif adalah sebanyak RM1.5 bilion termasuk kos langsung dan tidak langsung…” (Chee Peng Lim 1987: 95).
Menurut Jomo Kwame Sundaram melalui artikel “Kereta Malaysia, Untung Mitsubishi” dalam “Dasar-Dasar Ekonomi Mahathir” (1987), pengeluaran apa yang digelarkan sebagai ‘Kereta Malaysia’ merupakan projek yang dikaitkan dengan Dasar Pandang Ke Timur yang paling kontroversi setakat ini.
“Pengeluaran Kereta Malaysia dianggap perlu oleh sesetengah pihak demi memajukan perindustrian di Malaysia. Memang tidak dinafikan bahawa perkembangan perusahaan kereta pernah memainkan peranan penting dalam sejarah pembangunan ekonomi Amerika Syarikat dan Jepun. Tetapi atas beberapa sebab, Malaysia tidak dapat meniru pengalaman negara-negara itu” (Jomo Kwame Sundaram 1987: 90).
Malah menurut Jomo, beberapa buah negara pernah memajukan rancangan perindustrian tanpa mengeluarkan sebarang kereta.
Raphael Pura yang menulis artikel bertajuk “Industri berat, ekonomi karam? Strategi perindustrian berat dipersoalkan” yang turut termuat dalam Dasar-Dasar Ekonomi Mahathir (1987) menyatakan, projek industri berat sebagai dasar penting untuk mempercepatkan pemindahan teknologi dari Jepun dan Korea Selatan yang dianggap sebagai projek kesayangan Dr. Mahathir sendiri.
AKHBAR AKHBAR Utusan Malaysia bertarikh 9 September 1985 bertajuk “Jangan perkecil Proton Saga” yang menyatakan harapan Dr. Mahathir Mohamad ketika melancarkan Proton Saga.
“Malah, Dr. Mahathir sendiri merupakan kuasa penggerak di sebalik dasar perindustrian berat. Apabila menjadi Perdana Menteri beliau memindahkan Heavy Industries Corporation of Malaysia (HICOM) dari tanggungjawab Kementerian Perdagangan dan Perindustrian kepada Jabatan Perdana Menteri.
“Dr. Mahathir juga telah mempercepatkan pelaksanaan projek simen, keluli dan enjin motosikal dan menggerakkan semula projek kereta Malaysia setelah malap sejak 1980” (Raphael Pura 1987: 86).
Usahasama projek kereta Malaysia berkenaan melibatkan dua pihak utama iaitu HICOM yang menyumbangkan 70 peratus daripada modal berbayar sebanyak RM100 juta pada satu pihak dan Mitsubishi Corporation (MC) 15 peratus dan Mitsubishi Motor Corporation (MMC) 15 peratus. Baki RM380 juta yang dianggarkan akan dipinjam dari Bank Eksport Import Jepun serta bank-bank perdagangan lain.
Pada 9 Julai 1985, tepat pukul 10.30 pagi, selepas menanam anak pokok saga, Perdana Menteri, Tun Dr. Mahathir pun dengan rasminya melancarkan Proton Saga yang pertama keluar dari loji pemasangan, setahun lebih awal daripada jadual asalnya.
Menurut Datuk Tharu T. Tharumagnanam @ Tharu Thambiah dalam The Making Of The National Car: Not Just A Dream (1994), sebagaimana yang sudah terbukti, Projek Kereta Nasional yang pada mulanya telah diselar hebat oleh orang ramai itu, kini sudah menjadi kenyataan.
Projek tersebut bukan khayalan atau suatu ilusi.
Pembukaan rasmi penjualan Proton Saga yang pertama kepada orang awam oleh Dr. Mahathir pada 1 September 1985 merupakan acara meriah yang disiarkan secara langsung oleh televisyen dan ditonton berjuta orang.
“Selepas menepung tawar kereta tersebut dan kemudiannya mengaminkan bacaan doa selamat, beliau (Dr. Mahathir) mengumumkan dirinya sebagai pembeli pertama kereta Proton Saga, sebuah sedan untuk isterinya, Dr. Siti Hasmah” (Tharu T. Tharumagnanam 1994: 46).
Dr. Mahathir merumuskan bahawa sentimen ramai rakyat yang telah berjaya menjadikan impian terhadap projek kereta Malaysia itu suatu kenyataan.
TAN SRI ZAINON MUNSHI SULAIMAN atau lebih dikenali sebagai Ibu Zain (kanan) menerima sijil penghargaan dan pingat emas Tokoh Guru Wanita dari Menteri Pelajaran ketika itu, Tun Dr. Mahathir Mohamad sempena Sambutan Hari Guru Peringkat Kebangsaan 1975 di Kuala Lumpur pada 16 Mei 1975.
MOHD. SAIFUL MOHD. SAHAK
16 Mei 2019
Akhbar Utusan Malaysia bertarikh 22 Mac 1972 memuatkan berita “Perayaan Hari Guru seluruh negara 16 Mei” melaporkan buat pertama kalinya guru-guru di seluruh negara merayakan sambutan Hari Guru pada 16 Mei 1972.
Laporan itu memetik, ketika mengisytiharkan tarikh itu, Kementerian Pelajaran dalam kenyataannya, tarikh 16 Mei dipilih sebagai Hari Guru kerana pada hari bulan yang sama dalam 1956, Majlis Undang-Undang Persekutuan Tanah Melayu (Federal Legislative Council) telah menerima cadangan-cadangan Laporan Jawatankuasa Pelajaran sebagai dasar pelajaran baharu di Malaysia.
Dokumen itu dikenali sebagai Laporan Razak yang menjadi Dasar Pelajaran Kebangsaan maka tarikh keramat ini besar maknanya kepada institusi pendidikan dan perguruan negara.
KERATAN akhbar Utusan Malaysia bertarikh 22 Mac 1972 bertajuk Perayaan Hari Guru seluruh Negara 16 Mei. Kementerian Pelajaran mengumumkan 16 Mei 1972 sebagai tarikh Sambutan Hari Guru di seluruh negara.
Kementerian Pelajaran dalam kenyataan itu mengingatkan supaya penganjuran sambutan Hari Guru tidak melibatkan urusan pentadbiran sekolah.
Terdapat enam matlamat penganjuran sambutan Hari Guru diadakan ialah: Menegaskan peranan guru dalam usaha pembinaan kebangsaan, pembangunan negara dan perkhidmatan kepada masyarakat; Menarik perhatian ibu bapa, murid-murid dan orang ramai kepada peranan penting guru dalam masyarakat Malaysia; Mewujudkan perasaan perpaduan dan muhibah antara guru-guru.
Selain itu, Meningkatkan taraf guru dalam masyarakat; Memberi satu saluran untuk memajukan kecekapan mereka melalui seminar, persidangan dan akhir sekali, Mengkaji dengan objektifnya peranan guru-guru dalam negara Malaysia dan mengambil langkah-langkah untuk membaiki peranan itu.
Utusan Malaysia turut memuatkan berita utama di muka satu “Jangan Kecam Guru-Guru” bertarikh 16 Mei 1972 melaporkan, Menteri Pelajaran ketika itu, Tun Hussein Onn dalam ucapannya melalui TV dan Radio sempena Hari Guru, mengingatkan ibu bapa supaya sentiasa bertimbang rasa terhadap guru-guru yang bersusah payah ‘berikhtiar’ memajukan anak bangsa dan bukan mengecam mereka semata-mata.
Katanya, tugas guru bukan saja berat tetapi guru terpaksa berada dalam kawalan masyarakat yang mempunyai sekatan.
“Saya juga berharap semua pelajar sentiasa mengenang budi dan jasa guru yang sentiasa memberi pelajaran kepada mereka. Pelajar hendaklah sentiasa berusaha untuk membina masyarakat yang teguh dan maju dengan bekerjasama dengan guru-guru mereka setiap masa,”(Utusan Malaysia 16 Mei 1972).
Tokoh Guru, Tan Sri Datuk Dr. Awang Had Salleh dalam buku tulisannya “Warna-warna pengalaman seorang guru” terbitan Utusan Publications & Distributors Sdn. Bhd. pada 1993 menyatakan, aspirasi paling tinggi yang ada pada dirinya untuk menjadi seorang guru, tidak ada jawatan lebih tinggi daripada itu yang diimpikan oleh mereka bercita-cita untuk menjadi guru pada era 1950-an.
Jawatan lain yang dipegang Melayu pada era itu ialah kerani, rekrut polis dan tentera. Selain daripada itu ialah posmen, kakitangan rendah dalam Jabatan Pertanian, Perhutanan, Bomba atau menjadi buruh kasar bekerja sendiri menjadi petani atau nelayan
Dalam masyarakat Melayu pada waktu itu, menurut Dr. Awang Had, mereka yang berjawatan guru mendapat tempat yang tinggi dalam masyarakat.
Biasanya guru-guru berpakaian kemas berseluar panjang warna putih, berkemeja lengan pendek berwarna putih, berkasut putih dan ada bersongkok dan ada yang tidak.
“Basikal yang guru guna pada ketika itu kebanyakannya jenis Raleigh yang dijaga bersih. Rambut mereka bergunting rapi. Keluar dari sekolah mereka kelihatan pulang ke rumah membimbit buku ringkasan mengajar dengan kemas.
“Jika ke pekan kecil atau ke kampung, perawakan seorang guru jelas berbeza daripada perwatakan orang lain,”katanya.
Dr. Awang Had berkata, guru disegani dan dihormati di majlis kenduri, guru diletakkan di kepala hidang. Dalam kehidupan sehari guru dirujuk bagi mendapatkan nasihat dan pandangan. Di majlis-majlis keagamaan pula, guru mendapat penghormatan yang tinggi. Itulah kehebatan seorang guru atas pengorbanan mendidik anak bangsa.
“Usaha guru memberi kesan positif apabila pelajar tahu untuk menghargai dan berterima kasih kepada guru kerana tanpa guru mereka tidak akan dapat membaca dan mengira,”jelasnya.
myPortfolio diperkenal untuk membolehkan tiap seseorang penjawat awam tahu apa yang perlu dibuat di dalam melaksanakan tugasnya. Malah, mereka juga akan tahu parameter dan hubungan tugas mereka dengan pegawai yang lain.
Inisiatif ini ialah bagi memastikan tidak berlaku kelewatan dan kesilapan dalam pelaksanaan tugas dan sekaligus dapat meningkatkan produktiviti di Jabatan Kerajaan.
Saya ingin memperingati semua anggota Kerajaan bahawa sistem atau cara melakukan sesuatu, walau bagaimana baik sekalipun, tidak akan berjaya jika pengamal sistem tidak gunanya dengan jujur, disiplin dan semangat.
MAJLIS PELANCARAN MyPORTFOLIO: PANDUAN KERJA SEKTOR AWAM
14 Mei 2019, Putrajaya
Saya mengambil kesempatan ini untuk mengucapkan selamat Hari Guru kepada semua guru di Malaysia.
Jika saya dianggap berjaya, ia adalah hasil dari didikan baik yang saya terima dari guru-guru saya di samping ibu bapa. Jika ada kekurangan pada diri saya ianya bukanlah kerana ajaran yang tidak cukup dari guru-guru saya tetapi adalah kekurangan dari diri saya yang gagal menerima sepenuhnya ajaran dari guru-guru tersebut.
Kepada guru-guru saya yang saya hormati dan sayangi, hanya Allah SWT sahajalah yang dapat balas jasa dan pengorbanan mereka selama ini.
DEWAN BUDAYA sekali lagi akan mempersembahkan Teater Makyung dengan tajuk pementasan pada tahun ini "Teater Makyung Anak Raja Gondang" hasil nukilan Che Mat Jusoh dan Qaseh Bismillah. Pelakon makyung yang tidak asing lagi Rosnan Rahman, Nadhilah Suhaimi, Norhelmi Othman, Qaseh Bismillah, Yoh, Murshid Md Hussain, Nik Mohd dan Ramnah Ramli bakal menggegarkan panggung Dewan Budaya sekali lagi pada tahun ini! Tiket boleh didapatkan di kaunter Pejabat Dewan Budaya,
SINOPSIS CERITA
Teater Makyung Anak Raja Gondang menceritakan kisah Anak Raja Gondang yang memohon izin untuk bermain di Padang Luas Saujana padang. Di sinilah bermulanya pengembaraan Anak Raja Gondang yang melalui pelbagai halangan, namun atas kebijaksanaannya maka baginda dapat mengatasi anak-anak Mak Inang Kurang Sa Empat Puluh dan Wak Juara Pemikat. Kerana kesengajaannya menganiaya Wak Juara Pemikat maka baginda telah ditangkap o!eh Wak Pertanda Raja lalu membawanya masuk ke istana. Helahnya telah berjaya menemukannya dengan Raja Besar. Raja Besar terpikat dengan Anak Raja Gondang, lantas mengambil Anak Raja Gondang sebagai anak angkat baginda.
Namun Raja besar tidak sabar dengan kenakalan anak Raja Gondang lalu menjatuhkan hukuman bunuh. Wak Petanda Raja telah mencuba pelbagai cara namun tidak dapat, membunuh, akhirnya Wak pertanda buat helah mengajak Anak Raja Gondang mencuci Meriam di Tanjung Kuala dan ketika ARG masuk ke dalam Meriam lalu WPR menyucuh Meriam dan terpelanting jatuh ke daalam laut dan dijumpai oleh naga lalu mengahantar ke daratan ke tempat gergasi.
Apakah yang akan terjadi kepadanya?Siapakah Raja Naga dan juga Raja Gergasi?Adakah Anak Raja Gondang berjaya menemui bondanya? Sama-sama kita saksikan kisah seterusnya.