Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta Toer (lahir di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925 – meninggal dunia di Jakarta, 30 April 2006 pada umur 81 tahun), secara luas dianggap sebagai salah satu pengarang yang produktif dalam sejarah sastera Indonesia. Pramoedya telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing.
Masa kecil
Pramoedya dilahirkan di Blora pada 1925 sebagai anak sulung dalam keluarganya. Ayahnya adalah seorang guru, sedangkan ibunya seorang penjual nasi. Nama asli Pramoedya adalah Pramoedya Ananta Mastoer, sebagaimana yang tertulis dalam koleksi cerita pendek semi-otobiografinya yang berjudul Cerita Dari Blora. Karena nama keluarga Mastoer (nama ayahnya) dirasakan terlalu aristokratik, ia menghilangkan awalan Jawa "Mas" dari nama tersebut dan menggunakan "Toer" sebagai nama keluarganya. Pramoedya menempuh pendidikan pada Sekolah Kejuruan Radio di Surabaya, dan kemudian bekerja sebagai jurutaip untuk surat kabar Jeun di Jakarta selama pendudukan Jepun di Indonesia.
Pasca kemerdekaan Indonesia
Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan kerap ditempatkan di Jakarta pada akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen serta buku di sepanjang karier militernya dan ketika di penjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada 1950-an ia tinggal di Belanda sebagai sebahagian dari program pertukaran budaya, dan ketika kembali ke Indonesia ia menjadi anggota Lekra, salah satu organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya Korupsi, fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Hal ini menciptakan pergesaran antara Pramoedya dan pemerintahan Soekarno.
Selama masa itu, ia mulai mempelajari penyeksaan terhadap kaum Tionghoa Indonesia, kemudian pada saat yang sama, ia pun mulai berhubungan erat dengan para penulis di Tiongkok. Khususnya, ia menerbitkan rangkaian surat-menyurat dengan penulis Tionghoa yang membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia, berjudul Hoakiau di Indonesia. Ia merupakan kritikus yang tak mengacuhkan pemerintahan Jawa-sentris pada keperluan dan keinginan dari daerah lain di Indonesia, dan secara terkenal mengusulkan bahwa pemerintahan mesti dipindahkan ke luar Jawa. Pada 1960-an ia ditahan pemerintahan Soeharto karena pandangan pro-Komunis Tiongkoknya. Bukunya dilarang dari peredaran, dan ia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau Buru di kawasan timur Indonesia.
Penahanan
Selain pernah ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial dan 1 tahun pada masa Orde Lama, selama masa Orde Baru Pramoedya merasakan 14 tahun ditahan sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan.
13 Oktober 1965 - Julai1969
Julai 1969 - 16 Ogos1969 di Pulau Nusakambangan
Ogos 1969 - 12 November 1979 di Pulau Buru
November - 21 Disember 1979 di Magelang
Ia dilarang menulis selama masa penahanannya di Pulau Buru, namun tetap mengatur untuk menulis serial karya terkenalnya yang berjudul Bumi Manusia, serial 4 kronik novel semi-fiksi sejarah Indonesia. Tokoh utamanya Minke, bangsawan kecil Jawa, dicerminkan pada pengalaman RM Tirto Adisuryo seorang tokoh pergerakkan pada zaman kolonial yang mendirikan organisasi Sarekat Priyayi dan diakui oleh Pramoedya sebagai organisasi nasional pertama. Jilid pertamanya dibawakan secara oral pada para kawan sepenjaranya, dan sisanya diselundupkan ke luar negeri untuk dikoleksi pengarang Australia dan kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Indonesia.
Pramoedya dibebaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat G30S/PKI, tapi masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999, dan juga wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih 2 tahun.
Selama masa itu ia menulis Gadis Pantai, novel semi-fiksi lainnya berdasarkan pengalaman neneknya sendiri. Ia juga menulis Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995), autobiografi berdasarkan tulisan yang ditulisnya untuk puterinya namun tak diizinkan untuk dikirimkan, dan Arus Balik (1995). Edisi lengkap Nyanyi Sunyi Seorang Bisu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris oleh Willem Samuels, diterbitkan di Indonesia oleh Hasta Mitra bekerja sama dengan Yayasan Lontar pada 1999 dengan judul The Mute's Soliloquy: A Memoir
Kontroversi
Ketika Pramoedya mendapatkan Ramon Magsaysay Award, 1995, diberitakan sebanyak 26 tokoh sastera Indonesia menulis surat 'protes' ke Yayasan Ramon Magsaysay. Mereka tidak setuju, Pramoedya yang dituding sebagai "jubir sekaligus algojo Lekra paling galak, menghentam, menggasak, membantai dan mengganyang" pada masa demokrasi terpimpin, tidak pantas diberikan hadiah dan menuntut penarikan penghargaan yang dianugerahkan kepada Pramoedya.
Tetapi beberapa hari kemudian, Taufik Ismail sebagai pemrakarsa, meralat pemberitaan itu. Katanya, bukan menuntut 'penarikan', tetapi mengingatkan 'siapa Pramoedya itu'. Katanya, banyak orang tidak mengetahui 'reputasi gelap' Pram dulu. Dan pemberian penghargaan Magsaysay dikatakan sebagai suatu kecerobohan. Tetapi di pihak lain, Mochtar Lubis malah mengancam mengembalikan hadiah Magsaysay yang dianugerahkan padanya pada tahun 1958, jika Pram tetap akan dianugerahkan hadiah yang sama.
Lubis juga mengatakan, HB Jassin pun akan mengembalikan hadiah Magsaysay yang pernah diterimanya. Tetapi, ternyata dalam pemberitaan berikutnya, HB Jassin malah mengatakan yang lain sama sekali dari pernyataan Mochtar Lubis.
Dalam berbagai pendapat di media, para penandatangan petisyen 26 ini merasa sebagai mangsa dari keadaan pra-1965. Dan mereka menuntut pertanggungan jawab Pram, untuk mengakui dan meminta maaf akan segala peranan 'tidak terpuji' pada 'masa paling gelap bagi kreativiti' pada zaman Demokrasi Terpimpin. Pram, kata Mochtar Lubis, memimpin penindasan sesama seniman yang tak sefahaman dengannya.
Sementara Pramoedya sendiri menilai segala tulisan dan pidatonya pada masa pra-1965 itu tidak lebih dari 'golongan polemik biasa' yang boleh diikuti siapa saja. Dia menyangkal terlibat dalam pelbagai aksi yang 'kelewat jauh'. Dia juga merasa difitnah, ketika dituduh ikut membakar buku segala. Bahkan dia menyarankan agar perkaranya dibawa ke pengadilan saja jika memang materi cukup. Kalau tidak cukup, bawa ke forum terbuka, katanya, tetapi dengan ketentuan saya boleh menjawab dan membela diri, tambahnya.
Semenjak Orde Baru berkuasa, Pramoedya tidak pernah mendapat kebebasan menyuarakan suaranya sendiri, dan telah beberapa kali dirinya diserang dan dikeroyok secara terbuka di koran.
Tetapi dalam pemaparan pelukis Joko Pekik, yang juga pernah menjadi tahanan di Pulau Buru, ia menyebut Pramoedya sebagai 'juru-tulis'. Pekerjaan juru-tulis yang dimaksud oleh Joko Pekik adalah Pramoedya mendapat 'pekerjaan' dari petugas Pulau Buru sebagai tukang taip mereka. Bahkan menurut Joko Pekik, nasib Pramoedya lebih baik dari umumnya tahanan yang ada. Statusnya sebagai tokoh seniman yang oleh media disebar-luaskan secara internasional, menjadikan dia hidup dengan fasiliti yang lumayan - apalagi kalau ada tamu dari 'luar' yang datang pasti Pramoedya akan menjadi 'bintangnya'.
Masa tua
Pramoedya telah menulis banyak kolum dan artikel pendek yang mengkritik pemerintahan Indonesia terkini. Ia menulis buku Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer, dokumentasi yang ditulis dalam gaya menyedihkan para wanita Jawa yang dipaksa menjadi wanita penghibur selama masa pendudukan Jepang. Semuanya dibawa ke Pulau Buru di mana mereka mengalami kekerasan seksual, mengakhiri tinggal di sana daripada kembali ke Jawa. Pramoedya membuat perkenalannya saat ia sendiri merupakan tahanan politik di Pulau Buru selama masa 1970-an.
Banyak dari tulisannya menyentuh tema interaksi antarabudaya; antara Belanda, kerajaan Jawa, orang Jawa secara umum, dan Tionghoa. Banyak dari tulisannya juga semi-autotobiografi, di mana ia menggambar pengalamannya sendiri. Ia terus aktif sebagai penulis dan kolumnis. Ia memperolehi Ramon Magsaysay Award untuk Jurnalisme, Sastera, dan Seni Komunikasi Kreatif 1995. Ia juga telah dipertimbangkan untuk Hadiah Nobel Sastera. Ia juga memenangkan Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI 2000 dan pada 2004 Norwegian Authors' Union Award untuk sumbangannya pada sastera dunia. Ia menyelesaikan perjalanan ke Amerika Utara pada 1999 dan memperolehi penghargaan dari Universiti Michigan.
Sampai akhir hayatnya ia aktif menulis, walaupun kesihatannya telah menurun akibat usianya yang lanjut dan kegemarannya merokok. Pada 12 Januari 2006, ia dikhabarkan telah dua minggu terbaring sakit di rumahnya di Bojong Gede, Bogor, dan dirawat di rumah sakit. Menurut laporan, Pramoedya menderita diabetes, sesak nafas dan lemah jantung.
Pada 6 Februari 2006 di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, diadakan pameran khusus tentang sampul buku dari karya Pramoedya. Pameran ini sekaligus hadiah ulang tahun ke-81 untuk Pramoedya. Pameran bertajuk Pram, Buku dan Angkatan Muda menghadirkan sampul-sampul buku yang pernah diterbitkan di mancanegara. Ada sekitar 200 buku yang pernah diterjemahkan ke pelbagai bahasa dunia.
Berpulang
Pada 27 April 2006, Pram tidak sedar diri. Pihak keluarga akhirnya memutuskan membawa dia ke RS Saint Carolus hari itu juga. Pram didiagnosis menderita radang paru-paru, penyakit yang selama ini tidak pernah menjangkitinya, ditambah komplikasi ginjal, jantung, dan diabetes.
Pram hanya bertahan tiga hari di rumah sakit. Setelah sedar, dia meminta pulang. Meski permintaan itu tidak direstui doktor, Pram berkeras ingin pulang.Pada Sabtu 29 April, sekitar pukul 19.00, begitu sampai di rumahnya, kondisinya jauh lebih baik. Meski masih kritis, Pram sudah bisa memiringkan badannya dan menggerak-gerakkan tangannya.
Keadaanya bertambah buruk pada pukul 20.00. Pram masih dapat tersenyum dan mengepalkan tangan ketika sasterawan Eka Budianta menjenguknya. Pram juga tertawa saat dibisiki para penggemar yang menjenguknya bahwa Soeharto masih hidup. Kondisi Pram memang sempat membaik, lalu kritis lagi. Pram kemudian sempat mencopot selang infus dan menyatakan bahwa dirinya sudah sembuh. Dia lantas meminta disuapi havermut dan meminta rokok. Tapi, tentu saja permintaan tersebut tidak diluluskan keluarga. Mereka hanya menempelkan batang rokok di mulut Pram tanpa menyalakannya. Kondisi tersebut bertahan hingga pukul 22.00.
Setelah itu, beberapa kali dia kembali mengalami masa kritis. Pihak keluarga pun memutuskan mengadakan tahlil untuk mendoakan Pram. Pasang surut keadaan Pram tersebut terus berlangsung hingga pukul 02.00. Saat itu, dia menyatakan agar Tuhan segera menjemputnya. "Dorong saja saya," ujarnya. Namun, teman-teman dan kerabat yang menjaga Pram tak lelah memberi semangat hidup. Rumah Pram yang asri tidak hanya dipenuhi anak, cucu, dan cicitnya. Tapi, teman-teman hingga para penggemarnya ikut menunggui Pram.
Khabar meninggalnya Pramt tersiar sejak pukul 03.00. Tetangga-tetangga sudah menerima khabar duka tersebut. Namun, pukul 05.00, mereka kembali mendengar bahawa Pram masih hidup. Terakhir, ketika ajal menjemput, Pram sempat mengerang, "Akhiri saja saya. Bakar saya sekarang," katanya.
Pada 30 April 2006 pukul 08.55 Pramoedya wafat dalam usia 81 tahun.
Ratusan pelayat kelihatan memenuhi rumah dan pekarangan Pram di Jalan Multikarya II No 26, Utan Kayu, Jakarta Timur. Pelayat yang hadir antara lain Sitor Situmorang, Erry Riyana Hardjapamekas, Nurul Arifin dan suami, Usman Hamid, Putu Wijaya, Goenawan Mohamad, Gus Solah, Ratna Sarumpaet, Budiman Sudjatmiko, serta puluhan aktivis, sastrawan, dan cendekiawan. Hadir juga Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik. Terlihat sejumlah karangan bunga tanda duka, antara lain dari KontraS, Wapres Jusuf Kalla, artis Happy Salma, pengurus DPD PDI Perjuangan, Dewan Kesenian Jakarta, dan lain-lain. Teman-teman Pram yang pernah ditahan di Pulau Buru juga hadir melayat. Temasuk para anak muda fans Pram.
Jenazah dimandikan pukul 12.30 WIB, lalu disalatkan. Setelah itu, dibawa keluar rumah untuk dimasukkan ke ambulans yang membawa Pram ke TPU Karet Bivak. Terdengar lagu Internationale dan Darah Juang dinyanyikan di antara pelayat.
Karya
Sepoeloeh Kepala Nica (1946), hilang di tangan penerbit Balingka, Pasar Baru, Jakarta, 1947
Kranji–Bekasi Jatuh (1947), fragmen dari Di Tepi Kali Bekasi
Perburuan (1950), pemenang sayembara Balai Pustaka, Jakarta, 1949 (dicekal oleh pemerintah karena muatan komunisme)
Keluarga Gerilya (1950)
Subuh (1951), kumpulan 3 cerpen
Percikan Revolusi (1951), kumpulan cerpen
Mereka yang Dilumpuhkan (I & II) (1951)
Bukan Pasar Malam (1951)
Di Tepi Kali Bekasi (1951), dari sisa naskah yang dirampas Marinir Belanda pada 22 Julai 1947
Dia yang Menyerah (1951), kemudian diulang cetak dalam kumpulan cerpen
Cerita dari Blora (1952), pemenang karya sastera terbaik dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional, Jakarta, 1953
Gulat di Jakarta (1953)
Midah Si Manis Bergigi Emas (1954)
Korupsi (1954)
Mari Mengarang (1954), tak jelas nasibnya di tangan penerbit
Cerita Dari Jakarta (1957)
Cerita Calon Arang (1957)
Sekali Peristiwa di Banten Selatan (1958)
Panggil Aku Kartini Saja (I & II, 1963; Bahagian III dan IV dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
Kumpulan Karya Kartini, yang pernah diumumkan di berbagai media; dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
Wanita Sebelum Kartini; dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
Gadis Pantai (1962-65) dalam bentuk cerita bersambung, Bahagian pertama triologi tentang keluarga Pramoedya; terbit sebagai buku, 1987; dilarang Jaksa Agung; jilid kedua dan ketiga dibakar
Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
Sejarah Bahasa Indonesia. Satu Percobaan (1964); dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia (1963)
Lentera (1965), tak jelas nasibnya di tangan penerbit
Bumi Manusia (1980); dilarang Jaksa Agung, 1981
Anak Semua Bangsa (1981); dilarang Jaksa Agung, 1981
Sikap dan Peran Intelektual di Dunia Ketiga (1981)
Tempo Doeloe (1982), antologi sastra pra-Indonesia
Jejak Langkah (1985); dilarang Jaksa Agung, 1985
Sang Pemula (1985); dilarang Jaksa Agung, 1985
Hikayat Siti Mariah, (ed.) Hadji Moekti, (1987); dilarang Jaksa Agung, 1987
Rumah Kaca (1988); dilarang Jaksa Agung, 1988
Memoar Oei Tjoe Tat, (ed.) Oei Tjoe Tat, (1995); dilarang Jaksa Agung, 1995
Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I (1995); dilarang Jaksa Agung, 1995
Arus Balik (1995)
Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II (1997)
Arok Dedes (1999)
Mangir (2000)
Larasati (2000)
Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (2005)
wiki
Mengenang Jejak Pramoedya Ananta Toer
30 April 2013
Tujuh tahun lalu, tepatnya Selasa, 1 Mei 2006, hampir seluruh headline media cetak di Indonesia memuat berita mengenai salah satu tokoh paling berpengaruh di dunia sastra: Pramoedya Ananta Toer. Sebab, sehari sebelumnya, sosok yang akrab dipanggil Pram itu meninggal dunia pada usia 81 tahun.
Sebenarnya, saya kurang begitu "ngeh" saat membaca berita kematian satu-satunya sastrawan Indonesia yang pernah dinominasikan meraih penghargaan Nobel tersebut. Maklum, selain tidak begitu hobi dengan dunia sastra, saya sendiri belum mengenal Pram.
Apalagi, pertama kali saya mengetahui riwayat tentang pria yang terkenal dengan novel "Arok Dedes" itu ketika membaca wawancaranya dengan majalah Playboy edisi April 2006. Tapi, itu pun bukan karena saya memang antusias menelusuri jejak kelamnya sepanjang delapan halaman di Pulau Buru. Melainkan, karena tertarik menyambut edisi perdana dari majalah yang beberapa waktu kemudian dibredel itu dengan cover mencolok, Andhara Early.
* * *
Hingga, berselang banyak tahun, setelah sering membaca artikel "berbau" sastra, saya baru menyadari bahwa Pram itu merupakan sosok fenomenal. Mungkin, saya bisa menyebut pria kelahiran Blora, Jawa tengah, 6 Februari 1925 ini sebagai pribadi yang unik, sedikit nyentrik, menjurus kontroversial, namun genius.
Itu saya dapat usai membaca berbagai kisah hidupnya serta beberapa buku Pram yang meski sulit dicerna tapi bikin penasaran. Apalagi, dia merupakan sosok yang jujur, bebas, dan terkesan blak-blakan. Seperti halnya sewaktu Pram dengan datar menyebut Nobel bukan keinginan terbesarnya.
"Bagi saya, kalau dapat itu (Nobel) berarti penghargaan dunia. Itu saja," kata pria yang mendapat penghargaan bergengsi Ramon Magsaysay Award itu. "Saya sudah dapat penghargaan di mana-mana. Orang baca karya saya saja itu sudah suatu penghargaan."
Yang menarik, ketika Pram mengakui sama sekali tidak mempunyai dendam dengan pemerintah orde lama dan orde baru, meski sempat diasingkan ke pulau terpencil padahal dirinya sama sekali tidak bersalah. Namun, dia juga menegaskan tidak pernah memaafkan perlakuan militer terhadapnya. Terutama setelah perpustakaan yang dikumpulkannya sejak puluhan tahun dibakar begitu saja:
"Saya enggak suka militer Indonesia. Itu grup bersenjata menghadapi rakyat yang nggak bersenjata. Kalau ada perang internasional, lari terbirit-birit. Karena biasanya yang dilawan rakyat tanpa senjata. Saya nggak bisa memaafkan. Yang dibakar aja delapan, belum yang hilang di penerbit-penerbit. Nggak tahu kok, sejarah saya sejarah perampasan. Ini pendengaran saya juga hilang. Ini kerjaan militer juga yang bikin saya setengah tuli, dihajar pakai popor senapan."
* * *
Mendengar penuturan lirih tersebut, seketika membuat saya merinding. Merinding membayangkan siksaan yang diterima Pram, termasuk ketika kebebasannya terbelenggu di Pulau Buru. Namun, karena pengasingannya itu yang membuat Pram kian terkenal dan mengundang simpati masyarakat internasional.
Setelah tujuh tahun kematiannya, karya-karya Pram tetap abadi dan tersebar hampir di seluruh dunia dengan diterjemahkan dalam 42 bahasa. Tentu, itu tidak akan terjadi jika dia tidak mendapat "pengalaman" dipenjara selama lebih dari 14 tahun. Itu diakui Pram dengan menyebut pada masa pengasingannya itu, justru memberinya inspirasi untuk menelurkan karya-karya terbaik. Termasuk Tetralogi Buru, dengan Bumi Manusia sebagai salah satu novel terbaik yang pernah saya baca.
* * *
Beberapa naskah pram yang hilang dan dimusnahkan:
- Sepoeloeh Kepala Nica (1946) Hilang di tangan penerbit Balingka, Pasar Baru, Jakarta, 1947.
- Bagian dari Di Tepi Kali Bekasi Dirampas Marinir Belanda, 22 Juli 1947.
- Mari Mengarang (1954) Tak jelas nasibnya di tangan penerbit, 1955
- Kumpulan Karja Kartini Dibakar tahun 1964, bagian-bagiannya sempat dimunculkan beberap kali
- Wanita Sebelum Kartini Dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
- Panggil Aku Kartini Sadja, jilid III dan IV Dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
- Sedjarah Bahasa Indonesia, Satu Pertjobaan (1964) Dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
- Lentera (1965) Tak Jelas nasibnya di tangan penerbit
- Kumpulan Cerpen Bung Karno
- Dua jilid terakhir trilogi Gadis Pantai
Referensi: - Pramoedya Ananta Toer, 81, Indonesian Novelist, Dies (The New York Times) - Dihargai Dunia, Dipenjara di Negeri Sendiri (Biografi Tokoh Indonesia) - Menerawang Kotak Hitam Nusantara (Kompas.com) - Yang Hilang dan Dimusnahkan dari Pram (Majalah Playboy #1 - April 2006) - Bumi Manusia (Library of Congress)
Jakarta, 30 April 2013
kompasiana
Pramoedya Ananta Toer (lahir di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925 – meninggal dunia di Jakarta, 30 April 2006 pada umur 81 tahun), secara luas dianggap sebagai salah satu pengarang yang produktif dalam sejarah sastera Indonesia. Pramoedya telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing.
Masa kecil
Pramoedya dilahirkan di Blora pada 1925 sebagai anak sulung dalam keluarganya. Ayahnya adalah seorang guru, sedangkan ibunya seorang penjual nasi. Nama asli Pramoedya adalah Pramoedya Ananta Mastoer, sebagaimana yang tertulis dalam koleksi cerita pendek semi-otobiografinya yang berjudul Cerita Dari Blora. Karena nama keluarga Mastoer (nama ayahnya) dirasakan terlalu aristokratik, ia menghilangkan awalan Jawa "Mas" dari nama tersebut dan menggunakan "Toer" sebagai nama keluarganya. Pramoedya menempuh pendidikan pada Sekolah Kejuruan Radio di Surabaya, dan kemudian bekerja sebagai jurutaip untuk surat kabar Jeun di Jakarta selama pendudukan Jepun di Indonesia.
Pasca kemerdekaan Indonesia
Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan kerap ditempatkan di Jakarta pada akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen serta buku di sepanjang karier militernya dan ketika di penjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada 1950-an ia tinggal di Belanda sebagai sebahagian dari program pertukaran budaya, dan ketika kembali ke Indonesia ia menjadi anggota Lekra, salah satu organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya Korupsi, fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Hal ini menciptakan pergesaran antara Pramoedya dan pemerintahan Soekarno.
Selama masa itu, ia mulai mempelajari penyeksaan terhadap kaum Tionghoa Indonesia, kemudian pada saat yang sama, ia pun mulai berhubungan erat dengan para penulis di Tiongkok. Khususnya, ia menerbitkan rangkaian surat-menyurat dengan penulis Tionghoa yang membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia, berjudul Hoakiau di Indonesia. Ia merupakan kritikus yang tak mengacuhkan pemerintahan Jawa-sentris pada keperluan dan keinginan dari daerah lain di Indonesia, dan secara terkenal mengusulkan bahwa pemerintahan mesti dipindahkan ke luar Jawa. Pada 1960-an ia ditahan pemerintahan Soeharto karena pandangan pro-Komunis Tiongkoknya. Bukunya dilarang dari peredaran, dan ia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau Buru di kawasan timur Indonesia.
Penahanan
Selain pernah ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial dan 1 tahun pada masa Orde Lama, selama masa Orde Baru Pramoedya merasakan 14 tahun ditahan sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan.
13 Oktober 1965 - Julai1969
Julai 1969 - 16 Ogos1969 di Pulau Nusakambangan
Ogos 1969 - 12 November 1979 di Pulau Buru
November - 21 Disember 1979 di Magelang
Ia dilarang menulis selama masa penahanannya di Pulau Buru, namun tetap mengatur untuk menulis serial karya terkenalnya yang berjudul Bumi Manusia, serial 4 kronik novel semi-fiksi sejarah Indonesia. Tokoh utamanya Minke, bangsawan kecil Jawa, dicerminkan pada pengalaman RM Tirto Adisuryo seorang tokoh pergerakkan pada zaman kolonial yang mendirikan organisasi Sarekat Priyayi dan diakui oleh Pramoedya sebagai organisasi nasional pertama. Jilid pertamanya dibawakan secara oral pada para kawan sepenjaranya, dan sisanya diselundupkan ke luar negeri untuk dikoleksi pengarang Australia dan kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Indonesia.
Pramoedya dibebaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat G30S/PKI, tapi masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999, dan juga wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih 2 tahun.
Selama masa itu ia menulis Gadis Pantai, novel semi-fiksi lainnya berdasarkan pengalaman neneknya sendiri. Ia juga menulis Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995), autobiografi berdasarkan tulisan yang ditulisnya untuk puterinya namun tak diizinkan untuk dikirimkan, dan Arus Balik (1995). Edisi lengkap Nyanyi Sunyi Seorang Bisu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris oleh Willem Samuels, diterbitkan di Indonesia oleh Hasta Mitra bekerja sama dengan Yayasan Lontar pada 1999 dengan judul The Mute's Soliloquy: A Memoir
Kontroversi
Ketika Pramoedya mendapatkan Ramon Magsaysay Award, 1995, diberitakan sebanyak 26 tokoh sastera Indonesia menulis surat 'protes' ke Yayasan Ramon Magsaysay. Mereka tidak setuju, Pramoedya yang dituding sebagai "jubir sekaligus algojo Lekra paling galak, menghentam, menggasak, membantai dan mengganyang" pada masa demokrasi terpimpin, tidak pantas diberikan hadiah dan menuntut penarikan penghargaan yang dianugerahkan kepada Pramoedya.
Tetapi beberapa hari kemudian, Taufik Ismail sebagai pemrakarsa, meralat pemberitaan itu. Katanya, bukan menuntut 'penarikan', tetapi mengingatkan 'siapa Pramoedya itu'. Katanya, banyak orang tidak mengetahui 'reputasi gelap' Pram dulu. Dan pemberian penghargaan Magsaysay dikatakan sebagai suatu kecerobohan. Tetapi di pihak lain, Mochtar Lubis malah mengancam mengembalikan hadiah Magsaysay yang dianugerahkan padanya pada tahun 1958, jika Pram tetap akan dianugerahkan hadiah yang sama.
Lubis juga mengatakan, HB Jassin pun akan mengembalikan hadiah Magsaysay yang pernah diterimanya. Tetapi, ternyata dalam pemberitaan berikutnya, HB Jassin malah mengatakan yang lain sama sekali dari pernyataan Mochtar Lubis.
Dalam berbagai pendapat di media, para penandatangan petisyen 26 ini merasa sebagai mangsa dari keadaan pra-1965. Dan mereka menuntut pertanggungan jawab Pram, untuk mengakui dan meminta maaf akan segala peranan 'tidak terpuji' pada 'masa paling gelap bagi kreativiti' pada zaman Demokrasi Terpimpin. Pram, kata Mochtar Lubis, memimpin penindasan sesama seniman yang tak sefahaman dengannya.
Sementara Pramoedya sendiri menilai segala tulisan dan pidatonya pada masa pra-1965 itu tidak lebih dari 'golongan polemik biasa' yang boleh diikuti siapa saja. Dia menyangkal terlibat dalam pelbagai aksi yang 'kelewat jauh'. Dia juga merasa difitnah, ketika dituduh ikut membakar buku segala. Bahkan dia menyarankan agar perkaranya dibawa ke pengadilan saja jika memang materi cukup. Kalau tidak cukup, bawa ke forum terbuka, katanya, tetapi dengan ketentuan saya boleh menjawab dan membela diri, tambahnya.
Semenjak Orde Baru berkuasa, Pramoedya tidak pernah mendapat kebebasan menyuarakan suaranya sendiri, dan telah beberapa kali dirinya diserang dan dikeroyok secara terbuka di koran.
Tetapi dalam pemaparan pelukis Joko Pekik, yang juga pernah menjadi tahanan di Pulau Buru, ia menyebut Pramoedya sebagai 'juru-tulis'. Pekerjaan juru-tulis yang dimaksud oleh Joko Pekik adalah Pramoedya mendapat 'pekerjaan' dari petugas Pulau Buru sebagai tukang taip mereka. Bahkan menurut Joko Pekik, nasib Pramoedya lebih baik dari umumnya tahanan yang ada. Statusnya sebagai tokoh seniman yang oleh media disebar-luaskan secara internasional, menjadikan dia hidup dengan fasiliti yang lumayan - apalagi kalau ada tamu dari 'luar' yang datang pasti Pramoedya akan menjadi 'bintangnya'.
Masa tua
Pramoedya telah menulis banyak kolum dan artikel pendek yang mengkritik pemerintahan Indonesia terkini. Ia menulis buku Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer, dokumentasi yang ditulis dalam gaya menyedihkan para wanita Jawa yang dipaksa menjadi wanita penghibur selama masa pendudukan Jepang. Semuanya dibawa ke Pulau Buru di mana mereka mengalami kekerasan seksual, mengakhiri tinggal di sana daripada kembali ke Jawa. Pramoedya membuat perkenalannya saat ia sendiri merupakan tahanan politik di Pulau Buru selama masa 1970-an.
Banyak dari tulisannya menyentuh tema interaksi antarabudaya; antara Belanda, kerajaan Jawa, orang Jawa secara umum, dan Tionghoa. Banyak dari tulisannya juga semi-autotobiografi, di mana ia menggambar pengalamannya sendiri. Ia terus aktif sebagai penulis dan kolumnis. Ia memperolehi Ramon Magsaysay Award untuk Jurnalisme, Sastera, dan Seni Komunikasi Kreatif 1995. Ia juga telah dipertimbangkan untuk Hadiah Nobel Sastera. Ia juga memenangkan Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI 2000 dan pada 2004 Norwegian Authors' Union Award untuk sumbangannya pada sastera dunia. Ia menyelesaikan perjalanan ke Amerika Utara pada 1999 dan memperolehi penghargaan dari Universiti Michigan.
Sampai akhir hayatnya ia aktif menulis, walaupun kesihatannya telah menurun akibat usianya yang lanjut dan kegemarannya merokok. Pada 12 Januari 2006, ia dikhabarkan telah dua minggu terbaring sakit di rumahnya di Bojong Gede, Bogor, dan dirawat di rumah sakit. Menurut laporan, Pramoedya menderita diabetes, sesak nafas dan lemah jantung.
Pada 6 Februari 2006 di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, diadakan pameran khusus tentang sampul buku dari karya Pramoedya. Pameran ini sekaligus hadiah ulang tahun ke-81 untuk Pramoedya. Pameran bertajuk Pram, Buku dan Angkatan Muda menghadirkan sampul-sampul buku yang pernah diterbitkan di mancanegara. Ada sekitar 200 buku yang pernah diterjemahkan ke pelbagai bahasa dunia.
Berpulang
Muthmainah, Isteri Pramoedya
Pada 27 April 2006, Pram tidak sedar diri. Pihak keluarga akhirnya memutuskan membawa dia ke RS Saint Carolus hari itu juga. Pram didiagnosis menderita radang paru-paru, penyakit yang selama ini tidak pernah menjangkitinya, ditambah komplikasi ginjal, jantung, dan diabetes.
Pram hanya bertahan tiga hari di rumah sakit. Setelah sedar, dia meminta pulang. Meski permintaan itu tidak direstui doktor, Pram berkeras ingin pulang.Pada Sabtu 29 April, sekitar pukul 19.00, begitu sampai di rumahnya, kondisinya jauh lebih baik. Meski masih kritis, Pram sudah bisa memiringkan badannya dan menggerak-gerakkan tangannya.
Keadaanya bertambah buruk pada pukul 20.00. Pram masih dapat tersenyum dan mengepalkan tangan ketika sasterawan Eka Budianta menjenguknya. Pram juga tertawa saat dibisiki para penggemar yang menjenguknya bahwa Soeharto masih hidup. Kondisi Pram memang sempat membaik, lalu kritis lagi. Pram kemudian sempat mencopot selang infus dan menyatakan bahwa dirinya sudah sembuh. Dia lantas meminta disuapi havermut dan meminta rokok. Tapi, tentu saja permintaan tersebut tidak diluluskan keluarga. Mereka hanya menempelkan batang rokok di mulut Pram tanpa menyalakannya. Kondisi tersebut bertahan hingga pukul 22.00.
Setelah itu, beberapa kali dia kembali mengalami masa kritis. Pihak keluarga pun memutuskan mengadakan tahlil untuk mendoakan Pram. Pasang surut keadaan Pram tersebut terus berlangsung hingga pukul 02.00. Saat itu, dia menyatakan agar Tuhan segera menjemputnya. "Dorong saja saya," ujarnya. Namun, teman-teman dan kerabat yang menjaga Pram tak lelah memberi semangat hidup. Rumah Pram yang asri tidak hanya dipenuhi anak, cucu, dan cicitnya. Tapi, teman-teman hingga para penggemarnya ikut menunggui Pram.
Makam Pramoedya dipenuhi karangan bunga dan buku-buku karyanya
Khabar meninggalnya Pramt tersiar sejak pukul 03.00. Tetangga-tetangga sudah menerima khabar duka tersebut. Namun, pukul 05.00, mereka kembali mendengar bahawa Pram masih hidup. Terakhir, ketika ajal menjemput, Pram sempat mengerang, "Akhiri saja saya. Bakar saya sekarang," katanya.
Pada 30 April 2006 pukul 08.55 Pramoedya wafat dalam usia 81 tahun.
Ratusan pelayat kelihatan memenuhi rumah dan pekarangan Pram di Jalan Multikarya II No 26, Utan Kayu, Jakarta Timur. Pelayat yang hadir antara lain Sitor Situmorang, Erry Riyana Hardjapamekas, Nurul Arifin dan suami, Usman Hamid, Putu Wijaya, Goenawan Mohamad, Gus Solah, Ratna Sarumpaet, Budiman Sudjatmiko, serta puluhan aktivis, sastrawan, dan cendekiawan. Hadir juga Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik. Terlihat sejumlah karangan bunga tanda duka, antara lain dari KontraS, Wapres Jusuf Kalla, artis Happy Salma, pengurus DPD PDI Perjuangan, Dewan Kesenian Jakarta, dan lain-lain. Teman-teman Pram yang pernah ditahan di Pulau Buru juga hadir melayat. Temasuk para anak muda fans Pram.
Makam Pram pada tahun 2011
Jenazah dimandikan pukul 12.30 WIB, lalu disalatkan. Setelah itu, dibawa keluar rumah untuk dimasukkan ke ambulans yang membawa Pram ke TPU Karet Bivak. Terdengar lagu Internationale dan Darah Juang dinyanyikan di antara pelayat.
Karya
Sepoeloeh Kepala Nica (1946), hilang di tangan penerbit Balingka, Pasar Baru, Jakarta, 1947
Kranji–Bekasi Jatuh (1947), fragmen dari Di Tepi Kali Bekasi
Perburuan (1950), pemenang sayembara Balai Pustaka, Jakarta, 1949 (dicekal oleh pemerintah karena muatan komunisme)
Keluarga Gerilya (1950)
Subuh (1951), kumpulan 3 cerpen
Percikan Revolusi (1951), kumpulan cerpen
Mereka yang Dilumpuhkan (I & II) (1951)
Bukan Pasar Malam (1951)
Di Tepi Kali Bekasi (1951), dari sisa naskah yang dirampas Marinir Belanda pada 22 Julai 1947
Dia yang Menyerah (1951), kemudian diulang cetak dalam kumpulan cerpen
Cerita dari Blora (1952), pemenang karya sastera terbaik dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional, Jakarta, 1953
Gulat di Jakarta (1953)
Midah Si Manis Bergigi Emas (1954)
Korupsi (1954)
Mari Mengarang (1954), tak jelas nasibnya di tangan penerbit
Cerita Dari Jakarta (1957)
Cerita Calon Arang (1957)
Sekali Peristiwa di Banten Selatan (1958)
Panggil Aku Kartini Saja (I & II, 1963; Bahagian III dan IV dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
Kumpulan Karya Kartini, yang pernah diumumkan di berbagai media; dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
Wanita Sebelum Kartini; dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
Gadis Pantai (1962-65) dalam bentuk cerita bersambung, Bahagian pertama triologi tentang keluarga Pramoedya; terbit sebagai buku, 1987; dilarang Jaksa Agung; jilid kedua dan ketiga dibakar
Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
Sejarah Bahasa Indonesia. Satu Percobaan (1964); dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia (1963)
Lentera (1965), tak jelas nasibnya di tangan penerbit
Bumi Manusia (1980); dilarang Jaksa Agung, 1981
Anak Semua Bangsa (1981); dilarang Jaksa Agung, 1981
Sikap dan Peran Intelektual di Dunia Ketiga (1981)
Tempo Doeloe (1982), antologi sastra pra-Indonesia
Jejak Langkah (1985); dilarang Jaksa Agung, 1985
Sang Pemula (1985); dilarang Jaksa Agung, 1985
Hikayat Siti Mariah, (ed.) Hadji Moekti, (1987); dilarang Jaksa Agung, 1987
Rumah Kaca (1988); dilarang Jaksa Agung, 1988
Memoar Oei Tjoe Tat, (ed.) Oei Tjoe Tat, (1995); dilarang Jaksa Agung, 1995
Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I (1995); dilarang Jaksa Agung, 1995
Arus Balik (1995)
Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II (1997)
Arok Dedes (1999)
Mangir (2000)
Larasati (2000)
Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (2005)
wiki
Mengenang Jejak Pramoedya Ananta Toer
30 April 2013
Tujuh tahun lalu, tepatnya Selasa, 1 Mei 2006, hampir seluruh headline media cetak di Indonesia memuat berita mengenai salah satu tokoh paling berpengaruh di dunia sastra: Pramoedya Ananta Toer. Sebab, sehari sebelumnya, sosok yang akrab dipanggil Pram itu meninggal dunia pada usia 81 tahun.
Sebenarnya, saya kurang begitu "ngeh" saat membaca berita kematian satu-satunya sastrawan Indonesia yang pernah dinominasikan meraih penghargaan Nobel tersebut. Maklum, selain tidak begitu hobi dengan dunia sastra, saya sendiri belum mengenal Pram.
Apalagi, pertama kali saya mengetahui riwayat tentang pria yang terkenal dengan novel "Arok Dedes" itu ketika membaca wawancaranya dengan majalah Playboy edisi April 2006. Tapi, itu pun bukan karena saya memang antusias menelusuri jejak kelamnya sepanjang delapan halaman di Pulau Buru. Melainkan, karena tertarik menyambut edisi perdana dari majalah yang beberapa waktu kemudian dibredel itu dengan cover mencolok, Andhara Early.
* * *
Hingga, berselang banyak tahun, setelah sering membaca artikel "berbau" sastra, saya baru menyadari bahwa Pram itu merupakan sosok fenomenal. Mungkin, saya bisa menyebut pria kelahiran Blora, Jawa tengah, 6 Februari 1925 ini sebagai pribadi yang unik, sedikit nyentrik, menjurus kontroversial, namun genius.
Itu saya dapat usai membaca berbagai kisah hidupnya serta beberapa buku Pram yang meski sulit dicerna tapi bikin penasaran. Apalagi, dia merupakan sosok yang jujur, bebas, dan terkesan blak-blakan. Seperti halnya sewaktu Pram dengan datar menyebut Nobel bukan keinginan terbesarnya.
"Bagi saya, kalau dapat itu (Nobel) berarti penghargaan dunia. Itu saja," kata pria yang mendapat penghargaan bergengsi Ramon Magsaysay Award itu. "Saya sudah dapat penghargaan di mana-mana. Orang baca karya saya saja itu sudah suatu penghargaan."
Yang menarik, ketika Pram mengakui sama sekali tidak mempunyai dendam dengan pemerintah orde lama dan orde baru, meski sempat diasingkan ke pulau terpencil padahal dirinya sama sekali tidak bersalah. Namun, dia juga menegaskan tidak pernah memaafkan perlakuan militer terhadapnya. Terutama setelah perpustakaan yang dikumpulkannya sejak puluhan tahun dibakar begitu saja:
"Saya enggak suka militer Indonesia. Itu grup bersenjata menghadapi rakyat yang nggak bersenjata. Kalau ada perang internasional, lari terbirit-birit. Karena biasanya yang dilawan rakyat tanpa senjata. Saya nggak bisa memaafkan. Yang dibakar aja delapan, belum yang hilang di penerbit-penerbit. Nggak tahu kok, sejarah saya sejarah perampasan. Ini pendengaran saya juga hilang. Ini kerjaan militer juga yang bikin saya setengah tuli, dihajar pakai popor senapan."
* * *
Mendengar penuturan lirih tersebut, seketika membuat saya merinding. Merinding membayangkan siksaan yang diterima Pram, termasuk ketika kebebasannya terbelenggu di Pulau Buru. Namun, karena pengasingannya itu yang membuat Pram kian terkenal dan mengundang simpati masyarakat internasional.
Setelah tujuh tahun kematiannya, karya-karya Pram tetap abadi dan tersebar hampir di seluruh dunia dengan diterjemahkan dalam 42 bahasa. Tentu, itu tidak akan terjadi jika dia tidak mendapat "pengalaman" dipenjara selama lebih dari 14 tahun. Itu diakui Pram dengan menyebut pada masa pengasingannya itu, justru memberinya inspirasi untuk menelurkan karya-karya terbaik. Termasuk Tetralogi Buru, dengan Bumi Manusia sebagai salah satu novel terbaik yang pernah saya baca.
* * *
Beberapa naskah pram yang hilang dan dimusnahkan:
- Sepoeloeh Kepala Nica (1946) Hilang di tangan penerbit Balingka, Pasar Baru, Jakarta, 1947.
- Bagian dari Di Tepi Kali Bekasi Dirampas Marinir Belanda, 22 Juli 1947.
- Mari Mengarang (1954) Tak jelas nasibnya di tangan penerbit, 1955
- Kumpulan Karja Kartini Dibakar tahun 1964, bagian-bagiannya sempat dimunculkan beberap kali
- Wanita Sebelum Kartini Dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
- Panggil Aku Kartini Sadja, jilid III dan IV Dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
- Sedjarah Bahasa Indonesia, Satu Pertjobaan (1964) Dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
- Lentera (1965) Tak Jelas nasibnya di tangan penerbit
- Kumpulan Cerpen Bung Karno
- Dua jilid terakhir trilogi Gadis Pantai
Referensi: - Pramoedya Ananta Toer, 81, Indonesian Novelist, Dies (The New York Times) - Dihargai Dunia, Dipenjara di Negeri Sendiri (Biografi Tokoh Indonesia) - Menerawang Kotak Hitam Nusantara (Kompas.com) - Yang Hilang dan Dimusnahkan dari Pram (Majalah Playboy #1 - April 2006) - Bumi Manusia (Library of Congress)
Jakarta, 30 April 2013
kompasiana
Comments
Post a Comment