Membingkai warna sastera dengan multimedia dan pemodenan abad baru.
Bukan mudah untuk memberi yakin bahawa sastera adalah hiburan dan pendidikan. Ada yang tertinggal dalam jejak hibur yang tak tiba pada pulau iktibar dan teladan. Ada pula yang hadir sebagai ilmu yang masih menyamai metodologi pengajaran sains atau sejarah.
Demikian sastera menerima asuhannya. Alam pendidikan terutama bangku bilik darjah sering kali menemui sastera sebagai ilmu yang mengutamakan kefahaman dan kemampuan pelajar mencatat esei tentang watak, latar, pengajaran dan segala yang berbentuk nota dan tamsilan. Tidak bergerak dari alam sastera yang memiliki seni, apresiasi, bentuk dan genre yang perlu ditangani dengan pendekatan dan metodologi yang berbeza.
Sastera juga menemui momen buntu dalam mengarah haluan ke dalam dunia khayalak. Baca puisi yang berbentuk konvensi semakin tidak dipeduli kerana kegagalan melahirkan pembaharuan dan keunikan dalam era zaman baru sebuah produksi seni. Untuk bergerak jauh ke hadapan terutama dalam merangkulkan bersama keistimewaan dunia baru komunikasi berbantukan komputer memerlukan tenaga kerja yang mahir, akrab dan memahami bingkai dan warna sastera itu sendiri.
Saya tertarik pada tugasan terbaru yang disediakan oleh Majlis Peperiksaan Malaysia untuk mata pelajaran Kesusasteraan Melayu Komunikatif 2014. Tugasan itu sebagai berikut :
3 Hasilkan satu persembahan multimedia berdasarkan sajak “Pahlawan Ialah Dia” karya Abdul
Ghafar Ibrahim dalam Permata Sastera Melayu, Penyelenggara Majlis Peperiksaan Malaysia, (2012), Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur.
Arahan
(a) Hasil kerja tersebut hendaklah mengandungi elemen multimedia, iaitu grafik, animasi, teks,
dan audio visual.
(b) Tempoh persembahan multimedia adalah antara tiga hingga lima minit.
(c) Hasil persembahan multimedia hendaklah dihantar dalam cakera padat (CD). Nyatakan
spesifikasi yang anda gunakan dalam menghasilkan tugasan tersebut. Contohnya: PowerPoint
Windows 2007, Mikromedia Flash Mx, dan sebagainya.
(d) Calon perlu menyediakan laporan bertulis tentang projek multimedia yang dihasilkan.
Laporan tersebut mengandungi perkara yang berikut:
(i) Sinopsis projek
(ii) Papan Cerita (storyboard)
Sebuah puisi Pahlawan Adalah Dia tulisan Abdul Ghafar Ibrahium dipersembahkan dalam bentuk multimedia . Jangka masa multimedia yang perlu dihasilkan antara tiga hingga lima minit. Ia dapat dihasilkan dalam bentuk powerpoint, flash dan sebagainya.
Sudah pastinya untuk menghasilkan sebuah produksi puisi multimedia sedemikian bukan suatu kerja mudah dan memerlukan kemahiran. Pelajar perlu memahami teknik animasi, grafik, muzik, dan sebagainya. Ia memerlukan masa bagi pelajar mengemas diri dengan kemahiran berkaitan untuk menghasilkan sebuah animasi atau persembahan multimedia yang berkesan.
Cabaran kedua adalah dunia multimedia dan puisi di negara kita begitu asing. Kurang sekali bahan yang dapat dijadikan rujukan dan garis panduan untuk pelajar membuka kreativiti mereka. Seingat saya tidak ada persembahan puisi multimedia begini. Tanpa sumber rujukan yang kukuh ia menyulitkan pelajar untuk menyempurnkan tugasan.
Tapi sebagai pelajar jangan putus asa dan hampa. Jadikan segala ini sebagai titik mula yang cukup bermakna dalam pembaharuan seni persembahan puisi di negara ini. Ketika tandusnya alam multimedia dan puisi inilah masa terbaik untuk anak muda menghasilkan sebuah produksi yang nantinya dapat dikembanagkan ke alam khalayak.
Tiba masanya dunia sastera bertukar rentak dan warna selari dengan pembaharuan zaman baru yang meletakkan komputer sebagai dasar pembaharuan itu. Tiba masanya persembahan puisi disampaikan dengan mood yang lebih signifikan, berdaya maju, dan menarik audien.
Belajarlah dengan penuh ketekunan dan keyakinan bahawa segala ilmu yang ditemui di bangku bilik darjah bermanfaat untuk hari muka. Anggap saja cabaran ini sebagai suatu anjakan dan tranformasi yang harus dipikul dengan berani.
Dalam mencari sumber rujuk puisi multimedia ini saya tertemukn dengan sebuah produksi Asrizal Nur dari Indonesia. Persembahan yang berani dan kreatif. Semoga ia dapat membantu membuka kreativiti pelajar yang ingin menjadikan puisi multimedia sebagai bahan kerja kursus mereka.
Di bawah ini dikemukakan beberapa catatan sebagai renungan tentang alam sastera dan multimedia untuk membuka pengalaman kita terhadap perkara berkaitan.
Marilah memulakan membingkai warna sastera dengan multimedia.
Puisi Multimedia dan Apresiasi Puisi*
Oleh Firman Venayaksa
Sebelum menjelaskan perihal pembelajaran sastra kita di sekolah, saya kembali teringat pada sebuah film “Dead Poets Society” yang dirilis pada tahun 1989. Film ini menceritakan tentang seorang guru sastra (diperankan oleh Robin Williams) yang cukup progresif, atarktif dan unik. Cara mengajarnya yang melawan hegemoni konvensional itu membekas di mata para siswanya. Melalui puisi, para siswa itu diajarkan untuk mencicipi kebebasan melalui puisi setelah sekian lama terkerangkeng oleh prinsip-prinsip akademik yang kaku. Namun tak demikian dengan lembaga sekolah yang mengusung prinsip ortodoks. Cara mengajarnya “yang aneh” membuat sang guru itu terpaksa harus angkat kaki dari sekolah.
Film ini mengingatkan kembali pada realitas pembelajaran sastra di sekolah-sekolah kita hari ini. Seorang guru tidak boleh “nyeni.” Ia harus berpakaian kemeja dan kain katun, mengajarkan tata krama, dan berjarak dengan para siswa agar timbul penghormatan. Kebekuan karakter ini yang kemudian menjalar pada tata cara mengajarkan puisi di sekolah. Puisi tak ubahnya ilmu pasti, yang harus jelas dan terukur, mampu untuk memberikan pencerahan layaknya kitab suci. Hal ini jelas bertentangan dengan puisi sebagai bagian dari ranah kesenian dan sangat interpretatif. Puisi tidaklah kaku dan terus berubah seiring perubahan zaman dan guru sebagai ujung tombak pembelajaran sastra di sekolah, idealnya mengikuti sesuai dengan ilmu yang dianutnya. Film “Dead Poets Society” juga mengajarkan kepada kita bahwa tak selamanya puisi sebagai salah satu jenis sastra bisa diterima oleh khalayak.
Puisi dan Institusi Sekolah
Horatius, seorang filosof pada zaman masa lampau dan sering dikutip oleh para seniman hingga masa kini, menegaskan bahwa seniman bertugas untuk decore dan delectare, memberikan ajaran dan kenikmatan. Dua kategori ini menjadi bagian yang sangat penting untuk memulai tema ini. Jika kita sepakat dengan pendapat Horatius, maka sudah sewajarnya nilai ajar (pendidikan) dan kenikmatan (hiburan) menjadi dua hal yang seyogyanya terus beriringan. Bahkan Horatius menambahkan dengan istilah movere, menggerakan penikmat seni ke arah kegiatan yang bertanggungjawab. Selain itu seni juga harus menggabungkan sifat utile dan dulce; bermanfaat dan manis. Dari sinilah letak awal keterkaitan antara seni (termasuk puisi) dan dunia pendidikan.
Puisi hadir dalam institusi sekolah terintegrasi dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Artinya, guru Bahasa dan Sastra Indonesia tidak sekadar mengajarkan puisi. Ia juga harus mengajarkan bahasa. Dengan demikian, porsi pembelajaran puisi memang sangat kecil. Apa lagi puisi harus dicacah dengan aliran sastra lain seperti prosa fiksi dan drama.
Hal ini diperparah dengan fenomena sang guru yang kadang enggan untuk menjelajahi dan mengakses puisi-puisi yang berkembang cukup cepat, sehingga yang diajarkan oleh guru kembali pada puisi-puisi Chairil Anwar, Amir Hamzah atau Taufiq Ismail. Kecenderungan ini mengakibatkan tidak teraksesnya puisi-puisi dari para penyair kekinian. Sebetulnya konsep majalah Horison—sebagai sebuah contoh-- dengan mendatangkan para sastrawan ke sekolah-sekolah sudah cukup baik. Setidaknya kejadian tersebut sedikit banyak mengubah paradigma siswa (sekaligus guru) yang hanya mengenal sastrawan berdasarkan teks yang dikenalkan guru di sekolah. Namun dengan pendanaan yang terbatas dan kemampuan pihak Horison yang juga berbatas, mengakibatkan project semacam ini terpaksa terhenti.
Ataukah keengganaan guru untuk mencari puisi-puisi terbebani dengan persoalan kurikulum dengan segala macam standar kompetensi yang harus dikejarnya? Berikut adalah standar kompetensi (KTSP) dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
1. Sebagai sarana peningkatan persatuan dan kesatuan bangsa
2. Sebagai sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan dalam rangka pelestarian dan pengembangan budaya
3. Sebagai sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan untuk meraih dan mengambangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
4. Sebagai sarana penyebarluasan pemakaian bahasa Indonesia yang baik untuk berbagai keperluan
5. Sebagai sarana pengembangan penalaran; dan
6. Sebagai sarana keberanekaragaman budaya Indonesia melalui khasanah sastra Indonesia.
Jika kita membaca standar kompetensi di atas, beban kerja guru Bahasa dan Sastra Indonesia memang sangat berat. Selain harus menjelaskan perihal ilmu tentang bahasa dan sastra; mereka juga dibebani dengan berbagai peningkatan-peningkatan yang muluk dan terkesan hanya berhenti di ranah slogan semata. Selain itu, tuntutan guru Bahasa dan Sastra Indonesia jauh lebih berat karena ada urusan dengan Ujian Nasional yang sering menjadi hantu pendidikan. Fakta inilah yang kemudian berimplikasi pada proses pembelajaran yang hanya mengejar wilayah kognitif. Banyak guru yang terjebak dengan urusan “yang penting lulus” sehingga melupakan sisi psikomotorik; wiayah-wilayah yang jauh lebih ekspresif dan estetik.
Namun lain halnya jika kita melihat dalam kacamata siswa. Dibandingkan dengan mata pelajaran lain di sekolah, pelajaran sastra memiliki potensi untuk lebih digandrungi dibandingkan dengan mata pelajaran lain karena sastra (puisi) secara konsep tidak hanya berhenti pada ilmu pengetahuan (science) tapi juga seni (art). Hal ini yang tak boleh dilupakan oleh guru dalam proses pembelajarannya. Atas dasar ini maka tugas guru bukan hanya selesai pada urusan mentransfer
ilmu-ilmu sastra baik teori maupun sejarah kesusastraan; tapi ia juga pengajar seni.
Pernyataan ini diperkuat oleh Anwar (2011: 121) yang menyatakan bahwa meskipun kurikulum berganti-ganti, secara teoretis tujuan pembelajaran sastra pada dasarnya meliputi dua hal pokok: pengetahuan sastra dan pengalaman bersastra. Tujuan pertama mengacu pada perolehan wawasan mengenai segi-segi pengetahuan (sejarah dan unsur-unsur sastra misalnya) dan tujuan kedua mengacu pada pemerolehan pengalaman langsung bersastra (membaca, menulis, menggelarkan karya sastra misalnya). Problematika yang dihadapi guru dalam pembelajaran di sekolah lebih merujuk pada hal pokok kedua karena kurangnya kreatifitas guru. Berbeda dengan pokok pertama yang lebih menekankan pada wilayah keilmuan, pokok kedua sangat bergantung pada kemampuan guru untuk merangsang siswa dengan membuat media alternatif pembelajaran puisi sehingga dengan cara semacam ini, pembelajaran puisi tidak membosankan.
Puisi Multimedia
Menelisik perkembangan puisi dari zaman ke zaman, kita akan menemukan pelbagai mozaik yang menjadi penanda zaman. Mulai dari bentuk puisi hingga estetika dan daya ungkap bisa kita telusuri. Perubahan-perubahan tersebut bisa terjadi karena perkembangan sosial-politik, kontak kebudayaan bahkan ada kaitannya dengan teknologi.
Pada awal tahun 2000, ketika para sastrawan memanfaatkan teknologi internet dan dibukanya situs www.cybersastra.net muncullah beragam kontak dialogis yang cukup meriah. Perdebatan begitu sengit terjadi. Istilah-sitilah seperti “sastra sampah” atau “sastra alternatif” menjadi dikenal publik sastra. Di antara perdebatan yang mengemuka itu, ada satu hal yang menurut saya menjadi semacam keywords yaitu akses. Ketika keran akses dibuka, sekarang ini kita begitu mudah untuk melacak puisi-puisi di dunia maya. Perkembangan puisi tidak lagi terfokus pada perayaan rubrik sastra seminggu sekali di media massa. Kini puisi bisa dirayakan oleh siapapun dengan kemungkinan estetika sebebas apapun. Dalam hal ini, media memiliki peranan penting dalam menyebarluaskan puisi.
Sekaitan dengan hal tersebut, maka puisi sebagai salah satu jenis aliran seni sudah sewajarnya “berdialog” dengan jenis seni lainnya seperti musik, teater atau film. Puisi tidak saja bisa dinikmati dengan gaya ortodoks seperti membaca teks, tetapi bisa juga diapresiasi dengan audio-visual. Atas “negosiasi” antara puisi dengan aliran seni lain, maka istilah-istilah pun berkembang seperti musikalisasi puisi, dramatisasi puisi, filmisasi puisi, puisi multimedia dan seterusnya. Esensi dari “negosiasi” tersebut sebetulnya ingin menciptakan ruang saji yang berbeda dari biasanya. Proses memadukan ini tidak terlepas dari kesadaran penyair agar bisa meraup apresiator sebanyak mungkin dan yang paling penting adalah menumbuhkan ruang alternatif dalam mengekspresikan karya-karyanya.
Belajar dari Puisi Multimedia Asrizal Nur
Pada perhelatan pertemuan-pertemuan penyair yang di dalamnya sering menggelar acara apresiasi berupa pembacaan karya dari para penyair; setidaknya ada tiga jenis penyair yang merespons. Pertama, penyair yang “rindu panggung.” Ia akan sangat siap jika diminta untuk membacakan puisi. Selain ia sudah terbiasa, ia piawai melakukan aksi yang demonstratif. Kedua, ia tak memiliki kemampuan membaca puisi yang baik. Dengan penuh keterpaksaan, ia lantas memaksakan diri. Ketiga, adalah penyair yang memang tak bisa membaca puisi dengan baik dan ia memilih membaca biasa saja.
Konsep pembacaan di panggung tentu berbeda dengan pembacaan biasa yang tidak ditonton oleh khalayak. Ketidaksiapan penyair (apalagi yang tidak memiliki background pemanggungan) akan terlihat seadanya sehingga tak menemukan kesan. Ketika puisi dibacakan, seperti yang diungkapkan oleh Toto ST Radik, sebetulnya puisi menjadi tunduk pada hukum-hukum panggung. Tempat pemanggungan, musik, lighting bahkan bisa jadi urusan durasi memiliki posisi yang juga penting bersanding dengan puisi sebagai teks yang menjiwai pementasan.
Asrizal Nur adalah salah satu penyair yang bisa dengan piawai mengkomunikasikan puisi yang berupa teks untuk dipanggungkan. Tak semua penyair bisa memadukannya. Berbekal keapikan memilih tema dalam puisi-puisinya, ditambah dengan predikatnya sebagai deklamator yang sering memenangkan lomba-lomba pembacaan puisi bergengsi di Tanah Air, Asrizal Nur kerap kali menghipnotis para penonton dengan konsep Puisi Multimedia.
Konser Puisi Multimedia yang dikenalkan oleh Asrizal Nur pada tahun 2009 di Taman Ismail Marzuki menyedot perhatian publik dengan ditonton tak kurang oleh 800 orang. Konser tersebut dibantu oleh Dindon Ws (penata laku), Yasier Arafat (live music), Dika dan Adi (penata musik program), Eeng Koti (penata tari), Dody (penata video), M. Aidil Usman (penata cahaya), dan Joko Mulyadi (penata panggung). Kini konser puisi multimedia tersebut bisa didapatkan oleh apresiator melalui DVD.
Puisi multimedia yang dimaksud disini adalah sejumlah perangkat teknologi yang menjadi pendukung pembacaan puisi. Perangkat teknologi tersebut diramu; mulai dari musik hingga klip (animasi) dan dikompres dalam bentuk CD. Asrizal Nur harus menyesuaikan antara pembacaan puisi dengan video klip yang diputar dan diperbesar di layar lebar sehingga bisa ditonton secara luas. Proses semacam ini jelas membutuhkan latihan yang sangat intens. Pembaca puisi harus belajar dalam hitungan detik untuk menyesuaikan dengan irama dan ruh dari puisi itu sendiri. Sebagai ilustrasi, kita bisa belajar dari puisi multimedia berjudul “Kuda” yang berdurasi 1 menit 50 detik. Secara visual, klip “Kuda” hanya memerlihatkan sekumpulan kuda yang sedang berlari kencang yang dibantu dengan audio berupa suara derapan kuda yang terus menerus menghentak mengikuti pembacaan puisi yang dilakukan oleh penyairnya. Keberhasilan dari sesi ini adalah terjalinnya suasana antara media pendukung dan pembacaannya.
Saya membayangkan jika proses puisi multimedia yang diciptakan oleh Asrizal Nur bisa diadaptasi dan dikembangkan dalam proses pembelajaran apresiasi puisi di sekolah-sekolah. Secara kuantitas, siswa di kelas cukup banyak dan ini adalah modal utama dalam berkolaborasi. Tinggal proses pembuatan puisi multimedia lebih disederhanakan dan disesuaikan dengan kemampuan sekolah dengan memanfaatkan perangkat yang ada. klip bisa dibuat berdasarkan foto-foto yang diambil melalui perangkat handphone misalnya lalu ditayangkan melalui infokus yang disesuaikan dengan kebutuhan puisi yang telah dipilih oleh siswa. Untuk audio, siswa bisa merekam dari hasil ciptaan sendiri atau memanfaatkan ilustrasi musik instrumental. Yang paling penting dari semua itu adalah proses berkolaborasi sehingga tercipta suasana kolektif yang menyenangkan.
*) Kertas kerja ini disampikan pada perhelatan Pertemuan Penyair Nusantara VI di Jambi 30 Desember 2012
Catatan :Esei ini mengekalkan bahasa asal pengarang
sumber : Firman Venayaksa
Asrizal Nur Dan Puisi Multimedia
October 7, 2013
Jakarta, Mediamegapolitan.com – Lahir di Pekanbaru, Riau, 16 Nopember 1969, dan sejak tahun 1995 hijrah ke Jakarta dan sekarang menetap di Jalan Cahaya Titis Kavling UI Timur Blok D No. 4 Tanah Baru Depok. Di puisi bermula sebagai Deklamator, Juara Provinsi Riau ( 1990), Juara se Sumatra (1993) Juara Nasional Piala HB Jassin (1996).
Tahun 2009 ia mementaskan puisi-puisinya dengan Spektakuler dan kolosal, di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Mazuki Jakarta, Kolaborasi pembacaan puisi dengan multimedia : Tari, Teater, Musik, audiovisual, dengan nama Konser puisi Multimedia Asrisal Nur.
Menara, pertunjukan puisi perdana di Teater Arena Pekanbaru (1990), Kuda, di Teater Arena Pekanbaru (1992), Menjalin Waktu, di Taman Budaya Riau (1993), 24 April 2005 menggelar pertunjukan puisi di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), 26 September 2005 di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki Jakarta dipenuhi sesak penonton, Pembacaan Sajak Melayu Asia Tenggara di Kepri (2006), Baca Sajak Jalan Bersama di TIM (2006), Baca Sajak Panggung Apresiasi Sutardji Calzcoum Bachri di TIM ( 2007), Baca Sajak Panggung Apresiasi Temu Sastrwan se Indonesia di Jambi (2008), Baca Sajak 100 Tahun kebangkitan Nasional di Wapres-Bulungan Jakarta (2008), Baca Sajak Internasional di JILFEST, Jakarta (2008) Membaca Puisi Poritugal, Indonesia, Malaysia di Universitas Indonesia (2009). Baca puisi Radio Televisi Brunei Darussalam pada Pertemuan Penyair Nusantara IV(2010) . Membacakan puisi dan pemutaran Video Konser Puisi Multimedia Asrizal Nur di Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei (2010), Sebagai pembimbing/pengajar Bengkel Pelestarian Budaya Melayu di Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei (2010).
Konseptor, Sutradara Teatrikal Puisi Islam Multimedia di Radio Televisi Brunei (2010). Baca Puisi pada Malam puncak Temu Sastrawan Indonesia III di Tanjungpinang (2010). Pencipta nama dan bersama Tusiran Suseno Menggagas Tarung Penyair Panggung se Asia Tenggara 2011, Baca Puisi di Panggung Puisi Multimedia Pertemuan Penyair Nusantara di Palembang 2011, Pembacaan Puisi Kebangsaan di Gedung Nusantara MPR RI (2011), Pembacaan Puisi Internasional di Jakarta Internasional Literary Festival-JILFEST (2011), Baca Puisi di Hankuk University dan Kota Hansan Korea Selatan (1-3 Juni 20012), Baca Puisi Malam Puncak Dialok Teluk Brunei di UBD (11 Juli 2012), Baca Puisi di Sekolah Internasional Yayasan Hasanal Bolkiah Brunei Darussalam (18 Juli 2012), aktif juga baca puisi pada bengkel sastra di berbabagai daerah di Indonesia bersama Badan Bahasa, di hadapan ribuan buruh di Gor Bandung (2012).
Puisinya pernah dimuat di berbagai media nasional dan daerah. Bukunya telah terbit : Dalam Kotak Debu (kumpulan puisi untuk buruh, 1998), Perlawanan Orang Kotak Debu (Kumpulan puisi, 2005), Percakapan Pohon dan Penebang (YPM, 2009), dan termuat dalam beberapa antologi puisi antara lain : Kumpulan Sastra Sagang (1996), Kolaborasi Nusantara (Antologi puisi bersama, 2006), Antologi Puisi Nusantara (2006), Rampai Melayu Asia Tenggara (2006), 100 tahun Kebangkitan Nasional (2008), Gong Bolong (2008), Kumpulan puisi Portugal, Malaysia dan Indonesia (2008), Kumpulan Puisi Musi, Pertemuan Penyair Nusanta V (2011), Kumpulan Puisi dan Cerpen Internasional Jilfest (2011) dan Puisi-puisinya pernah di bicarakan di Univeritas Indonesia (2010) dan Dibahas oleh Kritikus Sastra Maman S Mahayana dalam beberapa tulisan.
Disamping menulis dan membaca puisi, kini mengorganisasi budaya di Yayasan Panggung Melayu. Kegiatan budaya yang paling fenomenal melaksanakan Pekan Presiden Penyair Internasional 2007, Festival Penyanyi Zapin se Indonesia 2008, Festival Pantun se Asia Tenggara (2008), menciptakan naskah dan menyutradarai Opera Pantun di Taman Ismail Marzuki (2008). Konser Puisi Multimedia Asrizal Nur (TIM. 2009) dan Mengasuh teater Semenanjun telah menyutradarai beberapa pementasan naskah Temul Amsal diantaranya : Keris Menjadi Saksi di Gedung Kesenian Miss Tjijih Jakarta, di Gedung Sapta Pesona Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI dan di Radio Televisi Brunei Darussalam (2010), Batang Tuaka di Taman Mini Indonesia Indah( 2011) dan Lancang Kuning di Taman Budaya Yogyakarta dan Di Gubernuran Riau (2012)
Atas dedikasinya terhadap Budaya Melayu mendapat Anugerah Sagang pada kategori Seniman serantau. (AWI)
Sumber : media megapolitan
Biodata Asrizal Nur
Dengan menunggang Kuda (judul puisi Asrizal Nur), dia bertolak ke Jakarta pada tahun 1995 meninggalkan Pekanbaru, Riau. Sebuah asa merecup-recup di hatinya. Sebab, bekal ilmu seni budaya melayu yang ditimba sejak tahun 1990, hendak dipahat di ibu kota.
Sesampai di Jakarta, dia tak ke lain hati. Dalam berbagai kegiatan budaya yang diikuti dan digelar dibungkusnya dengan kemelayuannya hingga akhirnya pada tahun 2000 Asrizal Nur mewakili Indonesia acara budaya tingkat Asia Tenggara (ILO) di Swiss. Tak berhenti di situ, di tahun yang sama ia menampilkan seniman Riau secara kolektif di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Tapak berikut pada tahun 2000 juga, Asrizal kembali merasuk pikiran Jakarta dengan budaya Melayu dengan Gong Melayu I se-Asia Tenggara.
Tak puas dengan kegiatan tersebut, Asrizal Nur kembali membawa wajah melayu Riau ke Jakarta dengan menggelar Festival Kesenian Riau TIM pada tahun 2002. Tahun 2004, Asrizal Nur membawa tim kesenian Bengkalis untuk tampil keliling Eropa. Di tahun berikutnya, menampilkan pembacaan puisi tunggal Rida K. Liamsi di TIM. Ditahun 2006, ia menggelar Festival Sastra Negeri Kata-kata dan menyelengara jalan bersama penyair dengan bupati dan wali kota melayu se-Indonesia.
Tahun 2007, Asrizal Nur menggelar pekan Presiden Penyair, Sutardji Calzoum Bachri. Dari berbagai kegiatan tersebut, Asrizal Nur dinobatkan sebagai penerima Anugerah Sagang kategori seniman/budayawan serantau. Baginya, Anugerah Sagang ini sangat berarti pada dirinya meskipun dia sebagai seniman tidak berharap anugerah kecuali berkarya dan kreatifitas. “Saya sangat berterima kasih kepada panitia, ternyata saya ada. Apa yang saya perbuat terhadap budaya melayu, ternyata ada yang memperhatikannya. Jelas, anugerah ini semakin memicu saya untuk berbuat lebih banyak lagi,” katanya.
Dalam pandangan Asrizal Nur, Anugerah Sagang adalah sebuah apresiasi seni budaya yang luar biasa dan mendapat respon terhadap orang-orang kreatif yang berjuang pada budaya. Hanya saja, anugerah ini perlu dikumandangkan hingga tingkat internasional. Sebab masih banyak seniman di luar Riau yang belum tahu anugerah ini. Padahal salah satu katagorinya ada untuk seniman serantau.
Sumber : taman ismail marzuki
Bukan mudah untuk memberi yakin bahawa sastera adalah hiburan dan pendidikan. Ada yang tertinggal dalam jejak hibur yang tak tiba pada pulau iktibar dan teladan. Ada pula yang hadir sebagai ilmu yang masih menyamai metodologi pengajaran sains atau sejarah.
Demikian sastera menerima asuhannya. Alam pendidikan terutama bangku bilik darjah sering kali menemui sastera sebagai ilmu yang mengutamakan kefahaman dan kemampuan pelajar mencatat esei tentang watak, latar, pengajaran dan segala yang berbentuk nota dan tamsilan. Tidak bergerak dari alam sastera yang memiliki seni, apresiasi, bentuk dan genre yang perlu ditangani dengan pendekatan dan metodologi yang berbeza.
Sastera juga menemui momen buntu dalam mengarah haluan ke dalam dunia khayalak. Baca puisi yang berbentuk konvensi semakin tidak dipeduli kerana kegagalan melahirkan pembaharuan dan keunikan dalam era zaman baru sebuah produksi seni. Untuk bergerak jauh ke hadapan terutama dalam merangkulkan bersama keistimewaan dunia baru komunikasi berbantukan komputer memerlukan tenaga kerja yang mahir, akrab dan memahami bingkai dan warna sastera itu sendiri.
Saya tertarik pada tugasan terbaru yang disediakan oleh Majlis Peperiksaan Malaysia untuk mata pelajaran Kesusasteraan Melayu Komunikatif 2014. Tugasan itu sebagai berikut :
3 Hasilkan satu persembahan multimedia berdasarkan sajak “Pahlawan Ialah Dia” karya Abdul
Ghafar Ibrahim dalam Permata Sastera Melayu, Penyelenggara Majlis Peperiksaan Malaysia, (2012), Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur.
Arahan
(a) Hasil kerja tersebut hendaklah mengandungi elemen multimedia, iaitu grafik, animasi, teks,
dan audio visual.
(b) Tempoh persembahan multimedia adalah antara tiga hingga lima minit.
(c) Hasil persembahan multimedia hendaklah dihantar dalam cakera padat (CD). Nyatakan
spesifikasi yang anda gunakan dalam menghasilkan tugasan tersebut. Contohnya: PowerPoint
Windows 2007, Mikromedia Flash Mx, dan sebagainya.
(d) Calon perlu menyediakan laporan bertulis tentang projek multimedia yang dihasilkan.
Laporan tersebut mengandungi perkara yang berikut:
(i) Sinopsis projek
(ii) Papan Cerita (storyboard)
Sebuah puisi Pahlawan Adalah Dia tulisan Abdul Ghafar Ibrahium dipersembahkan dalam bentuk multimedia . Jangka masa multimedia yang perlu dihasilkan antara tiga hingga lima minit. Ia dapat dihasilkan dalam bentuk powerpoint, flash dan sebagainya.
Sudah pastinya untuk menghasilkan sebuah produksi puisi multimedia sedemikian bukan suatu kerja mudah dan memerlukan kemahiran. Pelajar perlu memahami teknik animasi, grafik, muzik, dan sebagainya. Ia memerlukan masa bagi pelajar mengemas diri dengan kemahiran berkaitan untuk menghasilkan sebuah animasi atau persembahan multimedia yang berkesan.
Cabaran kedua adalah dunia multimedia dan puisi di negara kita begitu asing. Kurang sekali bahan yang dapat dijadikan rujukan dan garis panduan untuk pelajar membuka kreativiti mereka. Seingat saya tidak ada persembahan puisi multimedia begini. Tanpa sumber rujukan yang kukuh ia menyulitkan pelajar untuk menyempurnkan tugasan.
Tapi sebagai pelajar jangan putus asa dan hampa. Jadikan segala ini sebagai titik mula yang cukup bermakna dalam pembaharuan seni persembahan puisi di negara ini. Ketika tandusnya alam multimedia dan puisi inilah masa terbaik untuk anak muda menghasilkan sebuah produksi yang nantinya dapat dikembanagkan ke alam khalayak.
Tiba masanya dunia sastera bertukar rentak dan warna selari dengan pembaharuan zaman baru yang meletakkan komputer sebagai dasar pembaharuan itu. Tiba masanya persembahan puisi disampaikan dengan mood yang lebih signifikan, berdaya maju, dan menarik audien.
Belajarlah dengan penuh ketekunan dan keyakinan bahawa segala ilmu yang ditemui di bangku bilik darjah bermanfaat untuk hari muka. Anggap saja cabaran ini sebagai suatu anjakan dan tranformasi yang harus dipikul dengan berani.
Dalam mencari sumber rujuk puisi multimedia ini saya tertemukn dengan sebuah produksi Asrizal Nur dari Indonesia. Persembahan yang berani dan kreatif. Semoga ia dapat membantu membuka kreativiti pelajar yang ingin menjadikan puisi multimedia sebagai bahan kerja kursus mereka.
Di bawah ini dikemukakan beberapa catatan sebagai renungan tentang alam sastera dan multimedia untuk membuka pengalaman kita terhadap perkara berkaitan.
Marilah memulakan membingkai warna sastera dengan multimedia.
Puisi Multimedia dan Apresiasi Puisi*
Oleh Firman Venayaksa
Sebelum menjelaskan perihal pembelajaran sastra kita di sekolah, saya kembali teringat pada sebuah film “Dead Poets Society” yang dirilis pada tahun 1989. Film ini menceritakan tentang seorang guru sastra (diperankan oleh Robin Williams) yang cukup progresif, atarktif dan unik. Cara mengajarnya yang melawan hegemoni konvensional itu membekas di mata para siswanya. Melalui puisi, para siswa itu diajarkan untuk mencicipi kebebasan melalui puisi setelah sekian lama terkerangkeng oleh prinsip-prinsip akademik yang kaku. Namun tak demikian dengan lembaga sekolah yang mengusung prinsip ortodoks. Cara mengajarnya “yang aneh” membuat sang guru itu terpaksa harus angkat kaki dari sekolah.
Film ini mengingatkan kembali pada realitas pembelajaran sastra di sekolah-sekolah kita hari ini. Seorang guru tidak boleh “nyeni.” Ia harus berpakaian kemeja dan kain katun, mengajarkan tata krama, dan berjarak dengan para siswa agar timbul penghormatan. Kebekuan karakter ini yang kemudian menjalar pada tata cara mengajarkan puisi di sekolah. Puisi tak ubahnya ilmu pasti, yang harus jelas dan terukur, mampu untuk memberikan pencerahan layaknya kitab suci. Hal ini jelas bertentangan dengan puisi sebagai bagian dari ranah kesenian dan sangat interpretatif. Puisi tidaklah kaku dan terus berubah seiring perubahan zaman dan guru sebagai ujung tombak pembelajaran sastra di sekolah, idealnya mengikuti sesuai dengan ilmu yang dianutnya. Film “Dead Poets Society” juga mengajarkan kepada kita bahwa tak selamanya puisi sebagai salah satu jenis sastra bisa diterima oleh khalayak.
Puisi dan Institusi Sekolah
Horatius, seorang filosof pada zaman masa lampau dan sering dikutip oleh para seniman hingga masa kini, menegaskan bahwa seniman bertugas untuk decore dan delectare, memberikan ajaran dan kenikmatan. Dua kategori ini menjadi bagian yang sangat penting untuk memulai tema ini. Jika kita sepakat dengan pendapat Horatius, maka sudah sewajarnya nilai ajar (pendidikan) dan kenikmatan (hiburan) menjadi dua hal yang seyogyanya terus beriringan. Bahkan Horatius menambahkan dengan istilah movere, menggerakan penikmat seni ke arah kegiatan yang bertanggungjawab. Selain itu seni juga harus menggabungkan sifat utile dan dulce; bermanfaat dan manis. Dari sinilah letak awal keterkaitan antara seni (termasuk puisi) dan dunia pendidikan.
Puisi hadir dalam institusi sekolah terintegrasi dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Artinya, guru Bahasa dan Sastra Indonesia tidak sekadar mengajarkan puisi. Ia juga harus mengajarkan bahasa. Dengan demikian, porsi pembelajaran puisi memang sangat kecil. Apa lagi puisi harus dicacah dengan aliran sastra lain seperti prosa fiksi dan drama.
Hal ini diperparah dengan fenomena sang guru yang kadang enggan untuk menjelajahi dan mengakses puisi-puisi yang berkembang cukup cepat, sehingga yang diajarkan oleh guru kembali pada puisi-puisi Chairil Anwar, Amir Hamzah atau Taufiq Ismail. Kecenderungan ini mengakibatkan tidak teraksesnya puisi-puisi dari para penyair kekinian. Sebetulnya konsep majalah Horison—sebagai sebuah contoh-- dengan mendatangkan para sastrawan ke sekolah-sekolah sudah cukup baik. Setidaknya kejadian tersebut sedikit banyak mengubah paradigma siswa (sekaligus guru) yang hanya mengenal sastrawan berdasarkan teks yang dikenalkan guru di sekolah. Namun dengan pendanaan yang terbatas dan kemampuan pihak Horison yang juga berbatas, mengakibatkan project semacam ini terpaksa terhenti.
Ataukah keengganaan guru untuk mencari puisi-puisi terbebani dengan persoalan kurikulum dengan segala macam standar kompetensi yang harus dikejarnya? Berikut adalah standar kompetensi (KTSP) dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
1. Sebagai sarana peningkatan persatuan dan kesatuan bangsa
2. Sebagai sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan dalam rangka pelestarian dan pengembangan budaya
3. Sebagai sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan untuk meraih dan mengambangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
4. Sebagai sarana penyebarluasan pemakaian bahasa Indonesia yang baik untuk berbagai keperluan
5. Sebagai sarana pengembangan penalaran; dan
6. Sebagai sarana keberanekaragaman budaya Indonesia melalui khasanah sastra Indonesia.
Jika kita membaca standar kompetensi di atas, beban kerja guru Bahasa dan Sastra Indonesia memang sangat berat. Selain harus menjelaskan perihal ilmu tentang bahasa dan sastra; mereka juga dibebani dengan berbagai peningkatan-peningkatan yang muluk dan terkesan hanya berhenti di ranah slogan semata. Selain itu, tuntutan guru Bahasa dan Sastra Indonesia jauh lebih berat karena ada urusan dengan Ujian Nasional yang sering menjadi hantu pendidikan. Fakta inilah yang kemudian berimplikasi pada proses pembelajaran yang hanya mengejar wilayah kognitif. Banyak guru yang terjebak dengan urusan “yang penting lulus” sehingga melupakan sisi psikomotorik; wiayah-wilayah yang jauh lebih ekspresif dan estetik.
Namun lain halnya jika kita melihat dalam kacamata siswa. Dibandingkan dengan mata pelajaran lain di sekolah, pelajaran sastra memiliki potensi untuk lebih digandrungi dibandingkan dengan mata pelajaran lain karena sastra (puisi) secara konsep tidak hanya berhenti pada ilmu pengetahuan (science) tapi juga seni (art). Hal ini yang tak boleh dilupakan oleh guru dalam proses pembelajarannya. Atas dasar ini maka tugas guru bukan hanya selesai pada urusan mentransfer
ilmu-ilmu sastra baik teori maupun sejarah kesusastraan; tapi ia juga pengajar seni.
Pernyataan ini diperkuat oleh Anwar (2011: 121) yang menyatakan bahwa meskipun kurikulum berganti-ganti, secara teoretis tujuan pembelajaran sastra pada dasarnya meliputi dua hal pokok: pengetahuan sastra dan pengalaman bersastra. Tujuan pertama mengacu pada perolehan wawasan mengenai segi-segi pengetahuan (sejarah dan unsur-unsur sastra misalnya) dan tujuan kedua mengacu pada pemerolehan pengalaman langsung bersastra (membaca, menulis, menggelarkan karya sastra misalnya). Problematika yang dihadapi guru dalam pembelajaran di sekolah lebih merujuk pada hal pokok kedua karena kurangnya kreatifitas guru. Berbeda dengan pokok pertama yang lebih menekankan pada wilayah keilmuan, pokok kedua sangat bergantung pada kemampuan guru untuk merangsang siswa dengan membuat media alternatif pembelajaran puisi sehingga dengan cara semacam ini, pembelajaran puisi tidak membosankan.
Puisi Multimedia
Menelisik perkembangan puisi dari zaman ke zaman, kita akan menemukan pelbagai mozaik yang menjadi penanda zaman. Mulai dari bentuk puisi hingga estetika dan daya ungkap bisa kita telusuri. Perubahan-perubahan tersebut bisa terjadi karena perkembangan sosial-politik, kontak kebudayaan bahkan ada kaitannya dengan teknologi.
Pada awal tahun 2000, ketika para sastrawan memanfaatkan teknologi internet dan dibukanya situs www.cybersastra.net muncullah beragam kontak dialogis yang cukup meriah. Perdebatan begitu sengit terjadi. Istilah-sitilah seperti “sastra sampah” atau “sastra alternatif” menjadi dikenal publik sastra. Di antara perdebatan yang mengemuka itu, ada satu hal yang menurut saya menjadi semacam keywords yaitu akses. Ketika keran akses dibuka, sekarang ini kita begitu mudah untuk melacak puisi-puisi di dunia maya. Perkembangan puisi tidak lagi terfokus pada perayaan rubrik sastra seminggu sekali di media massa. Kini puisi bisa dirayakan oleh siapapun dengan kemungkinan estetika sebebas apapun. Dalam hal ini, media memiliki peranan penting dalam menyebarluaskan puisi.
Sekaitan dengan hal tersebut, maka puisi sebagai salah satu jenis aliran seni sudah sewajarnya “berdialog” dengan jenis seni lainnya seperti musik, teater atau film. Puisi tidak saja bisa dinikmati dengan gaya ortodoks seperti membaca teks, tetapi bisa juga diapresiasi dengan audio-visual. Atas “negosiasi” antara puisi dengan aliran seni lain, maka istilah-istilah pun berkembang seperti musikalisasi puisi, dramatisasi puisi, filmisasi puisi, puisi multimedia dan seterusnya. Esensi dari “negosiasi” tersebut sebetulnya ingin menciptakan ruang saji yang berbeda dari biasanya. Proses memadukan ini tidak terlepas dari kesadaran penyair agar bisa meraup apresiator sebanyak mungkin dan yang paling penting adalah menumbuhkan ruang alternatif dalam mengekspresikan karya-karyanya.
Belajar dari Puisi Multimedia Asrizal Nur
Pada perhelatan pertemuan-pertemuan penyair yang di dalamnya sering menggelar acara apresiasi berupa pembacaan karya dari para penyair; setidaknya ada tiga jenis penyair yang merespons. Pertama, penyair yang “rindu panggung.” Ia akan sangat siap jika diminta untuk membacakan puisi. Selain ia sudah terbiasa, ia piawai melakukan aksi yang demonstratif. Kedua, ia tak memiliki kemampuan membaca puisi yang baik. Dengan penuh keterpaksaan, ia lantas memaksakan diri. Ketiga, adalah penyair yang memang tak bisa membaca puisi dengan baik dan ia memilih membaca biasa saja.
Konsep pembacaan di panggung tentu berbeda dengan pembacaan biasa yang tidak ditonton oleh khalayak. Ketidaksiapan penyair (apalagi yang tidak memiliki background pemanggungan) akan terlihat seadanya sehingga tak menemukan kesan. Ketika puisi dibacakan, seperti yang diungkapkan oleh Toto ST Radik, sebetulnya puisi menjadi tunduk pada hukum-hukum panggung. Tempat pemanggungan, musik, lighting bahkan bisa jadi urusan durasi memiliki posisi yang juga penting bersanding dengan puisi sebagai teks yang menjiwai pementasan.
Asrizal Nur adalah salah satu penyair yang bisa dengan piawai mengkomunikasikan puisi yang berupa teks untuk dipanggungkan. Tak semua penyair bisa memadukannya. Berbekal keapikan memilih tema dalam puisi-puisinya, ditambah dengan predikatnya sebagai deklamator yang sering memenangkan lomba-lomba pembacaan puisi bergengsi di Tanah Air, Asrizal Nur kerap kali menghipnotis para penonton dengan konsep Puisi Multimedia.
Konser Puisi Multimedia yang dikenalkan oleh Asrizal Nur pada tahun 2009 di Taman Ismail Marzuki menyedot perhatian publik dengan ditonton tak kurang oleh 800 orang. Konser tersebut dibantu oleh Dindon Ws (penata laku), Yasier Arafat (live music), Dika dan Adi (penata musik program), Eeng Koti (penata tari), Dody (penata video), M. Aidil Usman (penata cahaya), dan Joko Mulyadi (penata panggung). Kini konser puisi multimedia tersebut bisa didapatkan oleh apresiator melalui DVD.
Puisi multimedia yang dimaksud disini adalah sejumlah perangkat teknologi yang menjadi pendukung pembacaan puisi. Perangkat teknologi tersebut diramu; mulai dari musik hingga klip (animasi) dan dikompres dalam bentuk CD. Asrizal Nur harus menyesuaikan antara pembacaan puisi dengan video klip yang diputar dan diperbesar di layar lebar sehingga bisa ditonton secara luas. Proses semacam ini jelas membutuhkan latihan yang sangat intens. Pembaca puisi harus belajar dalam hitungan detik untuk menyesuaikan dengan irama dan ruh dari puisi itu sendiri. Sebagai ilustrasi, kita bisa belajar dari puisi multimedia berjudul “Kuda” yang berdurasi 1 menit 50 detik. Secara visual, klip “Kuda” hanya memerlihatkan sekumpulan kuda yang sedang berlari kencang yang dibantu dengan audio berupa suara derapan kuda yang terus menerus menghentak mengikuti pembacaan puisi yang dilakukan oleh penyairnya. Keberhasilan dari sesi ini adalah terjalinnya suasana antara media pendukung dan pembacaannya.
Saya membayangkan jika proses puisi multimedia yang diciptakan oleh Asrizal Nur bisa diadaptasi dan dikembangkan dalam proses pembelajaran apresiasi puisi di sekolah-sekolah. Secara kuantitas, siswa di kelas cukup banyak dan ini adalah modal utama dalam berkolaborasi. Tinggal proses pembuatan puisi multimedia lebih disederhanakan dan disesuaikan dengan kemampuan sekolah dengan memanfaatkan perangkat yang ada. klip bisa dibuat berdasarkan foto-foto yang diambil melalui perangkat handphone misalnya lalu ditayangkan melalui infokus yang disesuaikan dengan kebutuhan puisi yang telah dipilih oleh siswa. Untuk audio, siswa bisa merekam dari hasil ciptaan sendiri atau memanfaatkan ilustrasi musik instrumental. Yang paling penting dari semua itu adalah proses berkolaborasi sehingga tercipta suasana kolektif yang menyenangkan.
*) Kertas kerja ini disampikan pada perhelatan Pertemuan Penyair Nusantara VI di Jambi 30 Desember 2012
Catatan :Esei ini mengekalkan bahasa asal pengarang
sumber : Firman Venayaksa
Asrizal Nur Dan Puisi Multimedia
October 7, 2013
Tahun 2009 ia mementaskan puisi-puisinya dengan Spektakuler dan kolosal, di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Mazuki Jakarta, Kolaborasi pembacaan puisi dengan multimedia : Tari, Teater, Musik, audiovisual, dengan nama Konser puisi Multimedia Asrisal Nur.
Konseptor, Sutradara Teatrikal Puisi Islam Multimedia di Radio Televisi Brunei (2010). Baca Puisi pada Malam puncak Temu Sastrawan Indonesia III di Tanjungpinang (2010). Pencipta nama dan bersama Tusiran Suseno Menggagas Tarung Penyair Panggung se Asia Tenggara 2011, Baca Puisi di Panggung Puisi Multimedia Pertemuan Penyair Nusantara di Palembang 2011, Pembacaan Puisi Kebangsaan di Gedung Nusantara MPR RI (2011), Pembacaan Puisi Internasional di Jakarta Internasional Literary Festival-JILFEST (2011), Baca Puisi di Hankuk University dan Kota Hansan Korea Selatan (1-3 Juni 20012), Baca Puisi Malam Puncak Dialok Teluk Brunei di UBD (11 Juli 2012), Baca Puisi di Sekolah Internasional Yayasan Hasanal Bolkiah Brunei Darussalam (18 Juli 2012), aktif juga baca puisi pada bengkel sastra di berbabagai daerah di Indonesia bersama Badan Bahasa, di hadapan ribuan buruh di Gor Bandung (2012).
Puisinya pernah dimuat di berbagai media nasional dan daerah. Bukunya telah terbit : Dalam Kotak Debu (kumpulan puisi untuk buruh, 1998), Perlawanan Orang Kotak Debu (Kumpulan puisi, 2005), Percakapan Pohon dan Penebang (YPM, 2009), dan termuat dalam beberapa antologi puisi antara lain : Kumpulan Sastra Sagang (1996), Kolaborasi Nusantara (Antologi puisi bersama, 2006), Antologi Puisi Nusantara (2006), Rampai Melayu Asia Tenggara (2006), 100 tahun Kebangkitan Nasional (2008), Gong Bolong (2008), Kumpulan puisi Portugal, Malaysia dan Indonesia (2008), Kumpulan Puisi Musi, Pertemuan Penyair Nusanta V (2011), Kumpulan Puisi dan Cerpen Internasional Jilfest (2011) dan Puisi-puisinya pernah di bicarakan di Univeritas Indonesia (2010) dan Dibahas oleh Kritikus Sastra Maman S Mahayana dalam beberapa tulisan.
Disamping menulis dan membaca puisi, kini mengorganisasi budaya di Yayasan Panggung Melayu. Kegiatan budaya yang paling fenomenal melaksanakan Pekan Presiden Penyair Internasional 2007, Festival Penyanyi Zapin se Indonesia 2008, Festival Pantun se Asia Tenggara (2008), menciptakan naskah dan menyutradarai Opera Pantun di Taman Ismail Marzuki (2008). Konser Puisi Multimedia Asrizal Nur (TIM. 2009) dan Mengasuh teater Semenanjun telah menyutradarai beberapa pementasan naskah Temul Amsal diantaranya : Keris Menjadi Saksi di Gedung Kesenian Miss Tjijih Jakarta, di Gedung Sapta Pesona Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI dan di Radio Televisi Brunei Darussalam (2010), Batang Tuaka di Taman Mini Indonesia Indah( 2011) dan Lancang Kuning di Taman Budaya Yogyakarta dan Di Gubernuran Riau (2012)
Atas dedikasinya terhadap Budaya Melayu mendapat Anugerah Sagang pada kategori Seniman serantau. (AWI)
Sumber : media megapolitan
Perckapan pohon dan penebang - Asrizal Nur
Rumah Kita - Asrizal Nur
Kuda- Asrizal Nur
Biodata Asrizal Nur
Dengan menunggang Kuda (judul puisi Asrizal Nur), dia bertolak ke Jakarta pada tahun 1995 meninggalkan Pekanbaru, Riau. Sebuah asa merecup-recup di hatinya. Sebab, bekal ilmu seni budaya melayu yang ditimba sejak tahun 1990, hendak dipahat di ibu kota.
Sesampai di Jakarta, dia tak ke lain hati. Dalam berbagai kegiatan budaya yang diikuti dan digelar dibungkusnya dengan kemelayuannya hingga akhirnya pada tahun 2000 Asrizal Nur mewakili Indonesia acara budaya tingkat Asia Tenggara (ILO) di Swiss. Tak berhenti di situ, di tahun yang sama ia menampilkan seniman Riau secara kolektif di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Tapak berikut pada tahun 2000 juga, Asrizal kembali merasuk pikiran Jakarta dengan budaya Melayu dengan Gong Melayu I se-Asia Tenggara.
Tak puas dengan kegiatan tersebut, Asrizal Nur kembali membawa wajah melayu Riau ke Jakarta dengan menggelar Festival Kesenian Riau TIM pada tahun 2002. Tahun 2004, Asrizal Nur membawa tim kesenian Bengkalis untuk tampil keliling Eropa. Di tahun berikutnya, menampilkan pembacaan puisi tunggal Rida K. Liamsi di TIM. Ditahun 2006, ia menggelar Festival Sastra Negeri Kata-kata dan menyelengara jalan bersama penyair dengan bupati dan wali kota melayu se-Indonesia.
Tahun 2007, Asrizal Nur menggelar pekan Presiden Penyair, Sutardji Calzoum Bachri. Dari berbagai kegiatan tersebut, Asrizal Nur dinobatkan sebagai penerima Anugerah Sagang kategori seniman/budayawan serantau. Baginya, Anugerah Sagang ini sangat berarti pada dirinya meskipun dia sebagai seniman tidak berharap anugerah kecuali berkarya dan kreatifitas. “Saya sangat berterima kasih kepada panitia, ternyata saya ada. Apa yang saya perbuat terhadap budaya melayu, ternyata ada yang memperhatikannya. Jelas, anugerah ini semakin memicu saya untuk berbuat lebih banyak lagi,” katanya.
Dalam pandangan Asrizal Nur, Anugerah Sagang adalah sebuah apresiasi seni budaya yang luar biasa dan mendapat respon terhadap orang-orang kreatif yang berjuang pada budaya. Hanya saja, anugerah ini perlu dikumandangkan hingga tingkat internasional. Sebab masih banyak seniman di luar Riau yang belum tahu anugerah ini. Padahal salah satu katagorinya ada untuk seniman serantau.
Sumber : taman ismail marzuki
sebuah persembahan puisi multimedia
Puisi WS Rendra - bersatulah pelacur kota jakarta
sebuah persembahan puisi multimedia lagu puisi
puisi Supardi Djoko Damono - Dalam doaku
Comments
Post a Comment