Matah Ati Di Istana Budaya


Matah Ati: Pahlawan Rubiyah kembali beraksi di Istana Budaya
 April 14, 2015




MATAH Ati akan dipentaskan sekali lagi di Istana Budaya pada awal bulan Mei ini selepas mengadakan persembahan di Singapura, Jakarta dan Solo.

Lakon tari yang mengangkat kisah benar pengorbanan dan cinta di Jawa, Indonesia pada abad ke-18 ini bakal menemui peminat teater selama tiga hari iaitu dari 7 hingga 9 Mei nanti.

"Matah Ati" ditulis dan diarah oleh Bandoro Raden Ayu Atilah Soeryadjaya, yang juga bertindak sebagai pereka busana dan penerbit.

Pengalaman membesar di Istana Mangkunegaran memberi inspirasi kepada beliau untuk menghasilkan satu penceritaan yang kaya dengan budaya dan tradisi Jawa.

Menurut Atilah, Indonesia mempunyai banyak kisah sejarah yang menarik yang memberi inspirasi kepada generasi hari ini, dan kisah kepahlawanan Rubiyah dalam Matah Ati adalah satu daripadanya.


“Seorang isteri Jawa tidak hanya membantu suami di rumah, malah dia akan membantu suaminya dalam apa jua cara. Dalam keadaan terdesak dia akan membantu demi rakyat, demi bangsa, demi apa saja," jelas beliau.

"Matah Ati" mengisahkan seorang gadis kampung bernama Rubiyah yang menarik perhatian seorang bangsawan istana, Raden Mas Said.

Mereka saling jatuh cinta dan berkahwin serta bersama-sama menyertai perang melawan Belanda.

Daripada perkahwinan mereka, lahirlah susur galur Istana Mangkunegaran.

Lakon tari sepanjang 90 minit ini memaparkan budaya dan tradisi Istana Mangkunegaran melalui tarian klasik dan tembang Jawa.

Sebagai penganjur tempatan, Presiden Enfiniti Vision Media, Puan Seri Tiara Jacquelina berkata beliau berbangga dapat bekerjasama dengan pihak produksi Indonesia dalam mengadakan persembahan "Matah Ati" di Malaysia.

“Sejak dipersembahkan pertama kali di Esplanade Theater di Singapura, ramai rakan-rakan saya berkata saya patut menontonnya, namun saya tidak berkesempatan.

“Satu hari, saya diperkenalkan dengan Atilah dan kami pun berbual mengenai perkara ini dan berbincang tentang pertukaran budaya sesama rumpun.

"Akhirnya, masa pun tiba; kami berasa bangga untuk berada sebahagian produksi ini,” ujar Tiara dalam satu sidang media di Istana Budaya hari ini.

Turut hadir adalah pengarah produksi Istana Budaya Ismail Yusof.

Melihat kepada sinopsis penceritaan Matah Ati, beliau berharap persembahan berprestij ini mendapat sambutan yang baik daripada semua peringkat masyarakat.

Dalam masa yang sama, Duta Indonesia di Malaysia, Herman Prayitno berkata beliau melihat perkara ini sebagai kerjasama untuk mengeratkan hubungan dua hala antara Malaysia dan Indonesia.

“Ini suatu yang mengembirakan hati saya, merapatkan hubungan dua negara. Persembahan ini diharapkan bukan sahaja menghiburkan tetamu, tapi dapat menunjukkan bagaimana budaya Jawa itu.

"Mudah mudahan ini dapat menjadi panduan untuk mengenali budaya di Malaysia dan di Indonesia."

Tiket Matah Ati berharga RM70, RM100, RM140, dan RM200 dan boleh didapati di www.airasiaredtix.com, cawangan Rock Corner, cawangan Victoria Music, Artist Gallery di Gurney Plaza dan Queensbay Mall, dan juga di Istana Budaya Box Office.


astro awani




 Serba Ringkas Matah Ati

Sinopsis

Cinta dan kekaguman, gejolak dalam peperangan, menjadikan RUBIYAH, seorang gadis dari desa MATAH membulatkan tekad untuk menerima lamaran dari seorang ksatria yang sangat dikenal keberaniannya melawan penjajahan VOC yang semena-mena menjadikan ketidakadilan terhadap rakyat pada jaman itu. Pada pertengahan abad ke-18 di Tanah Jawa terjadi peperangan dan pemberontakan melawan tentara VOC yang tidak terkendali oleh Ksatria dari Surakarta yaitu Raden Mas Said yang dikenal dengan sebutan PANGERAN SAMBERNYOWO.

Begitu mengagumi saat melihat seorang gadis bernama Rubiyah yang memancarkan sinar dari tubuhnya, menandakan wanita yang diberi kelebihan, oleh sang pencipta, sehingga membuat Raden Mas Said kagum, terpesona dan jatuh cinta kemudian memutuskan untuk menjadikan Rubiyah pendamping dalam hidupnya. Untuk gadis inilah spirit dalam jiwa untuk berjuang menegakkan ketidakadilan untuk menolong rakyatnya. Ketangkasan Rubiyah, Keindahan dalam menari, kelembutan seorang istri yang begitu mulia hatinya, dengan paras yang cantik serta sangat sederhana menjadikan sempurnanya seorang wanita. Disisi lain berubah bringas dalam memimpin peperangan dikelompok prajurit wanita yang sangat tangguh. Karena keprihatinannya melihat keadaan dan rasa Cinta serta pengabdian kepada sang tambatan hati jadilah Rubiyah penguat jiwa disaat menumpas lawan-lawannya.

Hingga 16 tahun peperangan dan pemberontakan karena pihak lawan merasa kewalahan maka diadakanlah perjanjian. Jadilah Raden Mas Said seorang penguasa yang bergelar KANGJENG GUSTI PANGERAN ADIPATI ARYA MANGKOENAGORO I, Rubiyah menjadi istri dengan nama Bendara Raden Ayu MATAH ATI karena lahir di desa MATAH dan bisa juga diartikan melayani Hati Sang Pangeran.

Dari beliaulah turun para penguasa Istana MANGKUNEGARAN.


Konsep Tari

Karya tari Matah Ati merupakan garapan yang mengutamakan vokal sebagai media ekspresi dengan gerak tari jawa sebagai media ungkap bentuknya. Olahan karya tari ini mencoba pula melakukan re-interpretasi dan mengeksplorasi gaya khususnya gaya tari Istana Mangkunegaran, lebih spesifiknya adalah “Langendriyan” yang diciptakan oleh Mangkoenagoro IV, sebagai konsep pertunjukan serta menjadi dasar garapan tari dengan judul Matah Ati ini.

Dinamika dalam karya tari ini dibangun melalui elemen suara, baik yang dilakukan oleh penari maupun pemusik, yang mana vokal penari tunggal dan juga koor menjadi sangat puitis, diharapkan mewarnai pertunjukan ini menjadi pertunjukan opera tari yang sangat ekspresif.

Gerak yang menjadi komponen penting dalam karya tari ini juga digarap sedemikian rupa. Sebagaimana halnya sebuah tarian ritual dan meditatif yang membangun suasana tarian menjadi sakral dan magis. Dengan karakter lembut dan ketajaman disertai gerak yang mengalir dan kontras ke dalam bentuk teatrikal yang dibangun oleh karakter penari untuk menghadirkan suasana yang puitis dan artistik.

Pengungkapan ide cerita melalui dialog antar tokohnya, lewat tembang-tembang jawa seperti pada Langendrian. Isinya adalah menyampaikan perjuangan Raden Mas Said atau yang dikenal dengan nama Pangeran Samber Nyowo. Dalam perjuangannya melakukan perlawanan terhadap VOC yang menghancurkan tatanan nilai, keangkaramurkaan, serta ketidakadilan. Suasana peperangan melahirkan kisah cinta Raden Mas Said danRubiyah.

Karawitan sebagai iringan memberi aksentuasi yang sangat harmonis dalam tembang dan gending yang digarap untuk kebutuhan karya ini, sehingga memperkuat isi atau makna yang terdapat pada setiap adegan. Tentunya karya ini dimaksudkan untuk menyajikan tarian, musik gamelan, serta dialog menjadi satu kesatuan yang utuh yang melibatkan desain artistik panggung menjadi pertunjukan opera jawa yang akan memberi warna baru dalam kasanah seni pertunjukan tari di Indonesia dan dunia.

Konsep Produksi

Ide, konsep dan naskah karya tari ‘Matah Ati’ ini ditulis oleh BRAy Atilah Soeryadjaya sejak tahun 2008. Kedekatannya dengan tradisi dan budaya Jawa sejak usia anak-anak membuatnya ia sangat peduli akan pelestarian budaya Jawa.
Cerita tersebut berkisar tentang perjalanan cinta dan perjuangan pemimpin prajurit perempuan bernama Rubiyah ‘Matah Ati’ yang kemudian melahirkan garis keturunan Mangkunegaran. Rubiyah yang setelah dipersunting Raden Mas Said diberi nama BANDORO RADEN AYU KUSUMA MATAH ATI atau dikenal juga BRAY KUSUMA PATAH ATI. Nama beliau memiliki dua versi dengan arti yang sama yaitu Matah atau Patah yang dalam bahasa Jawa artinya melayani. Dalam hal ini, penulis memilih judul ‘Matah Ati’ berdasarkan pemikiran bahwa selain memang Rubiyah dilahirkan di desa Matah juga dapat memberikan kesan yang lebih positif daripada Patah Ati yang dapat juga diartikan sebagai patah hati (broken heart) yang sesungguhnya sangat berbeda dengan makna sebenarnya, yaitu ‘melayani hati sang pangeran’.

Dalam karya ini Penulis mengangkat tokoh Rubiyah karena beliau seorang tokoh wanita yang mumpuni dengan setting pada abad 18 di Jawa dimana tokoh ini bisa dijadikan contoh dan inspirasi untuk generasi muda Indonesia dalam melihat nilai-nilai tradisi dan kebudayaanya, bahwa pada abad 18 sudah ada pejuang-pejuang wanita yang tangguh. Juga karena Penulis dilahirkan dari lingkungan Istana Mangkunegaran, yang berkeinginan untuk mengetahui lebih dalam lagi tentang asal garis keturunan leluhurnya dan ternyata terungkap dari hasil riset yang menyatakan bahwa keturunan Mangkunegaraan yang berawal dari Raden Mas Said dan Rubiyah (BRAy Kusuma Matah Ati).


Penari Utama

Fajar Satriadi. S.Sn, M.Sn.



Dengan karir professional nya sebagai penari yang di mulai pada usia 20 tahun, Fajar mengabdikan dirinya untuk seni dan kerap mencari ide-ide baru untuk menyempurnakan hasil karya nya, termasuk dalam kepercayaan dan juga cara pandang terhadap kebudayaan.

Fajar mengerahkan segala kemampuannya dalam menari, memberikan arahan dan koreografi, ke atas panggung berbagai pertunjukan yang ia perankan. Ia juga selalu siap untuk berbagi pengetahuan dengan mengajar kelas – kelas baik di Indonesia maupun luar negri. Untuk memperdalam latihannya dalam Tari Jawa Klasik, ia juga berlatih bela diri dan latihan meditasi dan pernapasan Bali. Menurutnya, kedua latihan ini sangat membantu dalam mengembangkan kemampuannya sebagai penari dan lakon panggung.

Rambat Yulianingsih. S.Sn, M.Sn.


Tidak ada orang selain Rambat yang paling tepat dalam memerankan Rubiyah. Bertutur kata halus, anggun, namun sangat berbakat dengan suara yang mampu menggetarkan jiwa, Rambat adalah penari jawa klasik profesional dan penyanyi Soprano yang sukses. Telah menjadi penari di Istana Mangkunegaran selama 15 tahun, ia terlihat begitu nyaman dalam perannya sebagai Calon Ratu di Matah Ati. Rambat memulai karirnya sebagai penari diusia 17 tahun dan sejak itu telah tampil diberbagai festival dan pertunjukan baik dalam maupun luar negeri.

matah ati



Keistimewaan Matah Ati
NOR KHALILAH GUSTI HASSAN, FOTO ROSLI TALIB
12 Mei 2015


MENITIPKAN sebuah kisah benar berkonsepkan legenda yang melahirkan barisan keturunan Istana Mangkunegaran, Matah Ati merupakan kisah cinta dan perjuangan seorang gadis bernama Rubiyah yang dilahirkan di sebuah desa bernama Matah.

Pada pertengahan abad ke-18 di Tanah Jawa terjadi peperangan dan pemberontakan melawan tentera penjajah Belanda yang diketuai Kesatria dari Surakarta iaitu Raden Mas Said juga dikenali sebagai Pangeran Sambernyowo.

Ketika Raden Mas Said dan para Punggawa Baku sedang melintasi sebuah pementasan wayang di desa Matah, Pangeran muda ini telah jatuh cinta saat terpandang seorang gadis yang memancarkan cahaya dari tubuhnya yang sedang tidur. Gadis itu adalah Rubiyah. Cahaya dari tubuhnya seakan menggambarkan bahawa Rubiyah diberikan kelebihan sehingga membuatkan Raden Mas Said berasa kagum dan terpesona.

Sebelum itu, Raden Mas Said digambarkan telah mendapat ilham dan mimpi ketika melakukan pertapaan di mana dalam pertapaannya, dia melihat figura wanita-wanita yang mengghairahkan. Ia sebenarnya satu bentuk ujian dan Raden Mas tidak terganggu sedikit pun, sebaliknya ketika figura seorang gadis yang mengalunkan tari, hati Raden Mas bergetar dan saat itu sukmanya seolah-olah keluar dari tubuh lalu menari bersama-sama gadis itu.


Ketika tersedar Raden Mas Said tertanya-tanya apa maksud kehadiran gadis tersebut?

Gadis desa bernama Rubiyah ini sememangnya mempunyai angan-angan menjadi Puteri Ningrat. Rubiyah membesar menjadi seorang wanita cantik yang selalu berdialog dengan hati sendiri.

Akibat sikapnya yang dilihat mabuk kepayang setelah terpandang rombongan bangsawan di desanya, Rubiyah diingatkan oleh bapanya agar tidak bermimpi memiliki Kesateria Bangsawan kerana mereka orang biasa.

Rubiyah mencuba nasib menjadi perajurit wanita dan setelah melalui ujian ketangkasan, dia diterima dan diberikan latihan peperangan untuk menentang penjajahan Belanda.

Saat pembelajaran Rubiyah mengenai selok belok peperangan itulah bertautnya cinta dan Raden Mas Said mula menyedari Rubiyah sebagai tambatan jiwanya.

Laungan sumpah berbunyi “Tiji Tibeh, Mati Siji, Mati Kabeh, Mukti Siji, Mukti Kabeh!” yang bermaksud ‘Mati Satu Mati Semua, Mulia Satu Mulia Semua’ menjadi laungan keramat yang menyatukan jiwa kesateria-kesateria ini.

Dengan rupa paras yang cantik dan melihat pengabdian yang dilakukan Rubiyah terhadap Raden Mas Said, menjadi penguat jiwa lelaki itu untuk menumpaskan lawannya.

Perang besar terjadi antara perajurit dan Belanda. Peperangan dan pemberontakan selama 16 tahun itu berakhir dengan perjanjian kedua-dua pihak, apabila Belanda menyedari mereka telah kalah.

Perjanjian dititip maka jadilah Raden Mas Said seorang penguasa yang bergelar Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkoenegoro I, dan Rubiyah menjadi isteri dengan nama Bendara Raden Ayu. Rubiyah digelar Matah Ati karena lahir di desa Matah juga bermaksud melayani hati sang pangeran. Dua jiwa ini bersatu dalam ikatan perkahwinan dan melahirkan keturunan Istana Mangkunegaran.

90 peratus muzik

Pementasan teater ini yang ditakluki 90 peratus muzik, lagu dan tarian mempamerkan kebugaran spirit dalam jiwa seorang gadis yang berjuang untuk menegakkan keadilan bersama-sama pahlawan lain.

Ketangkasan Rubiyah, keindahan dalam tarian, kelembutan seorang isteri yang begitu baik hatinya, berjaya digambarkan dengan baik oleh teraju utama, Rambat Yulianingsih.

Bersuara lunak, anggun dan nyaring, Rambat adalah penari jawa klasik bersuara soprano. Dia menjadi penari di Istana Mangkunegaran selama 15 tahun dan berpengalaman luas dalam pertunjukan dalam dan luar negara.

Watak Raden Mas Said dimainkan Fajar Satriadi, seorang penari profesional. Dia mempelajari seni bela diri dan latihan meditasi bagi memainkan watak Raden Mas Said yang dipenuhi keunikan seni tari.

Atilah ketika sidang media berkata, beliau berharap pementasan ini dapat diterima segenap lapisan masyarakat di Malaysia khususnya berketurunan Jawa.

“Teater ini bukan sahaja bertujuan memperkenalkan budaya jawa klasik tetapi membawa kesenian Solo di gedung termegah Malaysia (Istana Budaya). Kota Solo adalah kota yang kaya seni tetapi akhir-akhir ini budayanya terhapus dengan imej Solo yang digambarkan tidak elok di media massa.

“Melahirkan Matah Ati, harapan saya adalah bisa menyelaraskan dan mengurangi ketidakseimbangan imej itu. Semoga karya ini dapat menjadi wadah pemikiran serta tontonan yang akan memberi wacana memperkenalkan seni pertunjukan tari Indonesia.

Sekali gus menjadi inspirasi belia untuk mencintai tradisi bangsa,” katanya di Istana Budaya.

Tarian konsep pertunjukan

Karya tari Matah Ati merupakan garapan yang mengutamakan vokal sebagai dasar dan gerak tari Istana Mangkunegaran, atau lebih spesifiknya gerak Langendriyan yang diciptakan oleh Raja Mangkoenagoro IV.

Penata Artistik, Jay Subyakto berkata, tarian ini dijadikan konsep pertunjukan dan menjadi dasar garapan tari.

Dinamik dalam karya tari ini dibantu elemen suara, baik yang dilakukan penari mahupun barisan pemuzik yang berada di hadapan pentas Istana Budaya sebagai pengiring.

Vokal penari tunggal dan kelunakan suara Rambat dan kelantangan vokal Fajar menjadikan ia satu persembahan yang sangat puitis.

Pendapat penulis, Matah Ati adalah cerita yang menarik khususnya dari segi perjalanan ceritanya yang kaya dengan latar belakang sejarah, bagaimanapun, kecantikan dan keindahan cerita itu tersembunyi di sebalik keterbatasan bahasa yang membuatkan komunikasinya tidak sampai terus ke hati penonton di negara ini. Namun, ia cubaan yang baik untuk diketengahkan dalam masyarakat kita.

sinar harian

Kesenian Jawa menakjubkan
Oleh GARRET DAWUM | 12 Mei 2015 1:57 PM



“KAMI pernah menggunakan khidmat 400 orang penari ketika menjayakan drama tari ini sewaktu pementasan di pentas terbuka Jakarta beberapa tahun lalu.

“Kali ini kami terpaksa hadkan kepada 58 orang penari termasuk 12 orang pemuzik bergantung kepada saiz pentas,” kata pengarah drama tari Matah Ati, Bandoro Raden Ayu Atilah Soeryadjaya.

Sudah berasa puas kerana drama tari berkenaan akhirnya berjaya dipentaskan di atas pentas berprestij Istana Budaya bermula 7 hingga 9 Mei lalu, kata Atilah, dia sangat berbangga dengan pencapaian produksi Global 3L dari Indonesia yang mendapat kerjasama produksi Infiniti Event milik Puan Seri Tiara Jacquelina itu.

“Keyakinan dan kepercayaan saya bahawa pementasan ini akan mendapat sambutan ramai sudah cukup terbukti. Ramai yang datang memenuhi ruang panggung demi menyaksikan sebuah kisah perjuangan dan peranan wanita yang berani menentang penjajah dalam mempertahankan cinta dan keluarga.

“Sambutan memang cukup luar biasa walaupun saya tahu penggunaan bahasa Jawa klasik menjadi masalah kepada penonton. Bagaimanapun, untuk memahami kisah itu, saya banyak menggunakan visual bukan sahaja daripada bentuk tarian tetapi juga nyanyian.

“Dengan paduan teknologi yang canggih, saya tampilkan elemen kontemporari untuk menarik perhatian generasi muda kerana kebiasaannya, kalau disebut mengenai seni tari Jawa, fikiran penonton sarat dengan gambaran lenggok tari yang perlahan dan dikatakan membosankan.

“Penambahan elemen kontemporari di dalamnya tidak bermaksud ia akan mengganggu keseluruhan jalan cerita atau gerak tarinya. Nilai ketimuran Jawa itu masih kekal ada di dalamnya, cuma dikontemporarikan sedikit demi memberi kelainan dan keunikan kepada pementasan pada kali ini,” katanya yang juga bertindak sebagai penerbit.

Menjadi pementasan kelima belas di Malaysia, kata Atilah, dia juga turut mereka kostum untuk pementasan ini, melihat ia adalah elemen yang terbaik untuk menarik penonton dalam kalangan generasi muda.

Menurutnya, terdapat lebih sepuluh jenis kostum dikenakan ketika pementasan berlangsung malah, mereka telah membawa kelengkapan seberat 20 tan termasuk set pentas dan peralatan

Sementara itu, Tiara pula berpendapat pementasan kali ini merupakan satu ruang untuk produksi dua buah negara sama-sama mempromosikan produk kesenian masing-masing.

“Umpama pertukaran antara dua sahabat, kami juga akan membawa masuk produksi teater Malaysia ke Indonesia dan begitu juga sebaliknya sebgai satu cara untuk kita berkongsi kesenian dan budaya antara dua buah negara.

“Sebenarnya, saya sangat kagum dengan dedikasi yang ditunjukkan kumpulan Matah Ati ini. Saya tidak pernah melihat sebuah persembahan yang menakjubkan dan berada pada tahap tersendiri sehingga menjadi pemangkin kepada produksi saya.

“Sudah semestinya kami akan belajar sesuatu dari produksi Indonesia ini dan boleh menghasilkan sebuah pementasan berprestij di masa hadapan,” katanya yang juga sudah terfikir untuk bekerjasama sekali lagi.

 Kisah benar

Mendapat ilham daripada penceritaan nenek moyangnya, Atilah berkata, naskhah ini merupakan kisah benar seorang pemerintah wanita berketurunan Jawa yang membawa perjuangan sejati menentang tentera Belanda pada abad ke-18.

Tambah Atilah, naskhah ini ditulis dengan mata hatinya dalam mengenang perjuangan wanita hebat yang bernama Rubiyah, gadis kampung yang berkahwin dengan seorang bangsawan istana bernama Raden Mas Said.

Menyentuh perasaan, bahkan kadang-kadang menyayat hati diceritakan dengan begitu baik sekali. Konsep pertunjukan ini yang diberi nama Langendriyan (Opera Jawa), sama dengan Broadway sangat hebat dalam penguasaan tari, muzik dan lakonan dalam setiap pelakonnya.

Diterajui Fajar Satriadi (Raden Mas Said) dan Rambat Yulianingsih (Rubiyah), kehebatan cinta dan gejolak dalam peperangan menjadi intipati dalam cerita ini.

Kajian dua tahun

Sebelum menghasilkan sebuah pementasan yang sering dipuji ini, Atilah mengaku penulisan naskhah ini bukanlah sesuatu yang mudah.

Kajian demi kajian telah dilakukan termasuk mencari bahan berbentuk ilmiah di perpustakaan yang telah dibukukan.

“Dua tahun kajian saya lakukan untuk benar-benar membuat sesuatu yang menarik dalam naskhah ini.

“Ternyata semuanya tidak sia-sia kerana naskah ini mula diterima kerana sepanjang lima tahun drama tari ini dipentaskan, ramai yang memberikan respon positif.

“Melalui karya ini juga saya telah meletakkan kreativiti seni sebagai satu perkara utama. Pemilihan cerita, bentuk tarian, muzik sehingga kostum dibuat berdasarkan kajian insentif dan menyeluruh dengan perkembangan tradisi yang akan dibawa ke pentas moden,” katanya.

Juga berharap pementasan drama tari ini diteruskan, Atilah juga memberitahu, banyak pihak sudah menawarkan keinginan untuk bekerjasama menjadikan naskah itu sebuah filem, namun, dia mengaku masih belum bersedia.

“Untuk mengangkat naskah ini ke dalam televisyen, saya fikir semuanya masih belum ada gerak kerja lagi. Bagi saya, banyak perkara yang perlu difikirkan sebelum ia difilemkan.

“Lagipun, saya masih belum bersedia dan tiada kelapangan masa,” ujarnya.

utusan online


Sebelum ke Malaysia, Pemain Matah Ati Ziarah ke Makam Rubiyah
 Jumat, 17 April 2015   Irawan Sapto Adhi/JIBI/Solopos

Adegan sendratari Matah Ati pada pementasan hari pertama di Pamedan magkunegaran, Solo, Sabtu (8/9/2012) malam. (Burhan Aris Nugraha/JIBI/SOLOPOS)Adegan sendratari Matah Ati pada pementasan hari pertama di Pamedan magkunegaran, Solo, Sabtu (8/9/2012) malam. (Burhan Aris Nugraha/JIBI/SOLOPOS)


Solopos.com, SOLO – Drama tari Matah Ati yang disutradarai Atilah Soeryadjaya dan penata artistik Jay Subiakto bakal dipentaskan di Istana Budaya, Kuala Lumpur, Malaysia, pada 7-9 Mei tahun ini.

Atilah mengatakan 97 kru, mulai dari pemain, penabuh alat musik, perias, dan lain-lain akan diboyong ke Malaysia pada 5 Mei mendatang.

Mereka bakal menyajikan pertunjukan berdurasi 90 menit dengan menampilkan lagu-lagu Jawa dan musik yang dikombinasikan dengan adaptasi kontemporer gaya tari klasik Surakarta.

“Kami membawa hampir 100 orang untuk pentas besok. Selain itu, berbagai kebutuhan dan peralatan pentas seberat 2 ton sudah kami kirim beberapa hari lalu menuju Malaysia,” kata Atilah saat berbincang dengan solopos.com melalui sambungan telepon, Kamis (16/4/2015).

Atilah mengaku sebelum menggelar pertunjukan kali ini, sudah mengajak pemain dan kru untuk ziarah ke makam Rubiyah –tokoh atau karakter dalam dramatari Matah Ati. Dia menampik kegiatan itu menjadi ritual khusus yang harus dilakukan.

Menurut Atilah, para pemain dan kru bisa mencontoh semangat perjuangan prajurit perempuan yang menjadi istri Raden Mas Said tersebut.

“Sudah sebulan kami latihan. Setiap malam kecuali Sabtu dan Minggu kami mempersiapkan diri untuk pertunjukan awal Mei mendatang. Anak-anak saya minta untuk menjaga kesehatan. Kami juga sudah menyediakan dokter untuk memberikan vitamin,” jelas dia.

Atilah mengaku senang mendapat tawaran untuk pentas di Malaysia. Dia merasa bangga bisa mendapat kesempatan untuk mengenalkan salah satu bagian dari budaya Jawa di hadapan masyarakat Internasional.

“Sudah sekitar 7 tahun kami ada. Saya senang dan bangga hingga saat ini Matah Ati masih mendapat apresiasi dari berbagai pihak,” kata Atilah.

Pertunjukan Matah Ati menceritakan kisah cinta pada abad ke-18 tentang perjuangan seorang gadis desa bernama Rubiyah. Rubiyah menjadi pahlawan perang dari 40 wanita tentara yang berperang saat invasi Belanda ke Mangkunegaran.

solopos


Comments