bunda tanah melayu



Pulau pandan jauh ke tengah
gunung daik bercabang tiga
hancur badan di kandung tanah
budi yang baik dikenang juga 



Lingga
Bunda Tanah Melayu

Pada Zaman dahulu asal usul sebuah kerajaan Melayu di Lingga yang berpusat di Kota Daik sebagai Negara Kesultanan Johor-Pahang-Riau-Lingga. Sultan Mahmud Syah II (1685 – 1699) adalah Sultan Johor-Riau-Lingga-Pahang atau kemaharajaan melayu yang ke-10. Ia adalah keturunan sultan-sultan Malaka, sultan ini tidak mempunyai keturunan, untuk penggantinya dicarilah dari keturunan Datuk Bendahara Paduka Raja Tun Abdul Jalil yang diberi gelar Sultan Mahmud Syah III. Pada masa ini sultan Mahmud Syah III masih sangat muda jadi yang menjalankan pemerintahan ialah yang dipertuan muda Daeng Kamboja yang dipertuan Muda III, jadi ialah yang paling berkuasa di kemaharajaan di Melayu Lingga. Yang menjadi Datok Bendahara pada saat itu adalah Tun Hasan, semasa ini pula hubungan pemerintahan dengan Belanda masih lancar. Sedangkan di Riau berdatangan pedagang-pedagang dari India. Sedangkan pedagang cina pada saat itu masih menetap di Kepulauan Nusantara dan pada saaat ini juga yang mendampingi yang dipertuan muda melaksanakan tugasnya untuk diwilayah Riau Engku Kelana Raja Haji.

Setelah yang dipertuan muda III Daeng Kamboja wafat tahun 1777 yang menggantikannya adalah Yang Dipertuan Muda IV Raja Haji. Raja Haji ini memerintah dari tahun 1777 – 1784. Sewaktu berada di bawah pemerintahannya pecah perang antara kemaharajaan melayu dengan kompeni Belanda di Melaka. Setelah Raja Haji wafat lahirlah sebuah perjanjian antara kemaharajaan melayu dengan pihak kompeni Belanda. Perjanjian ini dikenal TRACTAAT AL TOOSE DURENDE GETROO WE VRIENDE BOND GENO OT SCHAP yang ditandatangani tanggal 10 Nopember 1784.


Setelah di tinggalkan Raja Haji yang menjadi Di Pertuan Muda Riau, berikutnya adalah Raja Ali (Anak dari Daeng Kamboja). Masa jabatan dari tahun 1785-1806 ia sebagai yang dipertuan muda ke-V ia lebih banyak berada di luar wilayah kerajaan sebab kekuasaan pada saat itu lebih banyak berada di Belanda. Lama kelamaan ia mengadakan perlawanan dan akhirnya sejak tahun 1785 menetaplah ia di Suka Dana (Kalimantan). Tahun ini juga kompeni Belanda mengangkat Recident Belanda pertama di Tanjungpinang dengan nama DAVID RUNDE pada tanggal 17 Juni 1785.

Pada tahun 1787 Sultan Mahmud Syah III memindahkan pusat kerajaannya ke Daik Lingga, ini diakibtakan adanya tekanan dari Kompeni Belanda. Walaupun pusat kerajaan berada di Pulau Lingga, wilayah masih meliputi Johor-Pahang dimana daerah tersebut Sultan masih diwakili oleh Datuk Temenggung untuk bagian Johor dan Singapura sedangkan Datuk Bendahara untuk daerah Pahang. Untuk tahun 1795 terjadi perkembangan politik baru di negeri Belanda, dimana kompeni Belanda harus menyerahkan beberapa daerah yang didudukinya ke Inggris. Masa ini disebut juga sebagai masa INTEREGNUM Inggris di Riau.

Tahun 1802 yang dipertuan muda V berada dipengungsian kembali di Lingga pada masa intregnum Inggris ini berlangsung Raja Ali wafat 1795-1816 di pulau Bayan. Tahun 1806 diangkat pula Raja Jakfar menjabat kedudukan sebagai yang dipertuan Muda Riau pada tahun 1806-1813. Raja Jakfar membuat tempat pemerintahannya di kota Rentang di Pulau Penyengat. Pada tahun 1811 Sultan Mahmud III memerintahkan anaknya Tengku Husein (Tengku Long pergi ke Pahang dan menikah disana dengan puteri Tun Khoris atau adik bendahara yang bernama Tun Ali. Semasa Tun Husin (Tengku long ) berada dipahang ayahandanya Sultan Mahmut Syah wafat di Daik Lingga tanggal 12 Januari 1812.

Setelah Sultan Mahmut syah III meninggal dicarilah calon pengantinya. Akhirnya yang dilantik sebagai sultan pengganti yaitu Tengku Abdul Rahman yang disetujui oleh pembesar kerajaan dan dari pihak Belanda. Ini dikuatkan oleh peraturan kerajaan Lingga Riau yang berbunyi Sultan baru harus dilantik sebelum jenazah Sultan yang wafat di kebumikan.
Setelah Tengku Abdul Rahman dilantik tahun 1812 Sultan Abdul Rahman Syah menetap di Lingga. Mulailah Lingga masa itu bertambah ramai karena telah ada tambang timah disingkep. Sedangkan Raja Ja’far menetap di Penyengat ia telah menempatkan orang-orang kepercayaannya di Daik Lingga untuk mendampingi Sultan yaitu Engku Syaid Muhammad Zain Al Qudsi. Suliwatang Ibrahim, sahbandar Muhammad Encik Abdul Manan dan bagian pertahanan dan keamanan adalah Encik Kalok. Tengku Husin tinggal di Lingga, dia menetap di penyengat.

Pada tangal 19 Agustus 1818 Wiliam Farquhan Residen Inggris dari Malaka datang ke Daik untuk bertemu dengan Sultan Abdul Rahman Muazam Syah dan memberitahukan bahwa wilayah kerajaan Lingga Riau mungkin akan diambil Belanda. Sultan Abdul Rahman Muazam Syah menjawab berita yang disampaikan Fanquhan itu, bahwa dia tidak mempunyai wewenang untuk mengurus urusan kerajaan, hanya ia menganjurkan Fanquhan dapat menghubungi Raja Ja’far.

Sultan Mahmud Riayat Syah III pada zaman dia memegang tampuk pemerintahan, dia membangun istana Robat/istana kota baru dan dia juga membangun penjara/Gail. Sedangkan Almarhum Raja Muhammad Yusuf sangat alim dia ini adalah penganut Nak Sabandiah. Dia adalah yang dipertuan muda ke X yang dilantik tahun 1859 oleh Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah III. Pada zaman ini di Daik sangat berkembang dibidang agama maupun bidang ekonomi, sehingga Daik Lingga pada waktu itu menjadi pusat perdagangan dan pengetahuan. Banyak pedagang yang datang seperti cina, bugis, keling, siak, Pahang.


Belanda sudah semakin khuatir kalau Lingga menyusun kekuatan untuk menentangnya, oleh karena itu, Belanda menempatkan asisten Residen di Tajung Buton Daik. Pada tanggal 17 September 1833 dia mangkat dan dimakamkan di bukit Cengkeh. Sedangkan yang dipertuan muda Raja Muhammad Yusuf Al Ahmadi beristrikan Tengku Embung Fatimah Binti Sultan Mahmud Muzafarsyah yang merupakan Sultanah di Lingga. Dia menggalakan kerajinan rakyat Lingga untuk dipasarkan keluar kerajaan Lingga. Pada zaman mereka membuka jalan Jagoh ke Dabo membuat kapal-kapal, di antara nama kapal-kapal tersebut Kapal Sri Lanjut, Gempita, Betara Bayu, Lelarum dan Sri Daik, guna untuk memperlancar perekonomian rakyat serta pada zaman dia juga istana Damnah di bangun. Sekolah sd 001 Lingga tahun 1875 dengan guru pertama kami Sulaiman tamatan sekolah Raja di Padang. Guru ini tidak mau bekerja sama dengan Belanda, walaupun dia diangkat oleh Belanda.
Pada zaman ini Lingga mencapai zaman keemasan, sedangkan Almarhum Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II adalah anak dari Sultan Abdul Rahman Syah. Dia diangkat menjadi Sultan tidak disetujui oleh Indra Giri Reteh selama 25 hari dan terkenalah dengan nama pemberontakan Mauhasan. Namun Reteh tunduk kembali dengan Lingga. Sultan ini sangat memperhatikan kehidupan rakyatnya antara lain :

Mengajukan dan menukarkan sawah padi dengan sagu (Rumbia) yang di datangkan dari Borneo Serawak dan membuka industri sagu tahun 1890. Membuka penambangan timah di Singkep dan Kolong-kolong Sultan dengan Mandor yang terkenal npada zaman itu La Abok dan kulinya orang-orang Cina Kek yang menurut ceritanya nama inilah nama Dabo Singkep. Baginda mangkat pada tanggal 28 Fenruari 1814 dan dimakamkan di Bukit Cengkeh dengan gelar Marhum Keraton yang di dalam kubah. Setelah itu Sultan Muhammad Muazam Syah (1832-1841) Sultan ini sangat gemar dengan seni ukir/Arsitektur, dia mengambil tukang dari Semarang untuk membangun istana yang disebut Keraton atau Kedaton.

Pada zaman ini seni ukir, tenun, kerajinan, Mas dan perak sudah ada. Pusat kerajinan tenun di Kampung Mentuk, kerajinan Tembaga di kampong Tembaga. Pada zaman dia juga Bilik 44 dibangun, namun belum sempat di bangun, namun belum sempat siap bertepatan dia mankat dan pengantinya tidak melanjutkan pembangunan gedung tersebut.

Sultan Abdul Rahman Syah 1812-1832 adalah putra Sultan Mahmud Riayat Syah III dia terkenal sangat alim dan giat menyebarkan agama islam serta mengemari pakaian Arab. Pada masa pemerintahan dia, saudaranya Tengku Husin dengan bantuan Inggris dilantik menjadi raja dengan gelar Sultan Husin Syah. Maka pecahlah kerajaan besar Melayu atau emporium Melayu Johor-Riau-Lingga menjadi 2 bagian. Istana Sultan Abdul Rahman Syah terletak di Kampung Pangkalan Kenanga sebelah kanan mudik sungai Daik.

Dia mangkat malam senin 12 Rabiul awal 1243 Hijriahn (19 Agustus 1832) di Daik, dimakamkan di Bukit Cengkeh bergelar Marhum Bukit Cengkeh. Pada zaman dia, Mesjid Jamik didirikan atau Mesjid Sultan Lingga, benteng-benteng pertahanan di Mepar, Bukit Cening, Kota Parit (Dibelakang Kantor Bupati Lama) serta Benteng Kuala Daik, Meriam pecah Piring dan Padam Pelita terdapat di mes Pemkab Lingga. Pada zaman dia memerintah, dia sering berperang melawan penjajahan Belanda bersama dengan Yang Dipertuan Muda Riau diantarnya Raja Haji Fisabilillah atau bergelar Marhum Ketapang. Dia mangkat 18 Zulhijah 1226 Hijriah (12 Januari 1912) di Daik di belakang Mesjid dengan Bergelar Marhum Masjid.

Sultan Mahmud Riayat Syah adalah Sultan yang pertama kali di Daik Lingga. Dia adalah Sultan Johor-Pahang-Riau-Lingga XVI yang memindahkan pusat kerajaan Melayu ke Bintan Hulu Riau ke Daik tahun 1787, dengan istrinya Raja Hamidah (Engku Putri) yang merupakan pemegang Regelia kerajaan Melayu-Riau-Lingga. Pulau penyengat Indra Sakti adalah mas kawinnya dan pulau penyegat tersebut menjadi tempat kedudukan Raja Muda bergelar Yang Dipertuan Muda Lingga yaitu dari darah keturunan Raja Melayu dan Bugis. Pada hari senin pukul 07.20 Wib tahun 1899 dia mangkat dan dimakamkan di Makam Merah dengan Bergelar Marhum Damnah.

Kabupatenlingga 




Daik (Bekas Pusat Kerajaan Riau Lingga)

Daik, dahulunya hampir selama seratus tahun menjadi pusat kerajaan Riau-Lingga, sekarang menjadi ibu kota Kecamatan Lingga, Kabupaten Kepulauan Riau.

Kota Daik yang terletak di sungai Daik, hanya dapat dilalui perahu atau kapal motor di waktu air pasang. Kalau air surut, sungai Daik mengering dan tak dapat dilalui. Perhubungan lainnya adalah melalui jalan darat ke desa Resun di sungai Resun. Dari sana melalui sungai itu terus ke muara (Pancur) yang terletak di pantai utara pulau Lingga, berseberangan dengan Senayang.

Selama seratus tahun Daik menjadi pusat kerajaan, tentulah terdapat berbagai peninggalan sejarah dan sebagainya. Raja-raja kerajaan Riau-Lingga yang memerintah kerajaan selama periode pusat kerajaan di Daik Lingga yaitu : Sultan Abdurakhman Syah (1812-1832), Sultan Muhammad Syah (1832-1841), Sultan Mahmud Muzafar Syah (1841-1857), Sultan Sulalman Badrul Alam Syah II (1857-1883) dan Sultan Abdurrakhman Muazzam Syah (1883-1911).



Lingga Dinobatkan Sebagai Bunda Tanah Melayu


LINGGA – Seminar dan pemahaman lawatan sejarah antara ahli sejarah Kementrian Kebudayaan RI, Bupati, tokoh masyarakat dan Lembaga Adat Melayu digelar di kota Daik Lingga. Dari seminar ini Lingga ditetapkan dan dipatenkan sebagai lokasi Bunda Tanah Melayu.

Seminar tersebut bertujuan untuk mematenkan sebutan Lingga sebagai Bunda Tanah Melayu. Pematenan ini berdasarkan bukti-bukti peninggalan kerajaan Melayu di sana pada abad 17. Diantaranya berupa bangunan alat-alat perlengkapan rumah tangga hingga naskah sejarah yang tersusun rapi dalam museum linggam cahaya di Daik Lingga.

Staf Kementrian Kebudayaan RI Gunawan mengatakan, ditetapkannya Lingga sebagai Bunda Tanah Melayu telah sesuai dengan bukti peninggalan yang ada.

“ Ada bukti nyata untuk memberikan sebutan pada suatu daerah”, Ujar Gunawan tentang penetapan Lingga dengan sebutan Bunda Tanah Melayu kepada Batam TV.

Sementara Bupati Lingga H. Daria menambahkan, adanya peninggalan berkas-berkas dari zaman kerajaan memperkuat dasar penetapan tersebut.

“ Adanya peninggalan berkas dan naskah di sini memang teklah diakui banyak kalangan”, ujar Bupati Lingga, H. daria mempertegas hal tersebut.

Setelah ditetapkan sebagai Lingga sebagai Bunda Tanah Melayu, masyarakat di Lingga diharapkan bisa lebih menjunjung tinggi seni dan kebudayaan melayu di kawasan ini untuk ke depannya.

batamtvnews 


lingga bunda tanah melayu


PULAU PANDAN JAUH KE TENGAH GUNUNG DAIK BERCABANG TIGA.


Kelihatan Gunung Daik bercabang tiga, patah satu tinggal dua dari Makm Bukit Cengkeh di Pulau Lingga, sewaktu rombongan GAPENA mengunjungi ke pulau yang digelar "Bonda Tanah Melayu". 

Ada sesuatu yang mengusik jiwa ketika saya menjejakkan kaki di Pulau Daik Lingga 5 Julai lalu. Bulu roma tegak berdiri apabila lebih 70 orang anggota rombongan Perkampungan Penulis Melayu Serumpun dari Malaysia, Singapura, Negeri Thai, Filipina dan tuan rumah Kepulauan Riau ditaburi beras kunyit melalui sambutan penuh adat Melayu oleh masyarakat Daik. Kemesraan datang spontan dalam dialek dan adat resam yang sama. Para pembesar Kecamatan Lingga dan Kelurahan Daik menyambut kami lengkap berpakaian baju Melayu. Sesampainya rombongan di dataran Kota Daik, yang dahulunya pasar, ribuan masyarakat Daik telahpun menunggu dengan pakaian cantik berwarna warni.

Bekas Imam Mesjid Sultan Daik Lingga, Haji Abdul Ghani menjelaskan bahawa ramai warga Daik yang bekerja di pulau-pulau berdekatan seperti Dabosingkep, Batam, Bintan serta pulau-pulau yang lain pulang, semata-mata ingin ikut serta dalam perayaan tiga hari sempena Perkampungan penulis Melayu Serumpun ini.

Gunung Daik masih dilindungi awan ketika kami sampai, walaupun cuaca cukup panas. Sehingga dengan demikian kami tidak berpeluang melihat gunung yang masyhur dengan cabang tiganya itu. Namun keramahan masyarakat Daik mengurangi kekecewaan itu Menurut penduduk tempatan cabang gunung itu telah "patah satu tinggalah dua". Sepatah kata Datuk Prof Zainal Keling, "Disitulah letaknya misteri Gunung Daik. Ia begitu ilusif.

 Umumnya sambutan yang diterima rombongan boleh disimpulkan daripada pandangan Ketua I Gapena, Tan Sri Prof Emeritus Hj Ismail Hussein, "Saya begitu terharu dengan sambutan. Rasa keterikatan begitu mencengkam, seolah-olah orang Daik ini saudara rapat yang dipertemukan semula setelah sekian lama hilang."

Perasmian perkampungan selama tiga hari ini dilakukan Gabnor Riau, Hj. Saleh Jasit, SH. Sebelum melafaz rasmi perkampungan Hj. Saleh berpantun:
Gunung Daik bercabang tiga 
Nampak tersenyum dari Selat Melaka 
Adat resam dan nilai budaya 
Pusaka yang harus kita bina bersama. 

Sememangnya budaya dan adat resam di Daik Lingga khasnya tidak dapat dipisahkan, walaupun oleh eniti politik yang berbeza. Implikasi daripada dasar pecah dan perintah penjajah Belanda dan Inggeris abad lampau tidak sedikitpun menjejaskan kebersatuan budaya dan adat resam bangsa Melayu di Nusantara. Di Daik sendiri penduduknya mengamalkan adat dan budaya yang sama seperti di Malaysia, khususnya Johor, Riau, Brunei dan Singapura. Tutur kata sehari-hari, pemakanan dan cara berpakaian orang Daik saling tak tumpah seperti orang Melayu di daerah lain Nusantara dan alam Melayu. Semua anggota rombongan ke perkampungan ini seperti berada di tengah-tengah keluarga sendiri apatah lagi mereka mendapat "berkeluarga angkat" semasa tinggal di Daik.

 YM Raja Hamzah Yunus (kanan) ahli waris Yamtuan Muda Riau bersama-sama rombongan Jejak Bahasa DBP-TV3, wakil GAPENA dan wakil Jabatan Penyelidikan DBP di Balai Maklumat dan Dokumentasi Pulau Penyengat pada tahun 2000. 

Memang benarlah Daik Lingga adalah bunda tanah Melayu. Raja Hamzah Raja Yunus, generasi keenam daripada waris keturunan Raja Haji Fisabilillah, Yamtuan Muda Riau ke-4 mengungkapkannya demikian. Raja Hamzah, Ketua Pusat Maklumat Kebudayaan Melayu Riau berkata, "Daik itu pernah menjadi pusat Kerajaan Lingga-Riau selama kurang lebih 120 tahun. Sebagai pusat kerajaan tentu di sana juga sebagai pusat pengembangan budaya, adat istiadat, serta agama. Dengan demikian pada suatu ketika memang pantas Daik-Lingga dikatakan sebagai bunda tanah Melayu.

Sebagai saksi sejarah kepada keagungan silam kerajaan Daik, terdapat empat makam sultan Melayu, iaitu Makam Sultan Mahmud Riayat Shah, Sultan Abdul Rahman Muazzam Shah, Sultan Muhammad dan Sultan Sulaiman Badrul Alam Shah II. Ada pula makam Yang Dipertuan Muda Riau ke-10, Raja Muhammad Yusuf. Kemudian terdapat pula bekas lima buah istana, iaitu Istana Pengkalan Kenanga, Istana Keraton, Istana Damnah, Istana Robat dan Istana 44 bilik. Istana terakhir ini tidak sempat siap kerana sultannya telah dipecat Belanda.

Untuk melihat keagungan kerajaan Riau-Lingga di tanah Daik tidak sukar seperti diakui Raja Hamzah. Sebabnya, semasa Daik menjadi pusat kerajaan, ia pernah mengembangkan budaya fikir yang dituangkan dalam bentuk tulisan. Katanya, "Masih banyak naskhah lama tentang kerajaan Daik Lingga atau yang berkaitan dengan masalah budaya serta agama yang ditulis oleh pengarang tanah Lingga. Naskhah itu sekarang masih banyak dan masih dapat dibaca. Jadi tidak begitu sulit kalau ada orang yang mahu menelaah tentang kebesaran kerajaan Riau-Lingga di Daik."

Salah seorang penduduk Daik yang masih banyak menyimpan naskhah lama ialah Tengku Husein Saleh, generasi keenam daripada keturunan Sultan Muhammad Muazzam Shah yang memerintah Riau Lingga dari tahun 1830 hingga 1841. Dalam pertemuan singkat kami (Datuk Prof. Zainal Keling, Prof. Amat Johari Moain, Prof. Madya Zainal Borhan dan Raja Hamzah) satu petang dengan beliau, Tengku Husein bukan sahaja memperagakan naskhah-naskhah lama yang ditulis tangan, tetapi juga membentangkan carta salsilah keturunannya. Tengku Husein menyelusuri salsilah keturunannya seawal Sang Nila Utama yang digelar Sri Tri Buana dan berayahkan Sang Saperba dari Bukit Siguntang, Palembang. Sang Nila Utamalah yang menemui Tumasik (Singapura) dan menjadi raja pertama Singapura pada tahun 1160.

Menurut salsilah itu, Singapura diperintah oleh lima orang raja, iaitu Sri Tri Buana sendiri, Sri Pekermawira (1203), Sri Ratna Wikarma (1223), Sri Maharaja (1236), Sri Iskandar (1249). Sewaktu pemerintahan Sri Maharaja, Singpaura telah dilanggar todak dan sewaktu pemerintahan Sri Maharaja (Parameswara?) Majapahit datang melanggar Singapura dan Sri Maharaja terpaksa berundur ke Melaka dan berbuat negeri di sana pada tahun 1254. Saya tanyakan Tengku Husein dan Raja Hamzah tentang perbezaan hampir 200 tahun antara tarikh ini dengan tarikh yang diberikan orintalis Barat yang Malaka dibuka Parameswara pada tahun 1403.

"Mungkin ada motif tertentu pihak Barat untuk menidakkan tamadun Melayu sebelum Melaka. Pada hal Singpaura sudah pun melahirkan tamadun besar di bawah pemerintahan raja-raja Melayu yang belum masuk Islam," jawab Raja Hamzah. Tengku Husein sependapat dengan Raja Hamzah.

"Kita kena luruskan sejarah. Dan rasanya mestilah ada orang yang sanggup membuat penelitian. Dan selagi belum ada penemuan dan hasil penelitian yang menyangkal fakta Barat ini maka kita terpaksalah menganggap yang ada sekarang adalah benar," celah Zainal Keling.

Salsilah yang dibentangkan Tengku Husein ini berupa dokumen penting untuk dikaji sebagai langkah awal untuk meluruskan sejarah keagungan tamadun Melayu. Daik telah membuka pintunya untuk memberi peluang kepada ahli sejarah bangsa Melayu sendiri, paling-paling untuk menyangkal segala bentuk tulisan Barat selama ini. Ikut serta dalam rombongan beberapa orang ahli akademik dari jurusan sejarah. Tengku Husein dan Raja Hamzah' masing-masing daripada keturunan Yang Dipertuan Besar atau Sultan Riau-Lingga dan Yamtuan Muda Riau malah dengan segala senang hati mahu memberikan kerjasama. Keramahan dan kemesraan masyarakat Daik, yang menurut Raja Hamzah, sebahagian besarnya daripada keturunan pengikut-pengikut Sultan Mahmud Shah yang berpindah dari Hulu Riau membuka negeri di Daik Lingga, turut menambah ringankan beban peneliti untuk mencari kebenaran sejarah.

Cuma amat disayangkan seperti kata Datuk Zainal, tapak bekas kerajaan Melayu di Riau Lingga ini, seperti halnya di negeri-negeri Melayu lainnya, tidak dapat bertahan lama. Tidak seperti halnya dengan tinggalan sejarah purba di Itali, misalnya yang masih tersergam walaupun usianya sudah hampir seribu tahun. "Tapi, kita tidak pula dapat menafikan bahawa kebanyakan istana sultan zaman dulu diperbuat daripada kayu. Ia tak tahan," katanya.

Namun ia tidak bererti usaha meluruskan sejarah terhenti di situ. Raja Hamzah berkata sejarah boleh digali dan akan menjadi sah faktanya jika peneliti mengikuti empat syarat penting. Syarat-syarat itu ialah ada cerita, ada salsilah, ada keududukan awal dan ada siarah, iaitu kaitan kekeluargaan dengan keluarga dalam istana berdasarkan semenda. Di Daik hingga ke Hulu Riau kesemua syarat ini dapat dipenuhi. Terserah kepada sungguh tidak sungguhnya para peneliti yang berminat dalam hal ini.

"Contohnya, di Riau Lingga pernah ada seorang wanita menjadi raja. Baginda ialah Engku Fatimah, Sultanah yang memerintah negeri. Silakan cari sejarahnya," kata Raja Hamzah.

Selama tiga hari di Kota Daik, runtunan hati untuk kembali mengenang zaman silam semakin menggugah jiwa apabila setiap malam pelbagai persembahan budaya dipentaskan masyarakat Daik. Pada malam pertama pesta joget tempo dulu-dulu yang popular di tahun-tahun 1950an di "Happy World" Singapura dipersembahkan. Yang menjadi penarinya wanita-wanita yang sudah berumur dan isteri orang. Pada malam kedua dipentaskan pula Bangsawan Melayu bertjudul "Hulubalang Daik" sementara pada malam terakhir diadakan pula tarian-tarian tradisional dan tarian orang laut. Pelakon-pelakon bangsawan terdiri kebanyakan daripada suri rumah. Sejarah mencatatkan bahawa kerajaan dahulu memang kaya seni. Malah ada yang mendakwa bahawa muzik Ghazal berasal dari Daik, lalu berkembang di Johor dan kawasan-kawan lain di Tanah Melayu.

Demikianlah, kembara budaya rombongan dari mancanegara di Nusantara ini telah mewujudkan semacam untaian rasa dan kenangan yang tidak begitu mudah dilupakan. Gunung Daik yang pada hari pertama masih menyembunyikan tiga cabangnya, mula bermurah hati pada hari kedua. Setelah hujan lebat mencurah turun pada paginya, kami disajikan pemandangan yang mengasyikkan. Tiga cabang gunung itu menampakkan diri, yang oleh masyarakat Daik diungkapkan "Gunung Daik bercabang tiga, patah satu tinggallah dua." Sebabnnya, cabang kiri gunung telah patah di tengah-tengah - A.F.Yassin.

 (Dipetik daripada majalah berita mingguan Massa, 17 Juli 1999, yang diterbitkan Kumpulan Utusan Melayu)

sepanjangjalankenangan

Comments