Anak Semua Bangsa


"Jangan kau mudah terpesona oleh nama-nama. kan kau sendiri pernah bercerita padaku: nenek moyang kita menggunakan nama yang hebat-hebat, dan dengannya ingin mengesani dunia dengan kehebatannya—kehebatan dalam kekosongan. Eropa tidak berhebat-hebat dengan nama, dia berhebat-hebat dengan ilmu pengetahuannya. Tapi si penipu tetap penipu, si pembohong tetap pembohong dengan ilmu dan pengetahuannya." (Mama, Anak Semua Bangsa 77)


“Apa akan bisa ditulis dalam Melayu? Bahasa miskin seperti itu? Belang bonteng dengan kata-kata semua bangsa di seluruh dunia? Hanya untuk menyatakan kalimat sederhana bahwa diri bukan hewan.” (Minke, Anak Semua Bangsa 114)




SINOPSIS ANAK SEMUA BANGSA
Fike Komala

Novel Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer menggambarkan penderitaan rakyat Jawa di bawah pemerintahan Belanda yang licik dan haus kekuasaan. Dari sudut pandang Minke, seorang penulis pribumi yang begitu mendewakan Eropah, kita dapat melihat kembali sejarah bangsa Indonesia, serta bercermin melihat diri sendiri. Kita diajak menelusuri fikiran Minke yang terumbang-ambing dalam keyakinannya, sampai akhirnya sedar bahawa ia harus turun dan memperhatikan bangsanya sendiri.

Minke kehilangan isterinya, Annelies Mellema, pada bahagian awal novel. Sahabatnya, Panji Darman atau Robert Jan Dapperstelah yang menemani Annelies sampai ajalnya di Belanda. Banyak surat dikirimkan oleh Panji Darman untuk Minke dan mertuanya, Nyai Ontosoroh. Selama waktu ini, Minke dan mertuanya (Mama) saling mendukung untuk lepas dari dukacita.

Pandangan Minke akan dunia dan bangsa-bangsa yang ada di dalamnya dipengaruhi oleh para teman-temannya yang kebanyakan orang Eropah, kerana ia sendiri adalah lulusan HBS. Ia sering berkirim surat dan bertukar fikiran dengan keluarga De la Croix (Sarah, Miriam, Herbert),

Salah satu sahabatnya, Jean Marais, adalah seorang seniman berkebangsaan Perancis. Suatu hari ia meminta Minke untuk menulis dalam bahasa Melayu, dengan tujuan agar bangsanya sendiri dapat membaca karya Minke. Minke terkejut dan merasa terhina, ia merasa rendah apabila harus menulis dalam bahasa Melayu. Kerana percakapan ini, hubungannya dengan Marais menjadi dingin. Hanya kerana Maysaroh, anak Jean, Minke akhirnya mahu berbaik dengan Jean.

Selanjutnya, Minke diminta Maarten Niijman, atasannya di S.N. v/d D., untuk mewawancarai Khouw Ah Soe dalam Bahasa Inggeris, seorang aktivis dari Cina yang berusaha membangunkan bangsanya dari mimpi-mimpi mereka. Ia dapat melihat Jepun mulai menyamai kedudukan negara-negara Eropah.

Tetapi betapa terkejutnya Minke, saat harian itu terbit, yang tercetak berbeza sekali dengan wawancara dan tulisan yang telah ia kerjakan! Artikel tersebut berisi tuduhan pada Khouw Ah Soe yang mengatakan dirinya seorang pelarian. Kejadian ini menyedarkan Minke bahawa Eropah yang selama ini ia agung-agungkan tidak selamanya benar. “Eropah tidak lebih terhormat daripada kau sendiri, Nak! Eropah lebih unggul hanya di bidang ilmu, pengetahuan dan pengendalian diri. Lebih tidak, “ jelas Mama kepadanya. “Kalau mereka bisa disewa siapa saja yang bisa membayarnya, mengapa iblis takkan menyewanya juga?”

Sepertinya semesta belum mengizinkan Minke untuk tenang, kerana setelah itu Kommer, teman Jean Marais, mendukung apa yang telah Jean katakan sebelumnya. Selama ini Kommer telah menterjemahkan tulisan Minke ke dalam bahasa Melayu. Kommer mengatakan bahwa Minke tidak mengenal bangsanya sendiri, kerana selama ini ia melihat keadaan dari kacamata Eropah. Minke tidak terima dikatakan seperti itu, tapi ia tidak dapat membuktikan sebaliknya juga.

Kerana masih diselimuti kesedihan, Minke dan Mama lalu memutuskan untuk bercuti ke Tulangan, Sidoarjo, kampung halaman Mama. Mereka menginap di rumah Sastro Kassier, saudara Mama. Mata Minke menjadi terbuka akan kenyataan bangsanya. Dulu Mama dijual untuk menikahi Tuan Administratur Mellema. Kini Surati, anak Sastro Kassier, terpaksa menikahi Tuan Administratur Vlekkenbaaij kerana jebakan orang Belanda itu. Untungnya Surati sengaja menularkan cacar dari kampung sebelah pada Vlekkenbaaij. Jadilah Vlekkenbaaij meninggal, dan Surati yang dulu jelita kembali ke rumah dengan borok di wajahnya.

Kepercayaan Minke akan Belanda mulai pudar, ia makin bertekad untuk mengenal bangsanya. Maka menginaplah ia selama beberapa hari di rumah salah satu petani, Trunodongso, yang tinggal bersama dengan isteri dan empat anaknya. Trunodongso bercerita kepadanya mengenai kecurangan-kecurangan pemerintah Belanda yang sering memaksa dan tidak menepati janji, sementara para petani tidak boleh berbuat apa-apa untuk menuntut hak mereka.

Minke berjanji pada Trunodongso akan membantunya dengan jalan menuliskan penderitaannya. Selain itu ia juga menulis tentang Surati. Tetapi saat ingin menerbitkan tulisannya tentang Trunodongso, Niijman menolak. Minke putus asa, memutuskan melanjutkan studinya di Betawi untuk menjadi doktor. Di tengah perjalanan di laut, ia bertemu dengan Ter Haar yang menceramahinya cara kerja dan tujuan penjajahan Belanda di Hindia. Minke hampir berkunjung ke pejabat akhbar lokal di Semarang untuk menulis lagi. Sayang, ia malah dijemput polis untuk kembali ke Wonokromo, rumah Mama.

Mama mempunyai berita untuk Minke. Robert, anaknya yang lain, telah meninggal kerana sakit dan ternyata mempunyai anak dengan salah satu gadis desa bernama Minem. Anak itu dinamai Rono. Mama menampung Minem, tapi pada akhirnya Minem pergi dan meninggalkan anak tersebut di Wonokromo.

Saat Minke pulang, Mama harus berhadapan dengan anak rasmi Tuan Administratur Mellema, Ir. Maurits Mellema. Karena perebutan warisanlah Annelies meninggal. Dengan bantuan penjaga keamanan Mama (Darsam), Minke, Jean Marais dan anaknya, serta Kommer, Mama mempertahankan dirinya dan rumahnya. Novel ditutup dengan Maurits Mellema menunda pengusiran mereka dari rumah.

Melewati peristiwa-peristiwa tersebut, bertemu dengan berbagai-bagai macam orang dan pandangannya masing-masing, telah mengubah cara berpikir Minke. Eropah dulu diagung-agungkannya, Eropah tak pernah salah, Eropah bisa maju dengan ilmu pengetahuannya, sedangkan pribumi hanya bisa disuruh. Dengan bantuan sahabat-sahabatnya, pada akhirnya ia melihat juga kebusukan-kebusukan Eropah. Ia belajar, ternyata sikap seseorang tidak ditentukan oleh kebangsaannya. Ia sedar, sebagai pribumi yang terpelajar yang menguasai banyak bahasa, ia merupakan salah satu dari segelintir yang bisa menggerakkan dan memajukan bangsanya sendiri.

“Semua yang terjadi di bawah kolong langit adalah urusan setiap orang yang berfikir.”

kompasiana


Belajar Dari Semua Bangsa

Kalau belajar bahasa asing Eropa untuk mengenal Eropa. Melalui Eropa kau baru mengenal bangsamu sendiri. Belajar bahasa-bahasa Eropa bukan berarti kau harus tidak bicara dengan bangsamu dan hanya bicara pada orang-orang eropa.

Itulah sebuah kutipan dari novel Anak Semua Bangsa yang di tulis Pram. Saya kira namanya cukup popular, lebih popular di kalangan para pembaca dan penikmat novel, kerana dia adalah seorang novelis yang tersohor di berbagai negeri. Novel Anak Semua Bangsa ini adalah Novel kedua setelah Bumi Manusia. Dan novel ini dibentuk dalam sebuah tetralogi.

Membaca sebuah novel, layaknya menelusuri jejak perjalanan dengan segala batu sandungan, suka cita dan gelombang yang membentuk karang menjadi pahatan yang indah. Segala emosi yang dikeluarkan pengarang lewat novelnya bisa kita rasakan juga dalam posisi duduk dibawah senja, atau dibawah langit yang meninggalkan birunya dengan taburan bintang dan bulan yang mengintip dari celah langit. Darinya kita bisa mengambil pelajaran, mengambil hikmah dari hidup dan menempelkannya menjadi sebuah laku, bukan hanya mengikuti jejak emosi dalam sekejap.

Adalah sebuah perjalanan panjang sebuah ilmu pengetahuan yang masuk ke Indonesia. Dan kekakuan seorang Pribumi terpelajar bernama Minke yang selalu merasa bangga dengan Eropa dan tulisannya yang selalu berbahasa Belanda.


Kekakuan yang membuat ia dituding melupakan bangsanya, melupakan tanah kelahirannya, karena ia terlihat seperti kacang lupa kulitnya. Sosok Minke yang seorang penulis, telah lupa bahwa kewajibannya tidak hanya menulis saja, menulis untuk kepentingan Belanda, dengan segala kebanggaannya. Sedangkan sebangsa pribuminya sendiri tidak bisa mengambil pelajaran dari saudaranya yang mempunyai pengetahuan yang lebih, dari semua bangsa. Namun ada sumber yang mengatakan bahwa Minke adalah seorang jurnalis pertama dari Indonesia dalam novel ini.

Jaman modern ini telah menyampaikan padaku buah dada untuk menyusui aku, dari pribumi sendiri, dari Jepang, Tiongkok, Amerika, India, Arab, dan semua bangsa di muka bumi ini. Mereka adalah induk-induk sejarah yang menghidupi aku untuk menjadi pembangun Roma! Apakah kau benar akan membangun Roma? Ya, jawabku pada diri sendiri. Bagaimana? Aku tak tahu. Dengan rendah hati aku mengakui, aku adalah anak semua bangsa dari segala jaman, yang telah lewat dan yang sekarang. Tempat dan waktu kelahiran, orang tua, memang hanya satu kebetulan, sama sekali bukan sesuatu yang keramat.

Mengawali sebuah perjalanan pengetahuan yang masuk kedalam diri Minke, seluruh pengetahuan didapatnya dari seluruh bangsa. Karena dengannya dia bisa membangun Roma, membangun suatu hal yang bisa dinikmati manusia di Buminya ini. Hal itu bisa diawali oleh sebuah pemikiran seorang yang mulai berfikir revolutif, membongkar pemikiran yang membeku, meminimalisir penggunaan akal dan melatih otot-otot lengannya untuk mendapatkan senyuman dibawah telunjuk-telunjuk pemilik modal atau seorang Nyai. Seperti yang dilakukan Darsam terhadap Nyai Ontosoroh.

Darsam, dan orang-orang seperti dia, baru sadar : selama ini hidup hanya terkandung pada jari-jari kanan. Hidup dan jari-jarinya. Mendadak, jari-jari itu tak dapat dipergunakan lagi. Dia baru tahu setelah modalnya rusak, modal hidup si jari-jari. Orang lain berlagak bekerja dengan otak, belasan tahun dia belajar, belajar berfikir untuk bisa hidup secara layak sebagaimana dia kehendaki. Juga pada suatu kali otak bisa rusak. Lenyap semua pendidikan dan latihan belasan tahun. Gentayangan seperti hewan di makan hari, tak tahu lagi diri masih manusia.

Pram selalu menampakkan bahwa kemanusiaan itu perlu dijunjung, karena bagaimanapun juga bumi ini adalah bumi manusia. Kalau kemanusiaan tersinggung, semua orang yang berperasaan dan berfikir waras ikut tersinggung, kecuali orang gila dan orang yang memang berjiwa kriminal, biarpun dia sarjana.

Sehingga melalui Nyai Ontosoroh nampaknya Pram menampakkan sosok seorang yang mampu mencukulkan manusia dari ketertindasan. Dia menampilkan sebuah kehidupan Nyai yang terhina dengan segala kemampuannya mengangkat segi-segi kemanusiaan.

Nyai Ontosoroh adalah sosok perempuan jawa yang dengan keadaannya yang tertekan oleh segala hal terutama kelakuan suaminya, membuat dia bisa bangkit dan membangun. Seorang wanita yang berfikir, tidak lagi bisa kalah dengan ketertindasan sebagai Nyai. Berbeda dengan wanita-wanita Jawa kebanyakan, yang hanya bisa menunduk patuh terhadap Tuannya. Dia mempunyai keberanian sehingga dengan itu, dia bisa belajar dari apapun dari manapun, dengan satu keyakinan bahwa manusia adalah manusia yang harus menjadi manusia. Dia juga yakin bahwa orang yang menulis akan merubah segalanya, yang membuat dia sayang kepada menantunya, Minke.

Menulis bukan hanya untuk memburu kepuasan pribadi menulis juga mengisi hidup. Ungkap Pram, yang membuat tulisan-tulisan saya memerah, dan merunduk malu, jangan-jangan tulisan-tulisan saya hanya memburu kepuasan itu. Tapi saya sudah mengenal terang itu dan harus memburunya, saya yakin suatu saat bisa menemukan terang. Walaupun jalan yang dilalui harus dengan meraba dan meraba, dengan keadaan air yang deras. Saya tahu, jalan yang dilalui bukan jalan yang mudah, dimana disana saya harus menunduk, bahkan saya harus jongkok dengan air yang sudah mencapai dada.

iis noor


Child of All Nations

Child of All Nations is the second book in Pramoedya Ananta Toer's epic quartet called Buru Quartet, first published by Hasta Mitra in 1980.Child of All Nations continues the story of the lives of the main character, Minke, and his mother in law, Nyai Ontosoroh. By describing the lives of these two people who live in the Dutch controlled islands of Java, Pramoedya is able to discuss many aspects of life in a colonized nation. Child of All Nations explores the social hierarchy in a colonized nation by giving glimpses of how the oppressed colonized peoples, such as the Javanese farmers, are required to be submissive to their occupiers, the Dutch. That wealthy, educated Javanese like Minke and Nyai were still considered inferior to the Dutch due to their Native birth status and frequently simply the color of their skin. The main theme of the novel is, as the title suggests, that the world is becoming more integrated as revealed in the life of the main character Minke, the self-proclaimed “child of all nations” . Minke speaks French, Dutch, Malay, and both high and low Javanese. He writes for a newspaper published in Dutch and has to come to terms with being a 'native' in a European controlled world. His worldview is jaded by the fact that he is wealthy and educated, and therefore closer to the Dutch than other Javanese; however, Minke comes to realize the ethical implications of the injustices being done to his people. His life is caught between two worlds, which the novel follows as he tries to understand who he really is, his role in the Dutch-occupied society, and his duty to his people.

Plot

The story continues where This Earth of Mankind leaves off, shortly after Annelies has departed by ship to the Netherlands with Panji Darman secretly in tow. Having promised to watch over Annelies, Panji discovers her room on the ship, only to be recruited by the ship's crew in taking care of the severely ailing young woman. Panji continues to accompany her after arriving in the Netherlands where she unfortunately passes away after rapidly deteriorating. He relays this information back to Nyai and Minke through multiple letters.

From this point, Minke attempts to continue on with his life by writing for Maarten Nijman and the Soerabaiaasch Nieuws, however he is challenged by his good friend Jean Marais, as well as Kommer later on, to write in Javanese or Malay. They argue that in doing so, he would be helping his people in their struggle to overcome the oppression laid down by the Dutch occupying their nation. At first, Minke refuses on the grounds that it would tarnish his rising, refutable position in his influential field. His opinion quickly changes after recording an interview between Nijman and a member of the Chinese Young Generation, Khouw Ah Soe. After being a part of the unique experience, Minke feels quite proud, as well as curious of Soe's position and beliefs. Soon after, he discovers the article he wrote was completely ignored, only to be replaced by Nijman's self-report of Soe being a Chinese radical, opposing old Chinese traditions, and generally being a trouble-maker. Minke feels hurt from the encounter, and decides to take Kommer up on his offer to visit the Sidoarjo region and discover who his people really are.


 Pram



Character List


Minke – Main protagonist of the novel

Minke is Javanese, and one of the few natives with a formal education—even more uncommon, a Dutch education.[3] He is first introduced as a widower, mourning the suspicious death of his beautiful Indo-Dutch wife, Annelies. At first Minke is naive, unpatriotic, and even arrogant in regards to his own people. He is also an aspiring writer who works for a Dutch newspaper. However, after his boss alters his writing to condemn a Chinese activist (Toer 74-75), Minke begins to understand the corruption and power of the Dutch colonists. Urged by his mother-in law, his friend Jean, and another writer named Kommer, Minke sets out on a journey to understand his own nation, and reveal the truth about the oppression of his people.

Nyai Ontosoroh – Mother-in-law of Minke, Annelies’ mother, and business owner

Nyai (usually referred to as “Mama” by Minke) is very perceptive, hard-working, and resolute. She was sold to a Dutch man as a concubine when she was younger, but persevered and now runs a successful business. She has strong opinions concerning the Dutch and the colonization of the Indies. Though she is Minke's mother-in-law, she treats him more like her own son. Throughout the novel she can be seen lecturing Minke on different subjects, especially when it comes to the Dutch colonists and how the Native people are being treated. She tries to show him a perspective he would not have known in his Dutch schooling. Despite her strength, the death of her daughter and departure of her disgraced son Robert have left her feeling lonely and dependent on Minke as her only remaining family. Throughout the book she worries of losing her business, and more importantly, losing Minke. Nyai has perhaps more influence on Minke than any other character. Not only does she continuously give him advice and her opinions, but she is also a living example of the oppression of the Javanese.

Jean Marais – Friend of Minke and Nyai, works as a painter, Frenchman

Minke is close friends with Jean, and Jean’s daughter. He confronts Minke about possibly writing in Malay to increase the newspaper’s Asian readership, but is met with Minke’s defenses, resulting in tension in their relationship.

Kommer - Friend of Jean Marais, a Dutch-Indonesian Mixed-blood Journalist.

Kommer is a strongly opinionated journalist who holds a passion for the Native people of Java. He sides with Jean Marais and attempts to get Minke to write in Malay or Javanese. He presents Minke with a number of credible newspapers that are writing in those local languages. Kommer then accuses Minke of being ignorant and out of touch with his own people. After more discussion, he persuades Minke to explore other parts of Java and observe the Native People. Kommer is also described to be very fond of Nyai. Ontosoroh.

Darsam - Protector of the Mellema (Nyai's) estate

Darsam is a native man who watches over the Mellema estate to protect it from intruders. He watches over Nyai’s business why she is away on leave to Sidoarja, her home town, with Minke. While he is temporary head of the company, he engages in a chase with an intruder, Babah Kong, and has his arm shot. After this happens he, is not able to move several fingers.

Panji Darman – Informant, formerly known by the alias Robert Jan Dapperste

Native child adopted by the preacher Dapperste, but changes his name after being the 'object of insults'. Changes from being a shy introvert into a happy courageous individual who becomes the governor-general of the Netherland Indies. Is hired by Nyai Ontosoroh to escort Annelies on her journey to the Netherlands. Keeps in close contact with Minke and Mama throughout the voyage by sending letters describing every detail of the trip back to Surabaya.

Khouw Ah Soe - Young Chinese activist

Khouw Ah Soe comes to the Indies in order to promote the recent radical thoughts that are spreading through China; he seeks to educate people in the thought that the older generation needs to periodically be taken out of power so that the younger generation may begin to run the governments and societies around the world so progress by countries and peoples is made. Minke writes a newspaper article about Khouw Ah Soe for the paper, but it is changed and published under his name at the last minute. Khouw Ah Soe seeks refuge with Minke and Nyai under Darsam’s care for a little while until he decides that he must continue traveling. Later Minke and Nyai find out that Khouw Ah Soe was killed for his activism and his radicalism. Nyai even commented on Khouw that he was “no doubt a wise young man.”

Trunodongso – Javanese peasant farmer

Refuses to give up his land to the sugar companies and, as a result, gets threatened, ridiculed, and insulted by mill workers everyday to rent out his land. He is threatened that if he does not allow the sugar companies to use the land, then the road to his home and the water channels for his paddy fields will be closed off, forcing him to close his paddy fields. He has 5 children: 2 boys and 3 girls. As Minke’s first focus on the writer’s journey to learn about the natives, he finds trust in Minke and eventually ‘surrenders’ his family’s lives into Minke’s hands.

Annelies - Minke's dead wife

Although Annelies has already died by the second chapter, she is often mentioned throughout the story. Annelies was Nyai's daughter and Minke's wife before she was taken by a Dutch officer named Maurits. Maurtis is related to Nyai Ontosoroh because his father bought Nyai to be his wife. Maurits orders Annelies to be shipped out to Holland, but she dies soon after being taken.

Maurits - Man who took Annelies away from Minke

Maurtis is the man who ordered Annelies to come with him to Holland. As her half-brother, following the death of their father he is given control over her because of her young age. Her mother, as a native and a nyai, has no rights over her in the Dutch courts. He does not make an appearance till later in the book but he comes to Surabaya to collect his inheritance rights to Annelies's property and business.

Surati - Daughter of Sastro Kassier

The young, pockmarked daughter of Sastro Kassier. She is originally introduced as Nyai Ontosoroh hoped Minke would take her as his second wife. She was once beautiful, but lost her beauty to smallpox. She was to become the concubine of Plikemboh. Her father was tricked into selling his daughter as the only way to maintain his position as paymaster. Surati refuses to become nothing more than a nyai, and resolves to kill herself by infecting herself with smallpox. She runs to a nearby village that has recently been hit by the disease, and stays in a house with two corpses and a dying baby. She becomes infected, and goes to Plikemboh to offer herself, hoping that he would contract the disease as well. Not long after, Plikemboh dies, but Surati is found and cured. Her beauty was taken away, but she remains humble, and doesn't seem to mind.

Sastro Kassier - Nyai's eldest brother

Sastro came from being a clerk to an apprentice cashier and then full paymaster of the sugar factory. Sastro is put into a difficult situation when the money used to pay the factory workers is stolen. The only person that can help Sastro in this predicament is Tuan Besar Kuasa who is the factory manager who wants to take Sastro's daughter as his concubine. His daughter does not want this man because he is a drunkard and terrible man.

Maysoroh – Adolescent daughter of Jean Marais

Maintains a strong bond between Minke and her father Jean when relations are harsh.

Minem - Mother of Robert Mellema’s son, Rono Mellema

Minem used to work with the cows, but upon Robert Mellema’s request, Nyai took her into her home. She eventually leaves her son with Nyai to live with Accountant de Visch.

Ter Haar - former subeditor at the Soerabaiaasch Nieuws, European

Ter Haar is a tall, slim European who Minke becomes acquainted with on the ship Oosthoek. He was on the same ship to go to work for De Locomotief, a famous newspaper. Ter Haar constantly bombards Minke with very liberal ideas that shakes and shatters Minke’s perspective of the capital driven sugar plantation that feeds the inexhaustible greed of the imperialistic governments. A member of the Vrizinnige Democraat party (a radical party), he discloses insider information and conspiracies about the dirty, dark inner-workings of the power hungry world of politics and money. However, Minke feels ignorant and overloaded with so many complex ideas, Ter Haar enlightens Minke of how the real world works; driven by capital and greed. Ter Haar uses the Philippines as an example that resistance was possible. Even though Ter Haar only appears briefly in the novel, he makes a significant impact on Minke’s intellectual growth and outlook on reality.

Minke’s meeting with Ter Haar can be seen as a marker to Minke’s lost of faith in European ideals and morals. Nijman, the editor of Soerabaiaasch Nieuws was in some ways a representative of Europe and its grandeur to Minke. Minke idolized and revered Nijman until he found out he was just a media puppet of the sugar plantations. Ter Haar quit working for Soerabaiaasch Nieuws because of different beliefs, mainly since he was an extreme liberal and Nijman the editor of an extremist colonial paper. It’s only natural that these two characters, both disappointed by Nijman, meets by chance and discusses complex subjects that takes Minke completely by surprise.

Ter Haar: “Yes, others call this sort of view ‘extreme liberal.’ Not just disliking being oppressed, but also disliking oppressing. And, indeed, more than that: disliking oppression anywhere.” (Toer 267)

wiki

Comments